Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Negara Kekuasaan dan Provinsi Gagal
Oleh : Redaksi
Rabu | 02-11-2016 | 10:14 WIB
ichsanuddin.jpg Honda-Batam

Dr. Ichsanuddin Noorsy B.Sc., SH., M.Si. (Foto: Ist)

Oleh Dr. Ichsanuddin Noorsy B.Sc., SH., M.Si

SEJAK pidato Ahok di Pulau Seribu diunggah dan menyebar luas tentang penistaan agama, potensi keributan sosial politik terus meningkat.

 

Dimulai dengan unjuk rasa umat Islam yang menyebar ke seluruh tanah air, pelaporan Ahok ke Bareskrim, Fatwa MUI bahwa pernyataan Ahok adalah penistaan agama. Undangan 35 Pimred ke Istana, kunjungan Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto di Hambalang (sebenarnya di Bojong Koneng, Kab. Bogor), undangan silaturahim Presiden Joko Widodo kepada Pengurus MUI, PP Muhammadiyah dan PB Nahdlatul Ulama, mengindikasikan betapa pemegang kekuasaan fomal memandang perlu merespon situasi dan rencana demonstrasi 4 Nop 2016.

Ahok, yang terkesan dilindungi hukum dan kekuasaan formal, tetap tampil percaya diri dalam kampanyenya walau masyarakat mengusirnya saat yang bersangkutan berkunjung, sebagaimana terjadi di tempat dan waktu yang berbeda. Toh pemegang kekuasaan dan penegak hukum “merabunkan pandangan”-nya dengan mengatakan, demonstrasi adalah hak, tapi jangan memaksakan kehendak.

Hukum pun harus ditegakkan dan negara tidak boleh dikalahkan oleh tekanan kelompok tertentu. Ini memposisikan keadaan yuridis formal berhadapan dengan yuridis sosiologis dan yuridis filosofis. Yakni keabsahan hukum formal yang digunakan penguasa dan penegak hukum tidak berpijak pada kenyataan dan bersitegang dengan cita-cita bersama.

Jauh sebelum kasus ini menyeruak, saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada sejumlah petinggi politik (menteri dan anggota DPR serta pimpinan parpol), penegak hukum (perwira tinggi kepolisian) dan pemilik modal (beberapa konglomerat papan atas).

Apakah sikap dan pernyataan Ahok terhadap Al Quran surat Al Maidah 51 itu sedang mengutuhkan atau meruntuhkan tatanan sosial yang sedang rentan karena liberalisme ekonomi dan politik? Jika sedang mengutuhkan tatanan sosial, apakah buahnya mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa atau sebaliknya ?

Lalu, apa dampaknya bagi parpol yang mendukung dan mengusungnya di tengah kepercayaan masyarakat terhadap parpol di titik nadir ? Pertanyaan ini tentu tak dijawab, bukan karena tidak bisa menjawab. Tapi lebih karena telah menyentuh hati nurani mereka.

Di sini saya melihat bahwa masih ada secercah harapan akan hadirnya keinginan luhur para pemegang kekuasaan dan penegak hukum. Asumsi saya, mereka masih mendengarkan bisik hati nurani mereka sendiri. Nyatanya muncul operasi tangkap tangan KPK di Kemenhub, beredar pengerahan anggota Brimob, dan tersiar alasan hukum tidak memeriksa seseorang yang terdaftar sebagai Cagub?

Intinya, penguasa dan penegak hukum menolak permintaan memeriksa dan memenjarakan Ahok. Padahal jika cerdas, Ahok tetap diperiksa, sedangkan statusnya ditetapkan kemudian. Kalangan masyarakat kemudian membenturkannya dengan kasus Trans Jakarta yang membawa korban Udar Pristono menjadi terpidana, kasus tanah BMW, kasus pembelian Rumah Sakit Sumber Waras, kasus Reklamasi yang memposisikan Sanusi dan Ariesman sebagai terpidana korupsi dan Aguan hanya dicekal KPK. Aguan malah berkunjung ke Istana.

