Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Merenda Kembali Kemajemukan Berbangsa
Oleh : Redaksi
Selasa | 15-11-2016 | 15:38 WIB

Oleh Datuak Alat Tjumano

INDONESIA merupakan negara yang sangat luas akan daratan dan lautan, dimana Indonesia merupakan negara dengan ribuan pulau yang tersebar. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki kebudayaan beranekaragam tentunya semua itu menjadi ciri khas Indonesia yang majemuk. Namun kemajemu kan Indonesia tentunya tidak lepas dari konflik yang sering terjadi di berbagai daerah, konflik-konflik itu ada yang mengatasnamakan suku, ras dan agama.

 

Kemajemukan merupakan alat perekat yang bisa menyatukan kehidupan ber bangsa, namun hal tersebut perlu perawatan yang baik, jika tidak dilakukan akan menyebabkan malapetaka. Sebagai mana kita ketahui bahwa Indonesia adalah satu di antara negeri yang paling majemuk di muka bumi ini, maka sudah menjadi kewajiban bagi kita bersama untuk menjaga kemajemukan tersebut.

Secara ideologis, kita telah memiliki ketetapan untuk hidup dan bercita-cita bersama dalam satu negeri, yaitu “Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”, dengan semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang berarti suatu pengakuan bahwa kita berbeda-beda tetapi tetap satu. Dengan ideologi dan semboyan tersebut kita pada hakikatnya telah memiliki modal untuk merajut segenap perbedaan itu.

Sejak negara ini dideklarasikan sebagai negara yang merdeka pada 17 Agustus 1945 Indonesia menerapkan sistem demokrasi, di era orde lama demokrasi yang dijalankan secara terpimpin dimana Soekarno pemegang kekuasan penuh dalam menjalankan pembangunan. Setelah itu ada demokrasi di era orde baru yang di komandoi Soeharto, seiring dengan berjalannya waktu orde baru ini bertahan selama kurang lebih 32 tahun.

Di era ini berbagai kemajuanpun nampak terlihat dalam kepemimpinannya. Kita dapat membaca dalam sejarah bahwa pembangunan secara fisik terjadi dimana-mana. Sembako, pupuk dan pendidikan serta kesehatan dapat dijangkau oleh rakyat yang berada dalam garis kemiskinan, selain itu negara ini pernah menjadi negara yang bersewa sembada pangan.

Namun dibalik semua itu, berbagai masalah tumbuh subur dimana-mana, tak sedikit orang yang oposisi terhadap pemerintahan, dan tak tanggung-tanggung pemerintahan juga melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat yang melakukan protes.

Gelombang yang sangat hebat menerpa bangsa ini saat terompet reformasi ditiupkan pada tahun 1998, krisis moneter, krisis ekonomi, dan krisis politik, yang pada gilirannya membuat krisis sosio-kultural di seluruh pelosok negeri ini. Krisis sosio-kultural dapat disaksikan dalam bentuk disorientasi dan dislokasi masyarakat, seperti; disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia kebebasan yang nyaris kebablasan, lenyapnya kesabaran sosial dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit, sehingga mudah melakukan tindakan mengamuk serta berbagai tindakan kekerasan yang anarkhis.

Merosotnya penghargaan dan kepatuhan kepada hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial, yang kemudian berlanjutnya menjadi konflik kekerasan yang bernuansa politis, etinis, dan agama, sebagaimana yang pernah belakangan ini terjadi, seperti kasus Samarinda, Ambon, Sampit, Poso, Papua, dan sebagainya.

Suatu pertanyaan besar bagi kita mengapa sikap tidak toleran akhir-akhir ini menjalar cukup kuat? Padahal, bangsa Indonesia yang bersumber pada kekayaan kemajemukan terhadap suku, agama, budaya, perbedaan ini untuk menghayati realitas berdasar keyakinan dan kebijaksanaan hidup yang menjadi tumpuan awalnya. Dia juga menjadi tempat berlindung, berbangsa seperti terbukti dalam janji Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Indonesia merupakan negara dengan ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Rote. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki kebudayaan ber-anekaragam tentunya semua itu menjadi ciri khas bangsa ini yang majemuk. Kemajemukan tersebut tentunya tidak kita biarkan begitu saja, karena perlu merawatnya agar kemajemukan tersebut bisa kita pertahankan.

Lahirnya era reformasi dengan menerapkan sistem demokrasi secara langsung dimana sebelumnya kita menerapkan demokrasi perwakilan. Demokrasi secara langsung ini bisa kita lihat dalam pemilihan presiden (pilpres), kepala daerah (pemilukada) dan anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Selain itu, negara ini juga menerapkan sistem otonomi daerah dalam membangun negeri ini, sehingga kemajuan suatu daerah tergantung pada pemberdayaan daerah dalam membangun daerahnya sendiri.

