Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Indonesia Menjawab Kritikan Soal Papua
Oleh : Redaksi
Selasa | 04-10-2016 | 12:48 WIB
amriljambak.jpg Honda-Batam

Amril Jambak. (Foto: Batamtoday.com)

Oleh Amril Jambak

TUDINGAN negara-negara di Kepulauan Pasifik, Kepulauan Solomon dan Vanuatu yang didukung oleh Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga, yang mengkritik catatan HAM di Papua, setidaknya berbalas pantun serta menyentakkan dunia.

 

Indonesia memprotes keras tudingan negara-negara di Kepulauan Pasifik yang mengkritik catatan HAM di Papua. Pernyataan tegas ini disampaikan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rabu (28/9/2016) kemarin.

Melalui pernyataan resmi yang dibacakan Perwakilan Tetap Republik Indonesia (PTRI), melalui juru bicaranya Nara Masista Rakhmatia, Indonesia menilai apa yang dilakukan enam negara di Kepulauan Pasifik itu telah melanggar Piagam PBB. Padahal salah satu agenda utama Sidang Umum PBB kali ini adalah untuk membahas implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan
kelanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs).

Solomon, Vanuatu, Nauru, Marshall, Tuvalu dan Tonga justru mencampuri kedaulatan negara lain dan melanggar integritas terotorial. Nara menyebut negara-negara tersebut punya agenda tersendiri dan menggunakan forum Majelis Umum PBB untuk mengalihkan perhatian dari masalah politik dan sosial dalam negeri mereka.

Ini merupakan kesempatan Indonesia untuk menjelaskan tentang keberadaan Papua. Apalagi momennya di Sidang Umum PBB. Bagi penulis, ada dua keuntungan yang diraih dalam kesempatan tersebut, pertama, keberanian. Indonesia tidak pernah tinggal diam ketika wilayahnya dicampuri oleh negara lain. Karena persoalan Papua bukanlah menjadi urusan negara lain.

Jika dilihat dari sejarah yang ada, tidaklah patut rasanya adanya pihak-pihak yang ingin mengadu domba ataupun menginjak kedaulatan Indonesia. Karena sebenarnya, Papua sudah jelas tidak bisa dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika ada yang berani menginjak kedaulatan Indonesia, berarti secara tidak langsung sudah berhadapan dengan ratusan juta jiwa penduduk Indonesia.

Kedua, dalam pemaparan di Sidang Umum PBB tersebut, Indonesia memperoleh momen untuk menjelaskan keberadaan Papua kepada peserta sidang. Dengan adanya momen tersebut, setidaknya bisa meluruskan simpang siur informasi tentang Papua

Oleh karena itu, sejatinya upaya internasionalisasi masalah HAM Papua tidak akan laku sama sekali, bahkan mereka yang memperjuangkan “kemerdekaan” Papua sekalipun perlu mempelajari masalah referendum, karena ada kesalahan konyol di pemikiran mereka bahwa referedum dilaksanakan untuk memerdekakan Papua, sebab dalam perspektif Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ternyata referendum bukan untuk separatisme, melainkan dialog dalam kerangka negara yang menggelar referendum tersebut.

Sejarah Papua

Papua sendiri menggambarkan sejarah masa lalu Indonesia, dimana tercatat bahwa selama abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, yang berpusat di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Palembang, Sumatera Selatan, mengirimkan persembahan kepada kerajaan China. Di dalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cendrawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua, yang pada waktu itu dikenal sebagai ‘Janggi’.

Dalam catatan yang tertulis di dalam kitab Negara Kertagama, Papua juga termasuk kedalam wilayah kerajaan Majapahit (1293-1520). Selain tertulis dalam kitab yang merupakan himpunan sejarah yang dibuat oleh pemerintahan Kerajaan Majapahit tersebut, masuknya Papua kedalam wilayah kekuasaan Majapahit juga tercantum di dalam kitab Prapanca yang disusun pada tahun 1365.

Walaupun terdapat kontroversi seputar catatan sejarah tersebut, namun hal itu menegaskan bahwa Papua adalah sebagai bagian yang tidak terlepas dari jaringan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang berada dibawah kontrol kekuasaan kerajaan Majapahit.

Selama berabad-abad dalam paruh pertama millennium kedua, telah terjalin hubungan yang intensif antara Papua dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, dimana hubungan tersebut bukan hanya sekedar kontak perdagangan yang bersifat sporadis antara penduduk Papua dengan orang-orang yang berasal dari pulau-pulau terdekat.

