Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Jokowi, Sri Mulyani, dan Patung Perunggu
Oleh : Redaksi
Senin | 12-09-2016 | 11:38 WIB
patung-perunggu.gif Honda-Batam

Ruang terbuka hijau di Taman Lapangan Banteng, Jakarta, Senin (16/2/2015). Area yang dulu sempat menjadi kawasan padat penduduk ini sekarang sudah berubah menjadi area taman kota. (Sumber foto: KOmpas.com)

Oleh  M Fajar Marta

 Di kawasan Lapangan Banteng Jakarta Pusat, ada sebuah patung yang dikenal sebagai Monumen Pembebasan Irian Barat. Sesuai namanya,  monumen ini dibuat untuk mengingatkan perjuangan bangsa Indonesia dalam membebaskan wilayah Irian Barat pada tahun 1962.

Patung ini menggambarkan orang yang berhasil memutus rantai yang membelenggu tangan dan kakinya, sebagai simbol lepasnya Irian Barat dari belenggu penjajahan Belanda. Namun, patung yang terbuat dari perunggu itu ternyata juga bisa menyimbolkan hal lain.

Dengan kedua tangan terangkat tinggi-tinggi ke atas, patung itu seolah menjerit, ”Uang sudah habis...!” Menurut anekdot, patung itu menyuarakan jeritan hati Menteri Keuangan yang berkantor persis di belakang patung itu.

Kepada siapa suara itu diarahkan? Banyak versi. Namun, melihat kondisi anggaran pemerintah sekarang, suara itu seolah ditujukan ke Istana Merdeka yang kebetulan berada di hadapan patung itu sejauh 1,5 km.

Menteri Keuangan, sebagai pencari uang sekaligus pengelola dana pembangunan seolah ingin mengatakan kepada Presiden agar mengerem belanja negara karena kantong pemerintah sedang cekak alias tak ada uang.

Tidak lagi sama
Saat ditunjuk sebagai Menteri Keuangan (menkeu) untuk kedua kalinya pada 27 Juli 2016, Sri Mulyani tentu telah menyadari bahwa kondisi anggaran negara saat ini tak lagi sama dengan saat dirinya menjabat Menkeu periode 2005 – 2010 dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Salah satu perbedaan yang menonjol adalah pemerintah saat ini senantiasa berkantong cekak. Dengan kata lain, kas pemerintah selalu defisit karena belanja negara lebih besar dari penerimaannya sepanjang tahun berjalan.

Ibaratnya, begitu ada uang masuk dari pajak atau penerimaan lainnya, dipastikan akan langsung habis untuk membayar kontraktor proyek-proyek infrastruktur. Dampaknya, pemerintah selalu berjaga-jaga mencari utang guna menutup defisit anggaran.

Sebab, jika tak dapat utang, anggaran negara benar-benar terancam, bisa-bisa anggaran rutin tak terbayar tepat waktu.

Per Juni 2016 misalnya, realisasi belanja negara sudah mencapai Rp 865,4 triliun, sementara realisasi penerimaan negara baru sebesar Rp 634,7 triliun. Terjadi defisit sebesar Rp 230,7 triliun.

Untuk menutup defisit tersebut, selama semester I 2016, pemerintah menambah utang baru sebanyak Rp 197,61 triliun. Sisa defisit ditutup dari utang yang diambil pada tahun sebelumnya.

Jadi, jika tak ada uang dari utang, kas pemerintah saat ini benar-benar kosong.

Situasi ini berbeda sekali dengan periode pertama Sri Mulyani menjadi menkeu.

Pada semester I tahun 2006 misalnya, realisasi penerimaan negara mencapai Rp 229,11 triliun sedangkan belanjanya sebesar Rp 215,27 triliun. Artinya, ada uang kas sebesar Rp 13,84 triliun di laci meja menkeu yang bukan uang utang.

