Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sanksi Sulit Dilaksanakan, Gerindra Tolak Pengesahan Perppu Kebiri
Oleh : Irawan
Rabu | 12-10-2016 | 18:35 WIB

BATAMTODAy.COM, Jakarta - Anggota Komisi VIII DPR RI Rahayu Saraswati Djojohadkusumo menyampaikan penolakan terhadap disahkannya Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Uandang-Undang) No. 1 tahun 2016 menjadi UU, yang disahkan melalui Paripurna DPR RI pada Rabu (12/10/2016).

"Berdasarkan pertimbangan yang matang dan mendalam, setelah mendengar pandangan-pandangan dari banyak kalangan, utamanya pegiat perlindungan anak serta kajian dan bukan menghadirkan harapan semu yang betul-betul memberikan solusi efektif komprehensif, kami mendukung langkah untuk memperberat sanksi bagi pelaku. Tapi UU Kebiri ini sulit dilaksanakan, maka Fraksi Gerindra menolak Perppu ini menjadi UU," tegas Saraswati dalam keterangannya di Jakarta.

Politisi Gerindra itu didampingi Ketua Komnas Perempuan Azriana, dan Sri Mulyati dari Forum Pengadu Pelayanan. Sebanyak 99 ormas pegiat anak-anak seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia), LBH Apik, Walhi, Kontras dan lain-lain juga menolak Perppu ini.

"Kok kita dianggap tidak pro perlindungan anak. Menkumham RI juga tak pernah hadir kecuali diwakilkan. Jadi, aneh Perppu ini disahkan tapi akan direvisi. Padahal, UU Perlindungan Anak tahun 2015 sudah direvisi untuk yang ketiga kalinya," ujarnya.

Sedangkan Azriana mengatakan, penolakan terhadap pengesahan Perppu Kebiri menjadi UU, karena kebiri seperti yang sudah diterapkan di Inggris, Jerman, dan Denmark justru tidak mengurangi kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.

"Biaya kebiri untuk satu orang per 3 bulan Rp700 ribu, sehingga kalau pelakunya banyak, maka anggaran negara yang dikeluarkan juga besar. Jadi, biayanya cukup mahal," kata Azriana.

Sementara biaya visum untuk korban tidak dianggarkan oleh pemerintah, melainkan biaya sendiri. Sementara pemulihan korban itu sampai puluhan tahun.

"IDI juga menolak terlibat, karena melanggar kode etik kedokteran, tidak berperikemanusiaan, melanggar hukum HAM, dan ditambah karut-marutnya proses hukum itu sendiri. Sedangkan UU yang ada belum dilaksanakan secara optimal," jelas Azriana.

Sri Mulyati dari Forum Pengadu Pelayanan mengaku sedih dengan disahkannya Perppu ini, karena pemerinrtah tidak fokus pada penyelesaian pembahasn RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

"Saya sedih dengan disahkannya Perppu ini, karena DPR dan pemerintah seharusnya fokus pada Pansus RUU PKS yang sudah masuk Prolegnas. Toh, kekerasan seksual itu tidak saja akibat alat kelamin, melainkan bisa melalui tangan, kaki, dan alat lainnya yang bisa merusak rahim perempuan. Pencegahannya pun anggarannya di APBD kurang dari 5 persen," kata Sri Mulyati.

Editor: Surya