Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pilkada 2017, Pestanya Demokrasi
Oleh : Redaksi
Kamis | 29-09-2016 | 11:02 WIB

Oleh Vegadiana Wyatama

TAK bisa dipungkiri bahwa demokrasi diidentikkan dengan pemilihan umum atau pemilu. Ini ditunjang dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana kepala daerah juga dipilih langsung oleh rakyat, sehingga euforia demokrasi semakin terasa. Momen pemilu ini pun telah menjadi media pesta rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan memilih pemimpinnya secara independen dan merdeka, namun tetap bertanggung jawab.

 

Rupanya, hak pilih masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri dengan memilih pemimpin di daerahnya secara langsung kurang didukung adanya sentimen positif dari masyarakat. Hal ini tercermin dalam presentase golongan putih (golput) yang relatif tinggi dalam Pilkada Serentak 2015 yang diselenggarakan di 8 provinsi, 170 kabupaten dan 26 kota di Indonesia pada 9 Desember 2015. Sebagai contoh, presentase golput di Batam mencapai 49.7%, di Malang, Jawa Timur mencapai 42.4%, bahkan di Samarinda presentase pemilih hanya mencapai 47% dan tingkat golput lebih besar dengan presentase 53%.

Rendahnya partisipasi masyarakat akan berpengaruh terhadap legitimasi pemimpin yang terpilih. Selain itu, tingginya angka golput juga menjadi salah satu penyebab maraknya protes maupun demonstrasi penolakan masyarakat suatu daerah atas kebijakan pemerintah setempat. Padahal kemungkinan tersebut dapat dihindari dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pilkada, sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar merupakan cerminan suara rakyat.

Ketika sebagian besar masyarakat mencari alasan untuk menjadi golput, ada baiknya kita telisik satu persatu dampak buruk golput dan manfaat menyumbangkan suara dalam pemilu, khususnya Pilkada Serentak 2017 yang rencananya akan dilaksanakan di 7 provinsi dan 94 kabupaten/kota di Indonesia.

Golput pada dasarnya merupakan istilah yang berkembang pada era Orde Baru, menjelang pemilu tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali. Menurut Fadillah Putra, langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak. Namun, hal itu terjadi lebih dari 4 dekade lalu, sedangkan saat ini demokrasi terus ditegakkan dan mengalami perbaikan-perbaikan, sehingga demokrasi semakin mengalami kemajuan. Maka sudah tidak selayaknya demokrasi yang tidak ditegakkan menjadi dasar bagi masyarakat untuk menjadi bagian dari kelompok golput.

Resiko menjadi bagian dari golput yang paling nyata adalah masyarakat tidak menyampaikan aspirasinya untuk memilih pemimpin yang nantinya akan bertanggung jawab dalam pemerintahan selama 5 tahun setelah ditetapkan berdasar hasil Pilkada. Hal ini tentunya akan membawa dampak bagi pembangunan nasional. Menurut Pengamat Perencanaan Pembangunan Nasional, Syahrial Loetan setidaknya terdapat 3 dampak negatif perilaku golput terhadap pembangunan nasional.

Pertama, program pembangunan yang disiapkan oleh pemimpin terpilih berpotensi tidak didukung oleh mayoritas masyarakat di wilayah tersebut. Salah satu alasannya adalah karena masyarakat yang tidak menggunakan hak suaranya tidak merasa menjadi pendukung dari program tersebut. Oleh sebab itu, potensi gagalnya pencapaian tujuan pembangunan menjadi cukup besar, dan tentunya hal ini akan memberikan dampak jangka panjang yang sangat berbahaya bagi suatu negara yang umur demokrasinya masih muda.

Kedua, kelompok yang tidak menggunakan hak suara pada saat Pilkada berpotensi menjadi kekuatan yang dapat melakukan “sabotase” atas program-program yang telah disusun oleh pemerintah yang dikomandoi oleh pemimpin, baik Gubernur, Bupati, maupu Wali Kota terpilih. Resiko ini dapat berupa “pembelokan” arah pembangunan, maupun berupa hambatan yang dapat memperlambat laju pembangunan pada suatu daerah.

Ketiga, kelompok yang tidak menggunakan hak suara, secara politis merasa berada diluar dari sistem politik yang dibangun, sehingga mereka dapat menganggap dirinya tidak bermasalah jika tidak memberikan dukungan kepada pemerintah yang dipimpin oleh pasangan yang terpilih dalam Pilkada.

Di lain sisi, Pilkada serentak merupakan upaya Pemerintah Pusat dalam melakukan efisiensi anggaran, mengefektifkan lembaga pemilihan umum, serta mensinergikan pembangunan antara pemerintah DATI II, DATI I, dan Pemerintah Pusat.
Memberikan suara dalam Pilkada juga mendatangkan berbagai manfaat bagi pemilih di suatu wilayah. Manfaat yang langsung dapat dirasakan masyarakat yang memberikan suaranya dalam Pilkada yaitu sarana membentuk perwakilan politik, dimana masyarakat memilih wakil-wakil yang dipercayainya dalam rangka menjadi bagian dari implementasi kedaulatan rakyat, sebagaimana asumsi demokrasi yaitu kedaulatan berada di tangan rakyat.

Dengan ikut memilih dalam Pilkada maka masyarakat juga turut menyumbangkan suara dalam menentukan masa depan suatu wilayah, sehingga secara tidak langsung mereka telah berpartisipasi politik dalam menetapkan kebijakan publik melalui calon yang aspirasinya bersesuaian dengan kepentingan masyarakat.

Pada akhirnya, Pilkada merupakan salah satu bagian dari demokrasi yang dituangkan dalam peraturan perundangan, antara lain PKPU No. 5 Tahun 2015 Tentang Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, maupun PKPU No 10 Tahun 2015 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, dimana setiap individu dalam masyarakat yang telah memenuhi ketentuan memiliki hak dan kewajiban dalam terselenggaranya Pilkada yang demokratis.

Berdasarkan ketentuan tersebut, masyarakat memiliki kewajiban yang harus diikuti dan juga memiliki hak untuk memilih yang harus digunakan sebaik-baiknya dan menghindari perilaku golput yang dapat merugikan diri sendiri maupun kemajuan wilayah tempatnya memilih. *

Penulis adalah Pemerhati Politik