Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Molornya Waktu Bongkar Muat di Pelabuhan Kita
Oleh : Redaksi
Rabu | 28-09-2016 | 15:14 WIB
Pelabuhan-Tanjung-Priok.jpg Honda-Batam

Penampakan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. (Foto: Ist)

Oleh Andreawati

PERMINTAAN Presiden Jokowi agar aparat yang terlibat di Pelabuhan Tanjung Priok mampu memangkas waktu bongkar muat barang (dweelling time) dari 6-7 hari menjadi 2,5 hari nampaknya belum juga terealisasi sesuai harapan dan keinginan presiden. Padahal permintaan itu sudah disampaikan Jokowi sejak dua tahun lalu.

Presiden berharap kita bisa menyamai waktu bongkar muat sampai barang keluar dari pelabuhan seperti Singapura dibawah 2 hari atau minimal sama dengan Malaysia 2,5 hari. Wajar saja kalau Jokowi marah dan kesal ketika meresmikan pelabuhan Kali Baru presiden mendengar waktu bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok masih berkisar antara 3,2 sampai 3,7 hari.

Kekesalan presiden bertambah ketika mengetahui waktu bongkar muat di pelabuhan utama lainya, Belawan dan Tanjung Perak serta Makassar masih tetap pada posisi 5-6 hari. Nampaknya pengelolaan pelabuhan di Indonesia masih dipenuhi dengan berbagai pungutan liar yang dilakukan secara terencana oleh aparat setempat. Dari informasi yang diterima presiden misalnya, di salah satu pelabuhan utama meski memiliki 8 crane, tapi sengaja hanya mengoperasikan 1 crane saja.

Motifnya sebagai alat tawar menawar dengan perusahaan pelayaran serta pemilik kontainer agar mau memberikan uang lebih supaya kontainernya cepat dibongkar-muat. Informasi yang diterima presiden itu tentu saja sangat valid, menyangkut moral pejabat yang masih suka melakukan pungutan liar diluar aturan resmi.

Hal ini sungguh memalukan karena tidak ada satupun presiden di dunia yang harus ikut campur tangan langsung dalam perrsoalan pelabuhan seperti di negeri kita. Kekesalan presiden sangat wajar akibat dari permasalahan yang terjadi di pelabuhan, negara mengalami kerugian yang sangat besar. Konon akibat dari lamanya proses dweelling time, membuat ongkos logistik menjadi mahal dan Indonesia kehilangan pendapatan hingga mencapai angka Rp.740 triliun.

Kita mendukung langkah Presiden Jokowi yang langsung memerintahkan Kapolri segera mengusut oknum-oknum yang bermain di pelabuhan. Para pejabat di pelabuhan lainnya juga tidak serius bekerja, pengelola di pelabuhan lainnya harus menunggu perintah langsung dari presiden baru bekerja, padahal instruksi presiden menurukan waktu bongkar muat berlaku untuk semua pelabuhan di Indonesia bukan hanya untuk Tanjung Priok saja.

Konon kepolisian sudah menindaklanjuti instruksi presiden bergerak secara senyap untuk mengawasi dimana hambatan yang membuat kelambatan apakah di pre costume clearence atau post costume clearence. Jika ditemukan sesuatu yang menghambat dweelling time diharapkan kepolisian segera memprosesnya secara hukum agar dapat menimbulkan efek jera. Masih tingginya waktu bongkar muat menandakan masih ada mafia yang terus bermain di pelabuhan.

Pengalaman tahun lalu, dari hasil penyelidikan Polri menetapkan seorang pejabat tinggi Kemendag sebagai tersangka, karena itu kita yakin dalam waktu dekat kepolisian juga bisa menemukan pejabat lainyang terlibat dalam penyalahgunaan wewenang di pelabuhan. Info yang diperoleh presiden terkait kesengajaan penggunaan crane secara terbatas adalah salah satu contoh dari kesengajaan itu. Jika perlu presiden dapat memerintahkan TNI bekerjasama dengan kepolisian untuk memberantas mafia di pelabuhan.

Waktu bongkar-muat yang lama bukan saja menimbulkan penumpukan barang atau peti kemas di pelabuhan, tetapi bisa berdampak luas terhadap berbagai aspek lainnya seperti hukum, ekonomi serta politik. Dari sisi hukum pasti terjadi pemerasan atau pungli oleh birokrat kepada pengusaha, atau pengusaha terpaksa harus melakukan penyuapan kepada birokrat agar barangnya bisa diproses lebih cepat. Dari sisi ekonomi terjadinya penumpuan barang menyebabkan kelangkaan barang di pasaran sehingga harga barang melonjak tinggi jauh dari harga pasar sebenarnya.

Pada akhirnya bisa menyebakan inflasi. Jika hal ini berlangsung dalam waktu cukup lama bisa saja menimbulkan gejolak politik, politisi serta kelompok kepentingan yang tidak sejalan dengan pemerintah sering kali memanfaatkan kelangkaan barang guna menuduh pemerintah tidak tanggap. Kebijakan pemerintah lalu dianggap tidak sesuai dengan nawacita dan program Presiden Jokowi.