Dengan merujuk kasus-kasus di atas dan beberapa kasus lain di bidang politik dan ekonomi, maka saya memahami esensi situasi kondisi ini sebagai penerapan negara kekuasaan. Dalam konstruksi ketata negaraan, negara kekuasaan adalah negara yang memiliki kekuasaan formal berdasarkan proses politik yang sah menurut hukum. Pemegang kekuasaan boleh mengambil keleluasaan kebijakan (diskresi) sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, azas kepatutan, perundang-undangan yang berada di atasnya, dan azas-azas umum pemerintahan yang baik.

Tetapi negara pun menerapkan azas legalitas atau hukum tertulis sepanjang hal itu menguntungkannya. Saat diskusi yang diselenggarakan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia dengan pembicara Prof Saldi Isra dari Universitas Andalas, Prof Gayus Lumbun (Hakim Agung), Prof Faisal Santiago, dengan tegas saya menganalisis bahwa pemerintahan Joko Widodo menerapkan model negara kekuasaan. Diskusi yang diselenggarakan dalam rangka Dua tahun Nawacita bidang hukum tidak bisa mengelak kecuali berbicara tentang pentingnya budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan substansi hukum (legal substance) dan struktur hukum (legal structure).

Dalam diskusi tiga lawan satu seperti disampaikan pimpinan Asosiasi, saya berpendapat, sistem dan struktur berpikir seperti itu harus berpijak pada proporsi yuridis filosofis, yuridis sosiologis dan yuridis formal. Tanpa hal ini, maka negara kekuasaan akan berakibat hukum sebagai pisau yang tumpul ke atas tajam ke bawah. Politik tanpa hukum adalah liar, hukum tanpa politik mandul. Maka negara kekuasaan mengindikasikan melagaknya the winner takes all, the loser gets nothing, survival of the fittest.

Disebabkan Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI demikian meluas sekaligus menunjukkan rendahnya harkat kewibawaan penguasa dan penegak hukum sebagaimana saya sajikan di hadapan berbagai petinggi di negeri ini, aliansi kekuasaan dibangun. Dalam hukum pasar bebas, aliansi yang terjadi akan memunculkan korban. Itulah yang nampak pada beberapa pertemuan di atas menjelang 4 Nop 2016.

Potensi korbannya adalah SBY. Karena itu jejaring dan aktivis parpol tertentu disarankan untuk tidak ikut kegiatan demo 4 Nop kendati Fadli Zon dan Fahri Hamzah sudah menyatakan kesediaan bergabung unjuk rasa. Sementara SBY pun sebelumnya dikunjungi belasan ulama dari Madura. Bagi SBY, demo 4 Nop adalah hak rakyat dan respon mantan Presiden RI ke 6 adalah normatif dan mengatakan, jangan melanggar hukum. Sisi lain SBY pun harus bersiap menghadapi ragam kemungkinan bebas bersyaratnya Antasari Azhar pada 10 Nopember mendatang dan mengemukanya kasus korupsi Edi Baskoro atau Ibas.

Dari peta masalah di atas, saya membaca tergelarnya negara gagal. Janji kampanye yang menjauh dari cita-cita konstitusi, dan ikuti dengan gagalnya Provinsi DKI jika dilihat dari aspek fiskal dan aspirasi masyarakat. Orang boleh berpandangan berbeda, tapi dana yang dikeluarkan Bandar sebesar Rp1,6 T memang dituntut untuk kembali oleh investor.

Sementara Soni Soemarno pelaksana tugas Gub DKI membatalkan 12 lelang proyek di DKI walau sudah dianggarkan APBD. Perspektif ini membuktikan, memang harus ada korban. Ahok akan dikorbankan tapi melalui cara-cara yang tidak mempermalukan negara kekuasaan.

Ahok pun sulit berkampanye. Inilah yang saya sebut false authority. Ada otoritas, namun pijakannya lemah secara sosiologis dan dasarnya rapuh dalam lingkup filosofis. Tanpa keluhuran sikap, tanpa pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan yang memadai, jelas harus hati-hati menerapkan negara kekuasaan. DKI ke depan tidak boleh seperti itu.*

 

Penulis adalah mantan anggota DPR RI