Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kisah Hamzah, 9 Tahun Menghijaukan Pesisir Untia
Oleh : Redaksi
Kamis | 08-09-2016 | 09:39 WIB
hamzah-mangrove1.jpg Honda-Batam

Meski usianya telah uzur, Hamzah tetap konsisten menjaga pesisir Untia, Kecamatan Biringkanayya, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia melakukan pembibitan mangrove hingga penanaman dan pengawasan. Ia juga melibatkan warga lain dan siswa-siswa sekolah untuk ikut menanam. Foto: Wahyu Chandra

Namanya Hamzah Andi Ahu, 57 tahun. Sehari-hari ia adalah nelayan di Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanayya, Makassar, Sulawesi Selatan. Meski usianya tak lagi muda, namun masih terlihat energik.

"Mungkin sudah ada sekitar 50 ribu pohon yang telah kami tanam, termasuk yang sudah besar itu," katanya sambil menunjuk ke hamparan mangrove yang tingginya telah mencapai 5 meter dan lebat," seperti dikutip Mongabay, Jumat (26/8/2016).

Tinggi mangrove di sekitar tempat tersebut bervariasi. Di bagian paling depan yang masih berumur 2 tahun tingginya baru sekitar 1 meter. Ketebalan mangrove masih sekitar 30 meter. Targetnya adalah mencapai 100 meter dari garis pantai.

Kawasan Pesisir Untia dulunya memang ditumbuhi mangrove alami, sebelum warga setempat mulai menebang untuk kepentingan bahan bakar di masa lalu. Namun aktivitas ini mulau berkurang seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran warga dan mulai digunakannya kompor gas untuk rumah tangga.

Bagian-bagian yang bolong inilah yang kemudian ditanami kembali Hamzah dan warga Untia lainnya dalam 9 tahun terakhir ini.

Hamzah adalah Ketua Kelompok Lestari, sebuah kelompok nelayan aktivitasnya khusus untuk penanaman mangrove. Meski kelompok ini baru dibentuk 2014 melalui Program Coastal Community Development International Fund for Agricultural Development (CCDP-IFAD), namun Hamzah dan sejumlah warga Untia lainnya sebenarnya sudah melakukan penghijauan tidak terorganisir.

"Kami mulai menanam sejak tahun 2007, sepanjang pantai ini, karena memang dulu sangat terbuka. Lalu kemudian ada banyak pihak yang mau membantu memberikan bibit. Jadi kita tanam sedikit demi sedikit ketika air surut," katanya.

Ketika program CCD-IFAD masuk di tahun 2014, baru mereka mengorganisir diri dalam kelompok yang beranggotakan 10 orang, berasal dari nelayan setempat.

"Dari IFAD ini sendiri kita dapat 10.000 bibit. Kita juga dibantu perahu, gabus, polybag, ajir sebagai penahan, dan sebagainya. Ada juga gaji bagi yang ikut menanam, sebesar Rp1.000 per batang," jelas Hamzah.

Manfaat Mangrove
Menurut Hamzah, awalnya keinginannya untuk bekerja menghijaukan pesisir berangkat dari keprihatinannya atas hilangnya mangrove di daerah tersebut. Kondisi itu berdampak langsung merusak tambak ikan yang ada di sekitar lokasi tersebut.

"Dulu banyak tambak yang rusak kalau musim Barat, dimana angin kencang menyebabkan abrasi. Di sebelah selatan itu ada banyak tambak, kalau bulan Januari akan habis pematangnya. Jadi kita coba bangun kembali di sana, kita tanam mangrove yang banyak dan alhamdulillah sudah dua tahun ini kondisinya sudah bagus," kata Hamzah.

Selain dapat menahan abrasi, sejumlah mangrove tertentu ternyata bisa dijadikan bahan makanan seperti kue dan dodol dan minuman. Mangrove juga penting sebagai tempat bertelurnya kepiting, yang hasilnya bisa dipanen setiap hari oleh warga sekitar.

"Mungkin tidak kelihatan kepitingnya karena selalu ada aktivitas penangkapan kepiting. Tidak hanya dari warga dari sini tapi juga dari luar banyak yang datang," ujarnya.

Usaha pembibitan mangrove yang dilakukan oleh Hamzah dan anggota kelompok lainnya kini masih terus berlangsung meski tidak lagi didukung penuh oleh pemerintah, khususnya dalam momen-momen tertentu.

"Sekarang kita punya sekitar 3.000 bibit. Biasa ada yang beli kalau kebetulan ada program penanaman. Keuntungan dari hasil pembibitan ini bisa menjadi penghasilan tambahan bagi warga di sini.”

