Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membangun Rumah Aman Bagi Anak
Oleh : Redaksi
Jum'at | 16-09-2016 | 15:12 WIB

Oleh Sri Sayekti

APAKAH rumah itu? Bagaimana sebaiknya dalam membangun dan menjaga rumah agar tetap aman dan nyaman untuk dihuni? Negara itu rumah atau bukan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya sedikit menggambarkan keresahan masyarakat saat ini karena rumah yang ditinggali belum membuat aman dan nyaman orang didalamnya.

 

Lalu bagaimana dengan negara kita Indonesia? Indonesia merupakan negara gemuk yang dapat dilihat dari piramida penduduk yang menunjukkan bahwa presentase usia produktif 15-64 tahun menjadi usia mayoritas dengan jumlah 163. 367.690 jiwa atau 66,5% sedangkan usia anak-anak 0-14 tahun memiliki jumlah 67.144.054 jiwa atau 27,% dan sisanya usia lansia.

Namun tidak selamanya kegemukkan ini menjadi hal yang positif dalam kerangka pembangunan bangsa. Banyak masalah-masalah justru berasal dari jumlah penduduk yang teramat besar. Salah satunya kejahatan seksual pada anak-anak karena usia produktif dan anak-anak menjadi mayoritas penduduk di Indonesia pada saat ini.

Jika diibaratkan sebuah rumah, maka rumah ini tidak menjamin keamanan orang yang berada didalamnya khususnya untuk anak-anak kecil. Sehingga diperlukan suatu sistem untuk melindungi anak-anak untuk merasa aman dan nyaman melakukan segala aktivitasnya dalam rumah.

Sebuah negara sangat persis dengan sebuah rumah, selain merupakan tempat berlindung dari terik matahari dan hujan, rumah yang nyaman juga memiliki pagar dan interior yang memadai sehingga orang di dalam rumah dapat merasakan aman dan nyaman. Dinamika kehidupan rumah pasti mengalami keadaan yang harus dikontrol pada saat yang genting.

Saat ini keadaan yang dianggap genting yaitu kejahatan seksual pada anak-anak dengan berbagai kasus yang telah terungkap oleh aparat keamanan. Perlu diketahui bahwa kejahatan seksual pada anak adalah segala jenis kontak seksual orang dewasa pada anak-anak usia dibawah 15 tahun. Tolok ukur suatu kejahatan seksual dapat dilihat dari ketidakberdayaan salah satu pihak terhadap pihak lainnya.

Pada umumnya kasus kejahatan seksual pada anak-anak kecil terjadi dalam suatu lingkungan masyarakat yang berdekatan atau memiliki kedekatan seperti saudara, tetangga, teman bermain dan perkenalan melalui media sosial. Berbicara mengenai media sosial, mayoritas anak-anak Indonesia telah memiliki banyak akun medsos yang digunakan untuk upload foto atau video dan mengakses informasi dengan tanpa saringan.

Disadari atau tidak pengaruh media sosial terhadap perilaku seseorang sangat besar melalui apa yang dilihat dan didengar. Akses tehadap media sosial terlalu mudah bagi masyarakat khususnya anak-anak yang didalamnya juga termuat konten-konten atau hal-hal tabu dimana tidak seharusnya diketahui oleh anak-anak kecil.

Tulisan, gambar maupun video porno yang mudah diakses secara tidak langsung akan membentuk sifat dan perilaku anak-anak kecil dan menirukannya. Namun ternyata hal itu tidak saja berdampak pada perilaku anak kecil, bahkan merambat pada orang-orang dewasa yang terobsesi melakukan kejahatan seksual dengan target anak-anak.

Bukan suatu kebetulan bahwa anak kecil dijadikan sebagai sasaran perilaku tidak terpuji ini, hal tersebut karena lebih mudah menguasai anak-anak dibandingkan dengan sesama orang dewasa. Terkadang dengan iming-iming uang, jajanan atau mainan akan mudah menarik perhatian anak kecil dan pada ujungnya diajak bahkan dipaksa melakukan tindakan yang tidak baik.

Hal yang perlu dicermati dari apa yang telah terjadi di lingkungan masyararakat dengan semakin banyaknya kasus kejahatan seksual pada anak kecil ialah faktor pelaku dan faktor korban. Faktor pelaku ini tentu menjadi pendorong besar bagaimana suatu tindak kejahatan seksual dapat terjadi pada anak-anak dan dilakukan oleh orang-orang satu lingkungan.