Pada akhirnya kepercayaan publik terhadap pemerintah pun menurun. Pentingnya penurunan waktu bongkar muat di pelabuhan karena berpengaruh pada perekonomian masyarakat, lancarnya keluar masuk barang dari dan ke pelabuhan akan berimbas pada penurunan biaya logistik sehingga diharapkan harga barang kebutuhan masyarakat juga akan turun.

Upaya Menurunkan Dweelling Time

Kini masyarakat menunggu apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan para pembantu presiden untuk memperbaiki kinerja aparat di pelabuhan. Presiden sendiri memberikan waktu satu bulan kepada instansi terkait untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Sebagai langkah awal Menteri Perhubungan sudah berkoordinasi dengan Dirjen Bea Cukai, keduanya sepakat akan melakukan deregulasi beberapa aturan yang menghambat efisiensi bongkar muat, serta penyerderhanaan aturan.

Berbagai hal yang diterapkan di Pelabuhan Tanjung Priok untuk menurunkan dweelling time, nantinya juga akan diterapkan di pelabuhan lain sehingga waktu bongkar muat bisa diturunkan di seluruh Indonesia. Koordinasi dengan Bea Cukai diperlukan mengingat salah satu hambatan arus barang terjadi di post custom clearaence. Selain menyederhanakan peraturan dan perijinan yang masih berlaku di pelabuhan, juga perlu menjalin koordinasi dengan pihak terkait seperti Kemendag, Kementan, Badan Karantina, serta PT. Pelindo.

Diharapkan nantinya dweelling time di Tanjung Priok diturunkan menjadi 2,5 hari, dengan rincian 1 hari untuk proses pada pre-clearance, 12 jam di custom clearance, dan 1 hari post-custom clearance. Kemenhub juga akan menerapkan sistem tarif inap peti kemas secara progresif pada pelabuhan Makassar, Tanjung Perak dan Belawan seperti yang diterapkan di Tanjung Priok. Kebijakan itu diterapkan agar importir segera mengeluarkan peti kemas miliknya dari area pelabuhan.

Tarif progersif itu berupa kenaikan tarif mulai hari kedua, ketiga dan keempat, yakni 300 %, 600 % dan 900 % dari sekitar Rp.27.000 per 1 teus. Pengenaan tarif progresif memang perlu diterapkan, jika tidak maka sebagian besar pengusaha lebih suka menyimpan barangnya di pelabuhan daripada harus membayar sewa gudang di luar area pelabuhan yang tarifnya jauh lebih mahal.

Masalah dweelling time juga telah dibahas dalam Rapat Koordinasi Satgas Percepatan Perlaksanaan Kebijakan Ekonomi. Rakor sepakat menurunkan dweelling time di Pelabuhan Tanjung Priok dari 3,5 hari menjadi 2,5 hari, untuk itu masing-masing kementerian dan lembaga diminta melakukan pemangkasan perijinan. Selama ini perijinan harus selesai di tingkat Eselon I, dengan adanya deregulasi perijinan cukup diselesaikan di level bawahnya.

Kemehub juga akan memberikan kemudahan bagi imoportir yang memiliki repurtasi baik dengan tidak ada clearance secara berulang. Karena itu diharapkan adanya itikad baik dari pengusaha, agar tidak menyalahgunakan kemudahan yang diberikan. Sebaliknya pemerintah juga diminta tetap melakukan pengawasan ketat, meski faktor kecepatan diperlukan supaya tidak keccolongan.

Dengan adanya rencana pemerintah menkloning penerapan kebijakan di Tanjung Priok ke tiga pelabuhan utama lainnya, diharapkan nantinya semua pelabuhan utama dapat menurunkan dweelling time sama dengan di Tanjung Priok 2,5 hari. Namun ternyata Kemenhub belum berani menetapkan target tersebut terhadap pelabuhan Belawan, Tanjung Perak dan Makassar. Tanjung Priok bisa ditekan dari 6 menjadi 2,5 hari, tetapi tiga pelabuhan utama lainnya paling memungkinkan baru 3,5 hari dengan rincian 1 hari proses pada pre-clearance, 12 jam di custom clearance, dan 2 hari pada post-custom clearance.

Keberhasilan pengurangan waktu bongkar muat di pelabuhan sangat tergantung pada kerjasama dan koordinasi semua institusi pemerintah dalam proses kepelabuhanan. Karena itu Kemenhub sebagai regulator perlu meningkatkan kerja sama dengan lembaga pemerintah lainnya seperti Bea Cukai, Kemendag, Karantina dan institusi lainya terutama Kepolisian agar bekerja lebih terbuka, dan efisien sehingga fungsi pelayanan masyarakat di pelabuhan dapat ditingkatkan. *

Penulis adalah Pengamat Transportasi