Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Saatnya Mendukung Revisi UU Terorisme
Oleh : Redaksi
Senin | 14-11-2016 | 15:14 WIB
22308862954uu_terorisme.jpg Honda-Batam

Revisi UU Terorisme. (Foto: Ist)

Oleh Aprison Mandela

MARAKNYA kasus terorisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini mengangkat kembali topik soal desakan Sutiyoso, Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), terkait pentingnya revisi Undang-undang (UU) Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perlunya penanganan dan eksekusi yang cepat di lapangan, merupakan alasan mendasar mengapa UU Terorisme perlu direvisi.

Masih membekas aksi terorisme yang terjadi di halaman Mapolres Surakarta pada Selasa, 5 Juli 2016 pagi. Ledakan yang terjadi di depan penjagaan Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Mapolres Solo. Meskipun aksi ini termasuk dalam kategori low explosive sehingga tidak menimbulkan korban jiwa dari kalangan polisi dan masyarakat, namun dampak dari aksi nekat tersebut secara tidak langsung telah menimbulkan ketakutan terhadap masyarakat setempat.

Sama halnya dengan aksi terorisme yang sebelumnya terjadi pada tanggal 14 Januari 2016 di sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Ledakan bom yang terjadi di dua tempat yakni daerah parkiran Menara Cakrawala gedung sebelah utara Sarinah dan sebuah pos polisi di depan gedung tersebut. Aksi ledakan yang berlanjut pada baku tembak antara petugas kepolisian dan kelompok teroris saat itu berlangsung dramatis. Tak ayal, sedikitnya delapan orang (empat pelaku penyerangan dan empat warga sipil) dilaporkan tewas dan 24 lainnya luka-luka.

Aksi terorisme yang terjadi di Cikokol, Tanggerang, pada Kamis 20 Oktober 2016 sekitar pukul 07. 00 WIB baru-baru ini, merupakan salah satu fakta keterwakilan soal lemahnya peran aparat penegak hukum dalam mendeteksi hingga mengantisipasi serangkaian aksi terorisme. Meskipun berujung pada kematian pelaku, aksi teror yang termasuk pada kategori lone wolf (pelaku teror tanpa berkelompok) yang dilakukan oleh pelaku yang bernama Sultan (22) dengan cara membacok korban, telah melukai tiga petugas kepolisian yang saat itu sedang bertugas mengatur lalu lintas jalan.

Sebelum tewas pelaku mendaulat bahwa aksi ini merupakan perintah langsung dari pimpinan kelompok teroris ISIS Abu Bakar Al-Baghdadi, yang juga disertai dengan penempelan stiker di Pos Polisi sebagai buktinya.

Lemahnya payung hukum dalam memerangi kejahatan tersebut adalah salah satu faktor yang membuat mengapa aksi teror di Indonesia sulit untuk diantisipasi. Eksistensi UU Terorisme saat ini sangat membatasi kewenangan aparat dan intelijen dalam melakukan pencegahan. Tak dapat dipungkiri bahwa aksi terorisme susulan bisa terjadi di Indonesia.

Pasalnya, ada banyak simpatisan ISIS di Indonesia yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Selain itu, tingginya jumlah pelaku teroris yang selesai dalam menjalani masa hukuman, menambah catatan penting aparat keamanan dalam mengawasi gerak-gerik mereka.

Berbeda dengan Amerika Serikat (AS), Perancis dan sejumlah negara di Eropa yang merevisi UU Terorismenya dan tetap membuat keseimbangan dengan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan. Bahkan negara tetangga Malaysia dan Singapura pun menerapkan National Security Act yang hampir setara penerapannya dengan UU Subversi yang dahulu pernah dimiliki oleh Indonesia sebelum era reformasi.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap penegakan demokrasi dan (HAM, untuk meminimalisir potensi maraknya aksi terorisme dikemudian hari, keseriusan pemerintah untuk merevisi UU teroris perlu didukung, mengingat bahwa strategi teror kedepannya yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok teror dari luar negeri seperti ISIS maupun Al-Qaedah cenderung mengedepankan peranan simpatisan yang dikirim langsung atau melalui warga negara simpatisan kelompok teror untuk menjadi eksekutor. *

Penulis adalah Junior Researcher LSISI