Kalau kita melihat masyarakat Indonesia saat ini dalam upaya mengekspresikan keinginannya terlihat seakan bebas berekspresi tanpa batas. Tentunya ekspresi yang tanpa batas ini akan memicu lahirnya konflik, sebagaimana kita lihat dalam kasus pilkada yang ada didaerah, ada pasangan yang dirugikan. Maka para pendukungnya melakukan demontrasi yang berujung pada perusakan yang anarkhis, padahal masalahnya bisa disampaikan secara damai dan santun dengan mengedepankan musyawarah/dialog yang ber-etika.

Rajutan kain tenunan masyarakat Indonesia yang sudah dibangun selama ini kelihatan sudah tercabik-cabik akibat krisis yang semakin akut. Sudah selayaknya kita sebagai anak bangsa untuk merenda kembali tenunan yang sudah terajut sekarang ini tercabik-cabik, agar tenunan tersebut menjadi indah kembali dengan berbingkai NKRI. Istilah merajut dulunya cocok digunakan karena benang yang digunakan masih bersih dan belum terpotong-potong, sehingga dapat menghasilkan tenunan yang baik, disamping kerjasama yang dibangun penuh kebersamaan.

Namun dengan perjalanan waktu adanya terpaan gelombag reformasi kain tenunan yang sudah terajut tersebut sudah tercabik-cabik, maka oleh sebab itu diperlukan niat, keahlian dan kebersamaan setiap anak bangsa untuk merenda kembali kain tenun tersebut. Perumpamaan ini dapat kita amati dari banyaknya permasalahan bangsa yang timbul, seperti, korupsi, terorisme, anarkisme dan lain sebagainya. Baru-baru ini ada penistaan agama dan pelembaran bom Molotov.

Timbulnya masalah-masalah tersebut seakan-akan masyarakat kita sudah tidak mempunyai lagi rasa malu dan rasa takut dari tindakan-tindakan tersebut. Hal-hal inilah yang perlu di renda kembali menjadi suatu kesatuan yang utuh didalam suatu bingkai NKRI. Merenda kemajemukan ini harus segera dilakukan untuk membangkitkan kembali rasa nasionalisme berbangsa dan bernegara.

Selain itu ada jalan lain untuk merenda kemajemukan bangsa tersebut, dengan melakukan dialog, dengan saling berdiskusi, dimana perbedaan-perbedaan tersebut dapat dijembatani, sementara yang berpotensi konflik bisa dicarikan jalan/ solusinya. Dialog dan diskusi ini dinilai penting sebagai salah satu langkah strategis untuk mencari formulasi efektif dalam mengelola kemajemukan. Tiap-tiap daerah memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang dapat digali untuk menjadi jembatan pemersatu, hal ini dapat mencontohkan slogan “satu tungku tiga batu” yang diyakini warga Papua sebagai perekat.

Di wilayah Papua pemeluk agama yang berbeda selalu hidup berdampingan dengan damai, begitu juga di Sulawesi Utara dengan slogan “Torang Kita Basaudara”, Sumatera Barat “Tigo Tungku Sajarangan” dan banyak lagi slogan-slogan lain di Nusantara ini. Perlu diketahui untuk daerah Papua, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara masalah konflik agama di hembuskan disini tidak akan laku karena masing-masing sudah saling menyadari efek yang timbul dari pertikaian tersebut.

Kepada pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai kewajiban sebagai fasilisator dalam merawat dan menjaga kemajemukan masyarakat. Oleh sebab itu peran pemerintah wajib memfasilitasi dalam semua kegiatan yang dapat mendorong kerukunan berbangsa dan bernegara. Salah satu contoh yang gampang digerakan oleh pemerintah tingkat desa adalah mengajak masyarakat kepada semangat peduli, ronda bersama dan gotong royong yang belakangan ini sulit ditemukan, kecuali dilakukan dengan jalan dibayar.

Sekarang ini ada istilah “Tidak Ada Makan Siang Yang Gratis” sementara dulunya kita punya pepatah “Ringan Sama Dijinjing Berat Sama Dipikul” ada juga pepatah “Ada Sama Dimakan Tidak Sama Ditahan”. Oleh sebab itu rajutan tenunan yang sudah tercabuk-cabik dapat direnda kembali secara bersama-sama anak-anak bangsa agar terjalin kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik. *

Penulis adalah Peneliti Senior di LSISI Jakarta