Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Diduga Langgar Kode Etik

LSM Laporkan Hakim PN Tanjungpinang ke KY
Oleh : Lan/Chr/Dodo
Rabu | 28-09-2011 | 17:56 WIB

TANJUNGPINANG, batamtoday - LSM Gerakan Anti Korupsi melaporkan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungpinang ke Komisi Yudisial (KY) karena diduga melanggar kode etik kehakiman saat memutus perkara penambangan liar.

Dikonfirmasi di Tanjungpinang, kuasa hukum LSM Gerakan Anti Korupsi, Toni Babu SH mengatakan ketiga hakim yang dilaporkan tersebut adalah Sri Andini SH, Rustiyono SH, dan P.Marbun SH yang menangani tindak pidana penambangan liar di Dompak.

Pelaporan tiga hakim PN Tanjungpinang ke KY ini dilakukan karena ktiganya tidak objektif, tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan, serta terindikasi melanggar hukumterkait putusan bagi tiga terdakwa dalam kasus itu.

"Putusan ketiganya tidak mencerminkan, obyektifitas, hukum positif atas fakta dan data khususnya hukum pertambangan dan dari putusan ini kami melihat kalau Hakim PN lebih berpihak pada kepentingan PT Kemayan Bintan dan cq Suban Hartono," ujar Toni Babu.

Akibatnya, tambah Toni, putusan ketiga hakim PN Tanjungpinang yang merupakan hamba hukum yang ditugaskan negara ini, jelas-jelas melanggar UUD 1945 pasal 33 ayat (3) yuncto pasal 4 UU RI No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pelaporan ketiga hakim yang diduga melanggar kode etik kehakiman ini sendiri, dilakukan Dewan Pimpinan Pusat (DPD) Gerakan Anti Korupsi/Anti corruption Action (NGO) Kepri, pada 12 Agustus 2011 lalu, dan berdasarkan registrasi penerimaan laporan, yang ditandatangani staf KY bernama Marino pada tanggal 15 Agustus 2011.   

Dijelasakan Toni Babu, selain memberikan laporan berupa jabaran resum pelaporan, pihaknya dari LSM Gerakan Anti Korupsi juga menyertakan keputusan No. 82/Pid.B/2010/PN.TPI tangal 19 Agustus 2010 dengan terdakwa 3 orang pengurus CV TKA sebagai Bukti ke Komisi Yudisial.

“Kalau kita cermati putusan tiga hakim dalam perkara penambangan liar ini, sangat jauh dengan fakta dan legalitas hukum formal, dimana perkara pertambangan sifatnya khusus, dan ternyata hanya ditangani pihak polisi yang kemampuannya sangat kita ragukan dalam pengusutan kasus pertambangan," ujar Toni Babu.

Dalam UU RI No. 4 Tahun 2009, tambah Toni, polisi harusnya wajib melibatkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pertambangan, karena lebih tahu dan mengerti dengan permasalahaan tambang, serta izin yang dikeluarkan.

Dugaan penyimpangan lain, yang paling frontal dilakukan oknum majelis hakim PN Tanjungpinang dalam memutuskan perkara, menjatuhi hukuman badan pada masing-masing terdakwa dengan hukuman 3,6 tahun dan denda Rp 200 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan. Kemudian menjatuhkan pidana denda kepada badan usaha CV TKA sebesar Rp6 ,iliar dan pencabutan Izin Usaha Pertambangannya.

Yang paling parah, Barang Bukti (BB) berupa kurang lebih 50.000 ton bauksit sebagaimana penetapan penyitaan PN Tanjungpinang No. 430/Pen.Pid/2009/PN.TPI, tanggal 12 Oktober 2009, dalam putusan Hakim dikatakan dikembalikan pada yang paling berhak yaitu pemilik tanah dalam hal ini (Suban Hartono).

"Ini-kan sangat Ngawur, atas dasar apa Hakim memberikan bouksit yang digali pada Suban Hartono, apa suban Hartono memiliki IUP, atau pasal 33 UU dasar 1945 bunyinya sudah di robah, dengan menyatakan, air,bumi, tanah dan segala yang terkandung didalamnya adalah milik Suban Hartono,...?,"sindir Toni Babu.

Hal lain yang janggal dalam putusan Hakim, tambah Toni, mengenai Barang bukti berupa 1 unit tromol pencucian bauksit, 2 escavator  (kobe SK 220), 2 unit escavator (Acera) dan lainnya di rampas untuk Negara, dan hanya 1 unit glader dan 1 unit trailer yang dinyatakan dikembalikan pada pemilik dalam hal ini, Nguan Seng alias Henky.

"Sementara dalam fakta persidangan sangat jelas, kalau seluruh barang bukti alat berat tersebut, merupakan barang sewa yang dilakukan CV TKA dengan Nguan Seng alias Henky sebagai pemilik barang, dan surat perjanjian kedua belah pihak ada dan sangat jelas," ujarnya.