Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Perbedaan Bukanlah Pembeda Bagi Papua
Oleh : Redaksi
Kamis | 18-08-2016 | 15:52 WIB

Oleh Joseph Adelin

SAUDARA dari ujung timur Indonesia kembali bersuara, kali ini suara penuh makna dikicaukan di tanah istimewa pulau Jawa, DI Yogyakarta dengan mengangkat isu lama, yaitu Papua Merdeka.

 

Asrama mahasiswa Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta lagi-lagi dikepung, dikawal, serta diawasi oleh aparat kepolisian, dan kali ini ikut dibantu oleh organisasi masyarakat (ormas) yang menambah kericuhan pengepungan. Pengepungan terjadi selama dua hari, sejak 14-15 Juli 2016. Alasan kuat dilakukannya pengepungan ialah untuk mengamankan dan mengawasi kegiatan mahasiswa papua di Yogya yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) karena dianggap dan dikhawatirkan merupakan bentuk aksi-aksi separatisme untuk mendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam rangka melepaskan diri dari Indonesia.

PRPPB semula berencana melakukan long march dengan rute Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kusumanegara ke Titik Nol KM di Jalan Panembahan Senopati yang merupakan lokasi persimpangan strategis karena berada di pusat pariwisata Yogya, sekaligus sering dijadikan lokasi unjuk rasa. Serangkaian acara yang dilakukan oleh mahasiswa tersebut merupakan bagian dari aksi damai mendukung Gerakan Pembebasan Papua atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG) yaitu organisasi lintas pemerintah di kawasan Pasifik Selatan yang terdiri dari empat negara Melanesia, yakni Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu.

Aksi pengepungan memanas, ketika mahasiswa Papua yang berada di dalam asrama tidak diperbolehkan untuk menginjakkan kaki di luar asrama, dan terperangkap kelaparan didalam kepungan. Yang di luarpun tidak diizinkan masuk kedalam, apalagi memberi bantuan berupa makanan. Ditambah dengan lontaran kata-kata kotor dari ormas kepada mahasiwa Papua yang berada di dalam asrama melengkapi panasnya suasana saat itu juga.

Di sisi lain, mahasiswa Papua menyangkal jika aksi yang ingin mereka lakukan adalah bentuk aksi separatime, mereka menganggap aksi tersebut merupakan bentuk penyaluran aspirasi mereka kepada pemerintah di negara yang menganut sistem demokrasi ini. Bahkan sebaliknya, aksi pengepungan tersebutlah yang seharusnya salah karena melanggar hak kebebasan menyampaikan aspirasi dan menganggap aksi pengepungan ialah bentuk diskriminasi yang mereka dapatkan dari warga Pulau Jawa.

Ya begitulah hasilnya jika diliat dari masing-masing sisi, saling salah menyalahkan bukan mencari titik temu yang bisa mempersatukan. Memang sampai sekarang permasalahan OPM belum 100% terselesaikan karena masih ada pemicu-pemicu dari luar yang terus mengompori Papua untuk pisah dari keluarganya, yaitu Indonesia. Namun di situlah letak perjuangan yang dimiliki oleh Nusantara julukan untuk Negara Indoneisa yang terus berjuang mempertahankan keutuhan NKRI dari Sabang sampai Merauke.

Berkaca dari permasalahan yang terjadi di Yogyakarta tersebut, sebenarnya tidak ada yang perlu disalahkah dan saling menyalahkan, karena hal itu hanya dapat memperbesar masalah, alangkah baiknya jika saling introspeksi dan mengomunikasikannya dengan baik agar tidak terjadi diskriminasi. Introspeksi yang dimaksud di sini ialah masing-masing dari kubu mahasiswa Papua dan kubu aparat keamanan serta ormas yang mengepung melihat kembali apakah tindakan yang dilakukan tersebut benar, sesuai dengan aturan UU yang berlaku di Indonesia atau tidak.

Dari kubu mahasiswa Papua alangkah baiknya jika memikirkan dahulu matang-matang sebelum melakukan aksi atau kegiatan, apakah kegiatan yang akan dilakukan tersebut mengarah ke arah kegiatan separatisme atau tidak. Dan begitu juga sebaliknya dari kubu pengepung juga meliat kembali apakah cara mengepung tersebut merupakan cara yang baik untuk mengingatkan saudara dari timur Indonesia tersebut ketika khilaf. Walaupun pada kenyataannya penyelesaian masalah Papua tersebut memang tidak semudah itu, namun juga tidak perlu dipersulit yang pada akhirnya justru memperkeruh kondisi.

Adanya mahasiswa-mahasiwa Papua yang melanjutkan pendidikan di pulau Jawa seperti di Yogyakarta, seharusnya menjadi suatu momentum yang pas untuk menyelesaikan permasalahan OPM di Papua, bukan justru menjadi bahan atau indikator untuk menambah permasalahan-permasalahan baru. Dimana mahasiwa tersebut menjadi perwakilan untuk menyelesaikan permasalahan separatisme OPM di Papua.

Pada akhrinya, Papua tetap bagian dari keluarga Indonesia walaupun keluarga yang jauh dari ibukota, tetapi tetap merupakan bagian dari Indonesia. Perbedaan yang ada bukan menjadikan pemisah dari keluarga, namun perbedaan itulah yang menyatukan dan menguatkan NKRI. Permasalahan akibat perbedaan memang biasa terjadi di dalam keluraga, seperti contoh Yogya-Papua, namun kembali lagi penyelesaian melalui jalur kekeluargaan akan berbalik menjadikan perbedaan sebagai kekuatan, bukan pemicu tumbuhnya konflik. *

Penulis adalah mahasiswa asal Papua