Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Miris, Anak-anak Palestina Main Bola Ditodong Senjata
Oleh : Redaksi
Sabtu | 15-10-2016 | 09:02 WIB
maale_adumimbyafp.jpg Honda-Batam

Mereka ingin bermain sepak bola di stadion yang berada di daerah pendudukan, tapi dihentikan oleh tentara. (Foto: AFP)

BATAMTODAY.COM, Jerussalem - Belasan anak laki-laki Palestina membawa bola dan memakai seragam berjalan menuju daerah pemukiman Yahudi di kawasan Tepi Barat.

 

Polisi dan tentara Israel mencegah mereka memasuki gerbang kawasan yang bernama Maale Adumim yang menjadi tempat tinggal bagi 40.000 orang Israel di sebelah timur Jerusalem.

Rombongan itu sedang melakukan protes, dan di depan para wartawan, Fadi Quran yang mengorganisir protes mengatakan kepada petugas di sana bahwa anak-anak itu ingin bermain di stadion sepak bola di sana. "Anda tahu persis mereka tak boleh masuk," kata petugas tersebut.

"Bukan, bukan. Karena mereka butuh surat izin untuk masuk," jawab sang petugas.

"Orang-orang sedang melihat dan saya yakin penting bagi mereka untuk tahu bahwa ada segregasi seperti ini," kata Fadi lagi. Tak lama, protes ini berakhir. Namun makna simbolisnya belum, mengingat pekan ini sedang diselenggarakan pertemuan di Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) di Swiss.

Saatnya bagi mereka membicarakan apakah klub dari daerah pendudukan, termasuk dari Maale Adumim, harus dilarang bergabung dengan Asosiasi Sepak Bola Israel (IFA).

Presiden FIFA Gianni Infantino sempat dikutip bahwa menyelesaikan sengketa tajam seperti itu merupakan salah satu "prioritas" baginya.

Pemukiman Yahudi ini didirikan di atas tanah yang dicaplok dan diduduki oleh Israel pada tahun 1967, di tanah yang dikehendaki oleh Palestina untuk menjadi bagian dari negara Palestina merdeka. Pertandingan resmi divisi dua Liga Israel dimainkan di kawasan pendudukan di Maale Adumim.

Dunia internasional memandang pendudukan ini sebagai "ilegal" dan menjadi "halangan untuk perdamaian", sementara Israel menentang keras pandangan itu.

Menurut pihak Palestina, pendudukan ini melanggar aturan FIFA yang melarang negara anggotanya menyelenggarakan kompetisi di wilayah negara anggota lain tanpa seizin negara yang bersangkutan.

Mereka menunjuk pada larangan yang dikeluarkan Asosiasi Sepak Bola Eropa (UEFA) yang melarang tim dari Krimea bermain di Liga Rusia sesudah negara itu menduduki semenanjung Krimea pada tahun 2014.

Dalam suratnya menanggapi soal ini, Asosiasi Sepak Bola Israel (IFA) mengatakan mereka cuma berkonsentrasi "keuntungan sepak bola" dan menekankan "soal politik bukan bagian dari permainan kami".

Penasehat hukum IFA, Efraim Barak mengatakan sepak bola seharusnya "menjadi alat untuk mempromosikan perdamaian dan hubungan baik bertetangga di antara bangsa-bangsa."

FIFA sendiri menyatakan hal serupa, tetapi kini mereka diminta untuk mengambil sikap tegas dan menujukkan keadilan - terutama untuk memperbaiki diri di tengah terpaan skandal yang menimpa mereka.

Pegiat hak asasi Human Rights Watch (HRW) menyarankan agar IFA memindahkan pertandingan yang diakui FIFA ke wilayah Israel yang diakui oleh dunia internasional.

Maale Adumim merupakan salah satu kawasan pendudukan terluas di Tepi Barat yang dicaplok Israel tahun 1967.

"Dengan menyelenggarakan di tanah curian, FIFA ikut mengotori keindahan permainan sepakbola," kata Sari Bashri, direktur HRW untuk Israel dan Palestina.

Sebuah laporan dari kelompok HRW menemukan bahwa beberapa lapangan sepak bola dibangun di tanah Palestina yang dimiliki oleh perorangan.

Tambahan lagi, warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat tak boleh memasuki kawasan pendudukan, termasuk menggunakan fasilitas lapangan.

Untuk menekankan adanya ketimpangan dan diskriminasi, anak-anak Palestina yang berdemonstrasi tadi meninggalkan kawasan Maale Adumim sambil bernyanyi-nyanyi, "Infantino, biarkan kami bermain."

Israel dan Palestina sama-sama bersemangat dalam soal sepak bola, dan ini bukan untuk pertamakalinya konflik keduanya memasuki arena olah raga.

Tahun lalu, di tengah tekanan internasional, delegasi Palestina akhirnya membatalkan mosi mereka untuk meminta IFA dikenakan skors dari sepak bola internasional.

Sebagai gantinya, sebuah komite pengawas dibentuk dengan ketua pejabat FIFA Tokyo Sexwale, politikus Afrika Selatan dan bekas pegiat antiapartheid.

Tugas komite itu antara lain mengawasi pembatasan pergerakan pemain Palestina, memeriksa dugaan rasisme dan diskriminasi di wilayah pendudukan.

Sexwale diharapkan memberi rekomendasinya dalam pertemuan FIFA pekan ini.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Dardani