Faktor korban dapat diartikan daya tarik seorang anak-anak khususnya perempuan terhadap orang dewasa dengan melihat bagaimana pakaian yang dipakai dan bagaimana cara berperilaku anak tersebut. Namun diantara dua faktor tersebut ada sisi lain yang harus diulas untuk menjadi bahan pertimbangan bagi seluruh masyarakat.

Hal yang dimaksud ialah peran orang tua dalam memberikan pendidikan yang matang kepada anak, wawasan yang luas tentang baik dan buruknya kehidupan serta pengawasan untuk tetap menjaga anak dalam jangkauan orang tua. Dalam hal ini orang tua dapat menjaga komunikasi dengan anak sehingga terciptanya hubungan yang erat antara orang tua dan anak akan membuat anak lebih menjaga dirinya ketika berada diluar rumah.

Maka anak-anak harus menanamkan rasa was-was dan selalu menghindari sesuatu yang terlihat tidak baik. Namun apakah itu sudah bisa menangkal tindak kejahatan seksual pada anak kecil? Jawabanya tentu tidak, melihat kasus-kasus yang telah terjadi sangat kental dengan lemahnya sistem negara dalam upaya untuk mencegah tindakkan tersebut.

Bagaimana langkah selanjutnya yang patut dilakukan? Salah satu langkah serius Pemerintah dalam menanggapi permasalahan kejahatan seksual pada anak-anak adalah dengan kebijakan Pemerintah dengan merancang Perppu Nomor 1 tahun 2016. Apakah itu bisa mengatasi masalah? Mari kita belajar memahami isinya.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 adalah sebuah Perppu yang dimaksudkan untuk mengubah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah juga dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014.

Perppu ini memiliki tujuan untuk lebih berat memberikan hukuman bagi pelaku tindak kejahatan seksual pada anak-anak yaitu kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik serta pemasangan alat deteksi elektronik. Hukuman penjara diperberat dengan minimal 10 tahun penjara sampai dengan maksimal 20 tahun penjara.

Dalam pasal 81 ayat 1 berbunyi demikian “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dengan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00. Dengan keras dan beratnya hukuman dan sanksi yang bakal dijatuhkan pada pelaku tindak kejahatan seksual pada anak, diharapkan mampu mengurangi kasus-kasus serupa.

Selain itu juga tujuan Perppu tersebut untuk menimbulkan efek jera bagi para pelaku fenomena kejahatan seksual pada anak. Peningkatan pemidanaan dianggap sebagai cara yang efektif untuk menekan kasus-kasus serupa. Dapat disimpulkan bahwa Perppu nomor 1 tahun 2016 memiliki daya yang kuat dalam upaya memberantas tindak kejahatan seksual pada anak anak.
Sosialisasi Perppu harus dioptimalkan dengan maksud memberikan pemahaman pada tingkat masyarakat tentang perlindungan anak merupakan hal yang sangat penting. Krisis kejahatan ini sudah berada pada level yang sangat mengkhawatirkan karena pemuda dan anak kecil merupakan bibit-bibit pemimpin bangsa yang melanjutkan tonggak kepemimpinan. Pada akhirnya juga kesadaran seluruh lapisan masyarakat untuk mampu menjaga lingkungannya agar tehindar dari perbuatan yang tidak terpuji dapat dimunculkan kembali.

Kesadaran masyarakat perlu untuk ditanamkan dan ditumbuhkan untuk menganggap bahwa permasalahan kejahatan seksual pada anak tidak hanya masalah pemerintah tetapi juga bagian dari masalah masyarakat yang harus diatasi bersama-sama. Rumah yang aman adalah rumah yang nyaman untuk ditinggali dan tidak ada masalah didalamnya.

Sehingga sistem yang ada dirumah tersebut menentukan perilaku orang untuk berbuat baik atau berbuat sebaliknya. Oleh karena itu, sistem akan berjalan jika pembuat sistem dan pelaksana sistem menyadari posisinya masing-masing. Tujuan dari pemberlakuan Perppu nomor 1 tahun2016 sebagai salah satu sistem harus dilaksanakan oleh seluruh masyarakat untuk menciptakan keadaan yang aman, nyaman dan kondusif.

Dukungan tehadap Perppu nomor 1 tahun 2016 tersebut harus semakin digalakkan agar pelaku-pelaku tidak berani melakukan kejahatan seksual pada anak, sehingga anak-anak akan merasa aman dilingkungannya. Segala upaya yang dilakukan pemerintah selama memiliki tujuan yang baik bagi masyarakat maka harus didukung sepenuhnya oleh masyarakat itu sendiri. Tidak ada negara yang berjalan tanpa adanya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat. *

Penulis adalah Aktivis Kegiatan Perlindungan Anak dan Remaja