Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Diperlukan Arah Pembangunan Nasional Terpadu dan Mengikat Semua
Oleh : Irawan
Minggu | 28-08-2016 | 18:56 WIB
rdp.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Muhammad Nabil, Anggota MPR dari unsur DPD RI saat melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Forum Kepimpinan Mahasiswa Kepri di Hotel Radisson, Batam, Kepulauan Riau pada 18 Juni 2016 lalu.

BATAMTODAY.COM, Batam - Pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan singkronisasi pembangunan antara pusat dan daerah. Hal ini diperlukan agar pembangunan nasional bisa terpadu dan mengikat semua dalam sistem ketatanegaraan.

 

"Perlu adanya singkronisasi pembangunan antara pusat dan daerah sehingga ada sesuatu yang berkesinambungan. Oleh karena itu, negara ini perlu alat untuk melakukan arah pembangunan nasional yang terpadu dan mengikat semua sistem ketatanegaraan. Sehingga tidak sesuka hati merubah alur pembanguna nasional dari apa yang sudah ditetapkan," kata Muhammad Nabil, Anggota MPR dari unsur DPD RI saat melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Forum Kepimpinan Mahasiswa Kepri di Hotel Radisson, Batam, Kepulauan Riau pada 18 Juni 2016 lalu.

Menurut Nabil, arah pembangunan nasional itu bisa dihidupkan kembali melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang saat tengah gencar dibahas oleh MPR RI.

"GBHN merupakan hal penting, tidak hanya untuk arah pembangunan nasional saja, tetapi juga pasca reformasi tidak ada lagi institusi yang meminta pertanggungjawaban presiden, karena dipilih langsung maka yang mengadili hanya rakyat saja," kata Nabil.

Setelah reformasi, lanjutnya, kewenangan MPR dalam menyusun GBHN ditiadakan diganti olleh Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan undang-undang.

Lalu RPJPN ini diturunkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode lima tahunan dan Presiden yang menentukan platform politik pembangunannya sendiri.

"Hal ini beda dengan AS. Indonesia pasca reformasi, RPJP presiden ikut susun, MPR enggak ikut, DPD enggak ikut. RPJM ditentukan presiden, APBN ditentukan presiden, pelaksanaannya juga presiden tanpa pertanggungjawaban apapun. Kalau presidennya tidak amanah, maka negara akan jatuh pada tampuk kekuasaan orang per orang. Maka, pemikiran menghidupkan kembali GBHN, harus ada dipikiran kita," katanya.

Anggota Komite I DPD RI ini mengatakan, dengan model demokrasi saat ini, kekuasaan nampak hanya digenggam segelintir orang dengan kekuatan kapital yang sangat besar. Sementara itu, kata dia, Presiden Jokowi dengan jargon Trisakti dan Nawacita-nya juga sudah bergeser seperti tunduk pada kekuasaan kapitalis.

Misalnya saja, banyak program dan gagasannya yang tak selesai bahkan cenderung berubah haluan."Meskipun presiden datang dengan gagasan nawacita dan tol laut. Ketika semua menunggu pelaksanaan gagasan tol laut yang keluar malah kereta cepat.

Padahal platform Merak enggak selesai hingga saat ini. Semestinya selesaikan dulu. Tol laut sebenarnya adalah reklamasi benoa dan jakarta, tarik lurus benamkan lautnya.

"Tapi presiden yang datang dengan gagasan tol laut tanpa menyertakan proses musyawarah, proses dampak lingkungan tiba-tiba melompat menyetujui proyek itu, " katanya.

Editor: Surya