Begitu pula dengan semester I tahun 2007, saat realisasi penerimaan sebesar Rp 260,65 triliun dan belanja Rp 237,02 triliun, yang berarti ada surplus Rp 23,63 triliun.

Kondisi tahun 2008 dan 2009 pun sama, selalu ada uang kas yang bukan berasal dari utang di laci meja pemerintah.

Tahun 2009 merupakan tahun penuh terakhir Sri Mulyani menjabat menkeu periode pertama. Tahun 2010 tidak dilaluinya secara penuh karena huru hara politik kasus Bank Century mendorongnya hijrah ke Amerika Serikat untuk menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia (World Bank).

Mengapa pemerintahan Presiden Jokowi selalu kehabisan uang?

Presiden Jokowi terlalu ambisius membangun infrastruktur, padahal uangnya tak cukup. Dampaknya, pemerintah harus berutang lebih banyak dan memangkas pos-pos anggaran lain agar tersedia dana yang cukup untuk membangun infrastruktur.

Dalam dua tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, anggaran infrastruktur memang dinaikkan “gila-gilaan”. Pada tahun 2015, anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, sedangkan pada 2016, angkanya ditinggikan lagi menjadi Rp 313 triliun.

Sebagai perbandingan, anggaran  infrastruktur pemerintahan Presiden SBY rata-rata hanya Rp 150 triliun per tahun.

Indonesia memang sangat membutuhkan infrastruktur untuk mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia tidak akan pernah bisa naik kelas menjadi negara maju.

Namun, terlalu ambisius membangun infrastruktur dengan mengorbankan kepentingan masyarakat jangka pendek juga tidak elok.

Apalagi, jika pemerintah mengandalkan utang untuk membangun infrastruktur. Itu sama saja membebani masa depan anak-cucu kita.

Selain itu, penerimaan negara agak seret dalam dua tahun terakhir. Ini tidak terlepas dari kondisi ekonomi global yang melemah yang kemudian berimbas pada perekonomian domestik.

Harga komoditas dan perdagangan dunia anjlok, menyebabkan kinerja ekspor Indonesia jatuh ke titik nadir. Begitu pula investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).

Di dalam negeri, lesunya perekonomian ditandai dengan melambatnya penyaluran kredit perbankan, yang per Juni 2016, hanya tumbuh 9 persen setahun. Padahal normalnya, pertumbuhan kredit mencapai 20 – 25 persen per tahun.

Daya beli masyarakat juga sangat lemah terindikasi dari inflasi inti yang terus menurun, per Agustus 2016 hanya 3,32 persen, terendah dalam tujuh tahun terakhir.

Lesunya perekonomian tentu berdampak pada kinerja perusahaan di berbagai sektor. Pendapatan perusahaan yang menurun akhirnya memengaruhi pajak yang mereka bayar.

Buktinya, realisasi pendapatan negara pada tahun 2015 hanya sebesar Rp 1.504,5 triliun. Nilai tersebut turun dibandingkan realisasi pendapatan negara tahun 2014 yang sebesar Rp 1.550,1.

Pada tahun-tahun sebelumnya, tidak pernah pendapatan negara menurun, kecuali tahun 2009 saat dunia dilanda krisis finansial.

Adapun realisasi penerimaan pajak pada 2015 sebesar Rp 1.240,4 triliun, tumbuh 8,22 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1.146,84. Pertumbuhan penerimaan pajak tersebut tergolong melambat karena biasanya pertumbuhan penerimaan pajak berkisar 12 – 15 persen, bahkan bisa mencapai 30 persen saat periode pertama Sri Mulyani menjadi menkeu.

Namun, penyebab utama turunnya pendapatan negara adalah anjloknya penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Pada tahun 2015, PNBP hanya Rp 252,4 triliun, turun 37 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 398,54 triliun. Kejatuhan harga minyak dan komoditas SDA lainnya membuat PNBP turun drastis.