Selama kurun waktu tersebut, orang-orang dari pulau terdekat yang kemudian datang dan menjadi bagian dari Indonesia yang modern, menyatukan berbagai keragaman yang terserak di dalam kawasan Papua.

Hal ini tentunya membutuhkan interaksi yang cukup intens dan waktu yang tidak sebentar agar para penduduk di Papua bisa belajar bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, apalagi mengingat keaneka-ragaman bahasa yang mereka miliki. Pada tahun 1963, dimana dari sekitar 700.000 populasi penduduk yang ada, 500.000 di antara mereka berbicara dalam 200 macam bahasa yang berbeda dan tidak difahami antara satu dengan yang lainnya.

Beragamnya bahasa di antara sedikitnya populasi penduduk tersebut diakibatkan karena terbentuknya kelompok-kelompok yang diisolasi oleh perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya selama berabad-abad yang disebabkan oleh kepadatan hutan dan juga jurang yang curam yang sulit untuk dilalui yang memisahkan mereka, oleh karena itu sekarang ini ada sebanyak 234 bahasa pengantar di Papua, dua dari bahasa kedua tanpa pembicara asli.

Banyak dari bahasa ini hanya digunakan oleh 50 atau kurang pemakainya. Beberapa golongan kecil tentang ini sudah punah, seperti Tandia, yang hanya digunakan oleh dua pembicara dan Mapia yang hanya digunakan oleh satu pembicara.

Sekarang ini bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa pengantar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan merupakan bahasa di dalam melakukan berbagai transaksi. Bahasa Indonesia sendiri berasal dari bahasa Melayu, versi pasar.

Pemimpin Indonesia harusnya tegas, berani, dan mampu menjaga integritas Papua bersama NKRI. Karena Papu merupakan wilayah Republik Indonesia. Jadi, mari sama-sama kita jaga martabat bangsa. Harga mati bahwasanya Papua merupakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mari kita jaga marwah bangsa ini dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika, dan ideologi Pancasila.

Dukungan Kedaulatan NKRI

DALAM masa sidang pleno awal Maret 2014, Parlemen Eropa telah meratifikasi perjanjian Framework Agreement on Comprehensive Partnership and Cooperation Between the Republic of Indonesia, on the one part and the European Community and its Member States, of the other part (Comprehensive and Partnership Cooperation Agreement-PCA-RI-Uni Eropa) tahun 2009. PCA RI-Uni Eropa sudah diratifikasi 27 negara anggota Uni Eropa (UE).

PCA RI-UE merupakan perjanjian payung yang mengatur kerja sama dan kemitraan secara komprehensif, mendalam dan rinci antara RI-UE. Hubungan Indonesia-UE pasca PCA akan diwarnai oleh pengembangan hubungan yang lebih melembaga dan mencakup bidang kerjasama yang luas termasuk bidang politik, keamanan, counter terrorism, ekonomi, perdagangan, investasi, pendidikan, sosial budaya serta berbagai bidang strategis yang menjadi kepentingan bersama RI-UE.

PCA RI-UE merupakan dokumen yang secara hukum mengikat bagi kedua belah pihak. Dokumen juga mengatur penegasan dukungan UE baik negara anggota maupun semua lembaga UE seperti Komisi Eropa dan Parlemen Eropa, terhadap kedaulatan dan integritas wilayah NKRI. Dukungan penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah RI oleh Eropa adalah suatu kewajiban hukum. Uni Eropa juga terikat secara hukum untuk tidak mendukung gerakan separatis Indonesia dalam bentuk apapun juga.

Upaya-upaya kelompok separatis untuk membuat kantor di negara-negara UE seperti yang dilakukan Benny Wenda di Oxford Inggris adalah suatu hal yang bertentangan dengan kewajiban hukum PCA RI-UE dan hukum internasional, sehingga negara-negara UE yang terikat hukum akan melakukan tindakan dan mencegahnya.

Sir Graham Watson dan Ana Gomes bahkan sama-sama menyatakan Parlemen Eropa senantiasa mendukung keutuhan NKRI, mendorong agar ada pemajuan dan perlindungan HAM serta masalah kesejahteraan di Papua Barat dapat diselesaikan melalui dialog nasional diantara para pemangku kepentingan di Indonesia dalam kerangka NKRI. *

Penulis adalah Pemerhati Masalah Kebangsaan