Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Hasil Jajak Pendapat, 90 Persen Korban Pemerkosaan di Indonesia Bungkam
Oleh : Redaksi
Kamis | 28-07-2016 | 16:22 WIB
perkosaan_ilustrasi.jpg Honda-Batam

Ilustrasi.

BATAMTODAY.COM - Hampir semua korban pemerkosaan di Indonesia takut melaporkan ke kepolisian karena khawatir stigma masyarakat. Catatan muram tersebut diungkap dalam sebuah jajak pendapat.

 

Bahwa korban pemerkosaan di Indonesia cendrung bungkam karena rasa malu atau tekanan sosial, kini dipastikan oleh sebuah jajak pendapat. Lebih dari 90 persen kasus pemerkosaan di tanah air tidak dilaporkan ke kepolisian.

Survei tersebut dipublikasikan pekan lalu, ketika pemerintah berniat membangun pusat pengaduan untuk korban pemerkosaan. Langkah tersebut disambut aktivis perempuan karena dinilai bisa membantu mencegah tindak pemerkosaan.

Dari 25,213 responden online, sekitar 6,5% atau 1.636 orang mengatakan pernah diperkosa. Namun lebih dari 93 persen korban takut melaporkan ke polisi karena khawatir reaksi keluarga dan lingkungan sosial.

Menurut data yang ada sekitar sepertiga korban pemerkosaan berusia di bawah 18 tahun. Survey tersebut digelar oleh LSM anti kekerasan seksual, Lentera Sintas Indonesia, majalah Magdalene dan situs petisi online Change.org.

Direktur Lentera Sintas, Dr. Sophia Hage, menilai tingginya angka kasus pemerkosaan yang tidak dilaporkan cuma "pucuk gunung es" dan "mencerminkan betapa pekanya isu tersebut dan masyarakat cendrung menjadikannya tabu," tuturnya kepada Reuters.

"Salah satu alasan kenapa mereka tidak mengungkapnya adalah karena stigma sosial dan korban takut disalahkan. Jadi ada pembiaran dalam isu ini," imbuhnya. Sekitar 58% responden mengklaim pernah mengalami pelecehan seksual secara verbal. Sementara 25% lainnya mengaku pernah dilecehkan secara fisik, termasuk diraba dan dicium.

Pekan lalu pemerintah mengatakan sedang berencana membangun pusat statistik untuk mencatat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Lembaga tersebut diharapkan sudah bisa bekerja awal tahun 2017.

Aktivis perempuan mengeluhkan minimnya data statistik berdampak negatif pada pendidikan dan pencegahan kekerasan seksual. "Kami mendukung keputusan tersebut. Tapi pusat statistik harus ramah terhadap semua korban kekerasan seksual," kata Dr. Sophia Hage.

Sumber: Deutsche Welle
Editor: Dodo