Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Apa Kabar Otonomi Daerah
Oleh : Redaksi
Senin | 05-09-2016 | 09:26 WIB
amriljambak.jpg Honda-Batam

Ambil Jambak. (Foto: Ist)

Oleh Amril Jambak

OTONOMI daerah yang disingkat dengan Otda, lahir di tengah gejolak sosial yang sangat massif pada tahun 1999. Gejolak sosial tersebut didahului oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia di sekitar tahun 1997.

 

Gejolak sosial yang melanda Negara Indonesia di sekitar tahun 1997 kemudian melahirkan gejolak politik yang puncaknya ditandai dengan berakhirnya pemerintahan orde baru yang telah berkuasa selama kurang lebih 32 tahun di Indonesia.

Setelah runtuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998, mencuat sejumlah permasalahan terkait dengan sistem ketatanegaraan dan tuntutan daerah-daerah yang selama ini telah memberikan kontribusi yang besar dengan kekayaan alam yang dimilikinya.

Wacana otonomi daerah kemudian bergulir sebagai konsepsi alternatif untuk menjawab permasalahan sosial dan ketatanegaraan Indonesia yang dianggap telah usang dan perlu diganti. Inilah yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia.

Di balik itu semua ternyata ada banyak faktor yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia. Latar belakang otonomi daerah tersebut dapat dilihat secara internal dan eksternal.

Latar belakang otonomi daerah secara internal, timbul sebagai tuntutan atas buruknya pelaksanaan mesin pemerintahan yang dilaksanakan secara sentralistik. Terdapat kesenjangan dan ketimpangan yang cukup besar antara pembangunan yang terjadi di daerah dengan pembangunan yang dilaksanakan di kota-kota besar, khususnya Ibukota Jakarta.

Kesenjangan ini pada gilirannya meningkatkan arus urbanisasi yang di kemudian hari justru telah melahirkan sejumlah masalah termasuk tingginya angka kriminalitas dan sulitnya penataan kota di daerah Ibukota.

Selain latar belakang otonomi daerah secara internal sebagaimana dimaksud diatas, ternyata juga terdapat faktor eksternal yang menjadi latar belakang otonomi daerah di Indonesia. Faktor eksternal yang menjadi salah satu pemicu lahirnya otonomi daerah di Indonesia adalah adanya keinginan modal asing untuk memassifkan investasinya di Indonesia.

Dorongan internasional mungkin tidak langsung mengarah kepada dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, tetapi modal internasional sangat berkepentingan untuk melakukan efisiensi dan biaya investasi yang tinggi sebagai akibat dari korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.

Terlepas dari itu semua. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut. Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri.

Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran.

Tujuan pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah, termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Meski pemerintah pusat menilai kurang berjalan baik, tapi tak serta merta menarik beberapa kebijakan dari daerah ke provinsi dan pusat.

Di antara kewenangan yang dialihkan tersebut adalah, Pasal 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang Kehutanan, Kelautan, serta energi dan sumber daya mineral akan dibagi antara Pemerintah Pusat dan provinsi. Selain itu, pendidikan pun menjadi salah satu yang ditarik kewenangannya dari kabupaten/kota.

Benarkah ni merupakan langkah mundur pelaksanaan reformasi? Mantan Ketua Asosiasi Pemerintah Kebupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Israan Noor memiliki argumentasi berbeda dengan pemerintah pusat. Misalnya, terkait dengan rencana penarikan kewenangan perizinan, menurut Isran, usat memutarbalikan kenyataan, juga duduk persoalan yang ada.

“Jika memang ada yang numpang tindih antara perizinan daerah dan pusat, itu karena pemerintah pusat yang berkesan ingin menyabet kewenangan tersebut,” kritiknya.

Menurut dia, amanah UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang sudah diubah ke UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lalu UU No 12 Tahun 2008 sudah jelas mengatur soal kewenangan kabupaten/kota, provinsi, juga pusat.

“Di sana kan jelas, otonomi penuh itu ada pada kabupaten/kota dan di provinsi itu adalah kewenangan terbatas,” terangnya. Selain lima sektor yang dikelola pemerintah pusat, yakni hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, keuangan dan keamanan, peradilan, keuangan, dan agama, lainnya menjadi kewenangan daerah (kabupaten/kota).

Kini dengan adanya hasrat menarik kewenangan perizinan, Isran lantas mempertanyakan konsistensi pemerintah pusat untuk memberlakukan otonomi daerah. Dia juga menanyakan maksud dari perubahan itu dan tujuan akhirnya. “Otonomi daerah itu bukan keinginan para bupati, itu komitmen bangsa, kesepakatan saat reformasi,” tegasnya.

Apabila penarikan izin tersebut nantinya betul-betul diberlakukan, menurut Irsan, hal itu merupakan suatu kemunduran besar dari pelaksanaan reformasi. “Pusat seharusnya menjadi pengawal, pembimbing, pengawas, supervisi,” pungkasnya.

Melihat kondisi hari ini, memberikan banyak peran kepada provinsi, seyogyanya semua akan berpendapat dengan menyimpulkan bahwa riwayat otonomi daerah bakal berakhir seiring dengan pemangkasan wewenang kabupaten/kota. Dengan kata lain, apakah sentralisasi akan kembali seperti zaman kemerdekaan hingga orde baru? Jawabannya bisa ditanyakan kepada rumput yang bergoyang. *

Penulis adalah peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia, dan founder Forum Diskusi Publik.