Kondisi ekonomi tahun ini dan tahun lalu tidak jauh berbeda, bahkan bisa lebih buruk.

Indikasinya, realisasi pendapatan negara per semester I 2016 sebesar Rp 634,7 triliun, turun dibandingkan semester I 2015 yang sebesar Rp 697,4 triliun.

Penerimaan pajak juga turun dari Rp 555,2 triliun pada semester I 2015 menjadi Rp 522 triliun pada semester I tahun 2016.

Jika kondisinya terus seperti hingga akhir tahun, maka untuk pertama kalinya dalam 7 tahun terakhir, pertumbuhan pajak akan negatif.

Pemerintah sendiri menargetkan penerimaan pajak tahun 2016 sebesar Rp 1.320 triliun, atau terjadi shortfall  Rp 219 triliun dari target pajak dalam APBN-P 2016 sebesar Rp 1.539,16 triliun.

Pemerintah memasang target ini karena masih optimis kebijakan amnesti pajak bisa menyumbang pendapatan pajak sekitar Rp 80 – 100 triliun.

Alasan lainnya mengapa kantong pemerintah selalu cekak adalah belanja yang digenjot sejak awal tahun. Ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya saat belanja pemerintah pusat dan daerah baru digenjot pada semester II.

Strategi yang bagus ini bisa diimplementasikan karena perencanaan dan lelang proyek dilakukan sedini mungkin.

Pemangkasan anggaran
Sri Mulyani mungkin saja sedikit kaget dengan kondisi keuangan negara yang selalu cekak itu, yang membuat pemerintah menggantungkan anggaran pada utang.

Namun, yang paling membuatnya jengkel tentulah perencanaan anggaran yang tidak realistis dan tidak kredibel. Bayangkan saja, shortfall pajak tahun 2016 diperkirakan mencapai Rp 219 triliun. Ini berarti penerimaan pajak hanya 86 persen dari target yang dicanangkan dalam APBN-P 2016.

Itu pun masih mengasumsikan kebijakan tax amnesty akan sukses sehingga bisa menyumbang penerimaan pajak hingga Rp 80 triliun.

Perencanaan anggaran yang amburadul model begini jelas tidak ada dalam kamus Sri Mulyani yang telah membuktikan diri sukses mengelola anggaran pada periode pertamanya sebagai menkeu.

Pada tahun 2006 misalnya, yang merupakan tahun penuh pertama Sri Mulyani menjabat menkeu, realisasi penerimaan pajak mencapai 96,3 persen dari target dalam APBN-P 2006.

Pada 2007, realisasinya mencapai 99,8 persen. Bahkan pada 2008, realisasi penerimaan pajak mencapai 108 persen, yang berarti realisasi lebih tinggi dari targetnya.

Perencanaan yang matang tidak hanya disusun untuk pos penerimaan negara tetapi juga belanjanya.

Dalam kurun 2006 – 2008, realisasi belanja pemerintah berturut-turut 95,4 persen, 100,7 persen, dan 99,6 persen.

Dalam kurun waktu itu pula, defisit anggaran selalu dalam koridor aman dan penambahan utang hanya dilakukan seperlunya.

Karena itu, tidak heran jika akhirnya Sri Mulyani memangkas belanja negara 2016 sebesar Rp 137,61 triliun.

Pemangkasan dilakukan terhadap anggaran pemerintah pusat sebesar Rp 64,71 triliun dan anggaran transfer daerah senilai Rp 72,9 triliun.

“Ini dilakukan agar APBN menjadi lebih kredibel,” begitu selalu dikatakan Ani, sapaan Sri Mulyani saat ditanya soal pemotongan anggaran.

Demi kredibilitas APBN, Sri Mulyani dinilai tak akan segan-segan untuk kembali memangkas anggaran jika shortfall pajak lebih besar dari Rp 219 triliun dan penerimaan dana tebusan amnesti pajak di bawah Rp 80 triliun.

Expand