Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Simon Sanjaya, Sang Inovator Air Hujan
Oleh : Redaksi
Senin | 14-11-2016 | 12:01 WIB
simon-air1.jpg Honda-Batam

Simon menunjukan sistem pengolahan air yang berada di Komplek Plaza, Ciroyom, Kota Bandung, Jabar. Warga masih menggunakan air yang dihasilkan dari sumur tanah, namun, warnanya kekuningan dan berbau besi. (Foto: Donny Iqbal)

BAGI SEBAGIAN masyarakat, hujan yang terus menerus mengguyur menjadi kekhawatiran akan terjadinya sebuah bencana, semisal banjir yang sering melanda di daerah kota. Apalagi di sebagian daerah Jawa Barat, musim penghujan sudah mulai terasa dan puncaknya di Maret yang akan datang.

Namun berbeda dengan Simon Yudistira Sanjaya, hujan tak menjadi kekhawatiran, malah berkah yang dia dapatkan. Betapa tidak, warga komplek Rajawali Plaza, Ciroyom, Kota Bandung ini, sudah 5 tahun memanfaatkan air hujan sebagai air baku (pokok) untuk memenuhi berbagai keperluan rumah tangganya, mulai dari mandi, minum dan memasak.

Pria berumur 50 tahun ini mengungkapkan, kegiatannya menggunakan air hujan bermula ketika kesulitan mendapatkan air bersih dari sumur di rumahnya, ditambah lagi tidak adanya akses PDAM yang menjangkau ke wilayah Ciroyom, mengakibatkan sebagian besar warga disini termasuk dirinya harus membeli air dari gerobak, agar kebutuhan air terpenuhi.

“Ketika itu tahun 2010, saya sudah mencoba bersama tukang pompa tetap sama tidak bisa, kalaupun airnya keluar, warnanya kekuningan dan berbau besi.” Ujar Simon saat dijumpai Mongabay di rumahnya, awal November.

Menurutnya, situasi bisa menjadi inspirasi dan hal itu bisa dibuktikan. Melihat potensi hujan yang cukup besar di bumi pasundan, Simon terinspirasi menyulap air hujan menjadi air menyehatkan, melakukan inovasi yang bersinergi dengan alam yaitu memanfaatkan air hujan.

Berbekal alat sederhana yang ada di rumahnya, Simon mulai menafsirkan ide dan gagasannya dengan mendesain sistem penampungan air. Lalu, mengatur talang air yang ada di atap rumahnya. Pipa – pipa yang tadinya berfungsi sebagai pembuangan air, dialihkan ketempat penampungan air yang telah disiapkan.

Simon mempraktekan pengolahan air hujan di rumahnya. Dengan alat-alat sederhana, dia mampu mengubah air hujan menjadi air layak konsumi. (Foto: Donny Iqbal)

“Setiap rumah pasti memiliki talang air. Sebelum digunakan harus dibersihkan dulu, sebab banyak kerak yang menempel. Setelah itu, baru atur pipa ke tempat penampungan air dengan menyiapkan tong air dan ember,” jelasnya.

Dia melanjutkan, air yang sudah ditampung, masih harus diproses kembali menggunakan alat penyaring air Nano Filter yang dibeli dari toko air isi ulang dengan harga Rp250.000. Tujuannya agar air terbebas dari kotoran dan kuman. Agar air bisa disaring oleh nano filter, dibutuhkan pompa aquarium untuk menaikan air.

“Nah, setelah air yang tertampung disini tinggal menggunakan nano filter untuk menyaringnya. Caranya sangat sederhana dan air bisa langsung dipakai untuk mandi, masak dan minum,” kata Simon sambil menunjukan proses penyaringan air.

 Kualitas Air Hujan
Simon menceritakan, Amerika dan Eropa pernah mengalami kejadian hujan asam, akibat dari pembakaran batubara. Asapnya mengandung senyawa asam hasil industri (SO4) yang kemudian bereaksi dengan air hujan menjadi H2SO4 dan pH kadar air 5.

Hal itu membuat kebanyakan orang tidak mau menggunakan air hujan karena beranggapan kotor. Padahal, kandungan air hujan di setiap tempat berbeda – beda tergantung pada kondisi geologi, jumlah penduduk dan aktifitas yang di lakukan di daerah tersebut.

Untuk membandingkan kualitas air, pengujian pun pernah dilakukan Simon menggunakan alat ukur anjuran WHO, yaitu Total Disolve Solid (TDS) untuk mengetahui kadar zat padat terlarut. Air yang diolah Simon nilai TDS-nya berkisar 10 – 20. Sedangkan air kemesan jumlah TDS 150 – 300 dan air isi ulang 200-500.

Tidak sampai disitu, pengukuran derajat keasaman pun dilakukan menggunakan pH meter dengan sample yang sama. Hasilnya menujukan, air pengolahan Simon, kadar pH 7.2, air kemasan 9, serta air isi ulang 8.

Untuk memperoleh air hujan yang bersih, Simon memberikan tips. “10 menit pertama, air hujan harus dibuang agar polutan – polutan dan debu di udara ikut terbuang. Nantinya, kalau tidak dibuang kualitas airnya akan jelek,” paparnya.

Dia menyimpulkan dari hasil pengukuran tersebut, bahwa air hujan tidak kalah sehat dari air kemasan atau air isi ulang, bahkan kualitasnya bisa lebih baik.

“Mungkin karena air hujan belum beriklan, sehingga banyak orang mengabaikan. Berbeda dengan air kemasan, ” ujarnya sembari tertawa.

Bisa mengurangi Banjir
Dia menganalisis bahwa penampungan air hujan bisa jadi alternatif mengurangi banjir Cileuncang. Sebab, kalau bergantung pada pemakaian biopori tidak terlalu signifikan untuk mengurangi banjir, karena hasil penelitian biopori hanya mampu menampung air sekitar 10 liter.

Lanjutnya, ketika curah hujan tinggi, penampungan air dirumahnya bisa menampung sekitar 1 kubik atau 1000 liter air. Bila bangunan memiliki atap lebih luas dari rumahnya seperti bangunan pemerintahan, tempat ibadah, pusat perbelanjaan, gedung bertingkat. Maka, akan banyak pula air hujan yang bisa ditampung dan dimanfaatkan.

"Ini baru temuan awal, kedepan bisa dikembangkan seperti di Negara lain, sudah banyak mengembangkan pengolahan air dan penyediaan minum gratis. Sehingga bisa mengurangi sampah bekas botol minuman juga," pungkas pejabat bidang pengembangan teknologi tepat guna di Kecamatan Ciroyom ini.

Kendati baru diaplikasikan dirumahnya, tetapi Simon bertekad untuk berbagi ilmu dan pengalamannya tentang begitu potensialnya air hujan untuk dimanfaatkan. "Di bumi ini hanya ada 3% air tawar, 1% diantaranya berada di tanah dan di udara yaitu air hujan," tutupnya. (*)

Sumber: Mongabay.co.id
Editor: Yudha