Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kepimpinan Nasional Saat Ini Masih Jauh dari Harapan Masyarakat
Oleh : Irawan
Minggu | 28-08-2016 | 17:14 WIB
Nabil_juni_empatpilar.jpg Honda-Batam

Anggota MPR RI dari unsur DPD, Muhammad Nabil, saat melakukan Sosialisasi Empat Pilar di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) pada 17 Juni 2016 lalu.

BATAMTODAY.COM, Batam - Sentor Muhammad Nabil, Anggota MPR RI dari unsur DPD RI, menilai kepemimpinan nasional di era reformasi masih jauh dari harapan masyarakat. Hal ini dikarenakan permasalahan kepemimpinan nasional yang terjadi di negeri ini belum menemukan jawaban.

Hal itu disampaikan Nabil saat menyampaikan Sosialisasi Empat Pilar di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah dan Komunikasi Islam, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) pada 17 Juni 2016 lalu.

Nabil yang menyampaikan Sosialisasi Empat Pilar bersama Dandim 0316 Batam Letkol Inf Andreas Nanang Dwi Prastowo itu, mengatakan, ada lima masalah mengenai kemimpinan nasional yang hingga kini belum ada jawabannya.

Pertama kurangnya integitas sebagai pemimpin nasional. Pemimpin yang mempunyai integritas memiliki kepribadian yang mantab, tidak tercela, jujur dn dihormati orang lain. Pemimpin nasional ke depan dibutuhkan orang yang mempunyai integritas tinggi, artinya tingkat hubungannya dengan yang dipimpin menyatu berdasarkan pertimbangan “rasional transformatif” bukan "emosional transaksional".

"Keadaan ini akan melahirkan pemimpin yang mempunyai sifat perpaduan karakter manajer, pemimpin dan negarawan (Manager, Leader, Statesman).Reformasi yang belum mantap dan kondisi dalam negeri baik politik, ekonomi, sosbud dan hankam yang masih lemah apabila tidak cepat membangun kepemimpinan yang kokoh maka negara kita akan semakin larut dan terpuruk dalam persaingan global yang semakin ketat," kata Nabil.

Kedua, kurang dapat melepaskan diri dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan sesaat bagi dirinya dan orang dekatnya, terutama yang dianggap berjasa seperti tim suksesnya.  Reformasi yang bergulir sampai saat ini melahirkan UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih yang bebas Korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tetapi pada tataran empirik menunjukkan kasus korupsi juga terus semakin meningkat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan pejabat negara seperti para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati dan sebagainya menunjukkan bahwa pejabat negara yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat dalam tertib hukum dan tertib sosial justru malah menjadi terdakwa dengan tuntutan tindak pidana korupsi.

Ketiga, kurang memahami moral dan etika kepemimpinan. Implementasi etka dan moral pemimpin akan memberikan panduan bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Krisis yang melanda bangsa Indonesia tidak lepas dari kemerosotan moral dan etika pemimpin. Kasus Bupati Garut, misalnya, yang menikah kilat dengan cara kawin siri selama 4 hari dan melakukan perceraian dengan istrinya melalui sms telah menuai kontroversi di masyarakat yang berujung pelengseran sang Bupati Garut.

Keempat, kurang dapat memahami secara tepat esensi plural. Sebagai bangsa yang ultra plural dengan postur negara kepulauan merupakan kewajiban dari pemimpin agar yang dipimpin mendapat perlakuan yang sama.

"Tidak ada dominasi mayoritas terhadap minoritas dan juga tidak mengenal adanya tirani minoritas. Pluralisme adalah sikap keterbukaan sebagai suat kerangka interaksi dimana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain , berinteraksi tanpa konflik," kata Anggota Komite I DPD RI.

Kelima, lebih mengedepankan kepentingan partainya daripada aspirasi rakyat. Kenyataan di lapangan menunjukkan partai politik tidak bisa bebas bergerak , karena banyak keentingan yang membatasi.

"Partai politik pendukung pemerintah sulit untuk obyektif mengkritik kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Demikian juga parpol di luar pemerintah terhambat dan terkooptasi oleh kepentingan politiknya. Kasus bank Century dapat dijadikan contoh sulitnya mengedepankan kepentingan rakyat daripada kepentingan partai," katanya.

Nabi menambahkan, prinsip demokrasi dalam ketatanegaraan adalah bagaimana partai politik menghasilkan kepemimpinan yang berkualitas, karena demokrasi akan berkualitas bila menghasilkan pemimpin yang berbobot.

"Masa depan demokrasi di tanah air sangat ditentukan oleh kesanggupan demokrasi sebagai incubator untuk menciptakan pemimpin nasional yang negarawan dan visioner," katanya.

Editor: Surya