Harga bibit mangrove sendiri tergantung pada besar kecilnya bibit. Bibit yang sudah agak besar saja dijual seharga Rp3.000 per batang. Ada juga yang dijual hanya Rp1.500 per bibit. Untuk kebutuhan bibit mereka biasanya mengumpulkan dari bawah pohon mangrove yang sudah besar.

Jenis mangrove yang dikembangkan kelompok ini ada 3 jenis, yaitu sejenis bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia) dan perepat atau Sonneratia alba yang oleh warga dikenal dengan nama ‘parappa’.

“Namun yang paling banyak tumbuh itu Rhizophora dan Avicennia. Bisa kita lihat banyak tumbuh di sekitar sini.”

Aktivitas mengelola kawasan mangrove ternyata tidak mengganggu aktivitas mereka sebagai nelayan, karena pembibitan dan penanaman hanya dilakukan di waktu-waktu tertentu saja. Sayangnya, tidak semua anggota kelompok seaktif Hamzah.

“Ada beberapa orang yang hanya aktif kalau ada bantuan, sementara saya dengan beberapa teman lain tetap aktif membibit dan menanam, berlanjut terus sampai sekarang.”

Meski demikian, di saat ada aksi penanaman mangrove, antusiasme warga untuk ikut menanam sangat besar, khususnya 13 anggota dampingan CCDP – IFAD yang ada di kelurahan tersebut.

Dengan kondisi mangrove yang terjaga baik, Hamzah berharap ke depan daerah itu bisa dijadikan sebagai kawasan wisata mangrove agar secara ekonomi bisa berdampak pada kesejahteraan masyarakat di sana.

“Kita masyarakat di sini masih banyak yang termasuk prasejahtera. Kita berharap tempat ini bisa menjadi ekowisata Mangrove sehingga kesejahteraan masyarakat di sini bisa terangkat. Mungkin seperti yang ada di Bali. Apalagi saat ini tempat ini sudah banyak dikunjungi oleh warga di sini untuk bersantai. Jadi kita bisa menjual apa pun di sini, seperti membuat warung, jualan suvenir atau lahan parkir.”

Tantangan
Tantangan pengelolaan mangrove di daerah itu, lanjut Hamzah, adalah mengembalikan kondisinya seperti dulu, ketika kawasan itu sangat padat dengan tanaman mangrove. Upaya ini tak mudah dan harus dilakukan perlahan-pahan dengan dukungan pemerintah dan pelibatan masyarakat secara luas.

Tantangan lain adalah dengan mulai munculnya penyakit-penyakit tertentu, khususnya ketika tanaman masih kecil, yang dapat menghambat pertumbuhannya.

"Saya sekarang mulai menanam dengan menancap langsung mangrovenya, tidak lagi menggunakan polybag. Kadang kalau ditanam di polybag bisa muncul ulat yang memakan akar dan batang mangrove sampai mati. Jadi saya pikir lebih baik langsung ditanam saja di laut," ungkapnya.

Untuk menahan agar mangrove tidak langsung rubuh ketika di tanam, maka kadang mereka menggunakan penahan dari bambu yang disebut ajir, yang diikatkan ke batang mangrove.

Selama 9 tahun aktif bergelut dengan mangrove membuat Hamzah belajar kapan waktu menanam mangrove yang tepat.

"Dulu, saya pernah menanam dan habis dalam beberapa hari karena saya belum pelajari situasi ombak. Satu kali dilibas ombak langsung habis. Sekarang saya sudah tahu waktu-waktu penanaman yang tepat," tutur Hamzah.

Selain sebagai kawasan wisata, Hamzah juga bermimpi kelak ia bisa membangun kawasan penelitian mangrove di daerah tersebut, sekaligus tempat belajar bagi anak-anak sekolah.

"Saya rencana mau buat tempat penelitian Mangrove mulai dari pengenalan buah, bibit, batang dan berbagai jenis Mangrove. Karena saya dengar jenis mengrove itu ada 12 macam sementara yang ada di sini hanya sekitar 3 – 4 jenis saja. Di sini anak-anak bisa belajar pentingnya menjaga mangrove untuk perlindungan ekosistem laut.”

Pelibatan anak-anak sekolah dalam menanam mangrove sebenarnya sudah pernah mereka lakukan, meskipun hanya di waktu-waktu tertentu saja.

“Kalau ada penanaman saya biasa libatkan anak-anak SD sampai SMA atau SMK terjun untuk menanam supaya mereka tahu seperti ini caranya menanam mangrove yang baik. Saya ajari juga jenis-jenisnya dan manfaat mangrove. Mereka datang sendiri. Hanya karena tempat yang terbatas sehingga saya belum bisa maksimal.”

Sumber: Mongabay
Editor: Dardani