Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Belajar dari Kasus Brexit
Oleh : Opini
Sabtu | 23-07-2016 | 12:57 WIB
macet brexit.jpg Honda-Batam

Kemacetan di tol Brebes Timur. (Sumber foto: Sekretariat Kabinet)

Oleh: Ahsan Zoelfa*

KEMACETAN merupakan momok yang selalu hadir mewarnai mudik lebaran, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Setiap tahunnya, sesama pemudik harus berjibaku satu sama lain untuk melewati kemacetan yang cukup menguras tenaga. Khusus pada tahun ini, terjadi kemacetan yang cukup “fenomenal” di tol Kanci-Pejagan menuju pintu keluar tol Brebes Timur, atau yang dikenal dengan nama tol Brexit (Brebes exit). Disebut “fenomenal”, karena kemacetan di wilayah Jawa Tengah tersebut dikatakan sebagai kemacetan terparah yang pernah terjadi di Indonesia.

Belajar dari Kasus Brexit

Oleh: Ahsan Zoelfa*

KEMACETAN merupakan momok yang selalu hadir mewarnai mudik lebaran, khususnya di wilayah Pulau Jawa. Setiap tahunnya, sesama pemudik harus berjibaku satu sama lain untuk melewati kemacetan yang cukup menguras tenaga. Khusus pada tahun ini, terjadi kemacetan yang cukup “fenomenal” di tol Kanci-Pejagan menuju pintu keluar tol Brebes Timur, atau yang dikenal dengan nama tol Brexit (Brebes exit). Disebut “fenomenal”, karena kemacetan di wilayah Jawa Tengah tersebut dikatakan sebagai kemacetan terparah yang pernah terjadi di Indonesia.

 

Kemacetan di Brexit pun mengundang banyak perhatian. Ditambah lagi, terdapat sekitar 15 orang yang meninggal karena terjebak macet horor tersebut, walaupun pihak Kemenhub, Kemenkes, dan Polri telah mengklarifikasi bahwa meninggalnya belasan orang tersebut disebabkan oleh penyakit bawaan masing-masing. Namun tetap saja kemacetan di Brexit menjadi headline di hampir semua media massa. Tidak hanya media nasional, sejumlah media massa internasional pun memberitakan kemacetan horor tersebut.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Perhubunga‎n (Kemhub), Sugihardjo‎, mengatakan kemacetan di ruas tol Pejagan-Brebes Timur ‎menuju arah Tegal disebabkan tiga faktor utama, yakni: 1. Jumlah ribuan kendaraan yang melintas setiap jamnya di jalur tol Pejagan-Brebes Timur ‎tidak mampu di tampung oleh jalan arteri, sehingga kendaraan yang asalnya dari Cipali dan Pantura itu terjebak macet hingga berpuluh jam di satu titik. 2.‎ Banyak dari pemudik yang tidak disiplin dengan menyerobot antrian lajur menuju Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), sehingga lajur yang dapat digunakan satu lajur contra flow menjadi bertambah sehingga mengurangi lajur berlawanan dan membuat arus kendaraan semakin terkunci. 3.

Petugas di lapangan terlambat melakukan pengalihan arus lalu lintas ke arah Brebes Timur sehingga terjadi stagnansi atau grid lock, sehingga kondisi lalu lintas macet total dan sulit diurai karena banyak pemudik yang juga sudah berhenti di pinggir jalan karena kelelahan menghadapi kemacetan.

Selain itu, keberadaan SPBU yang menjadi titik utama kemacetan, dikatakannya harus dibuat sekat dengan menggunakan traffic cone beserta pembatas tali sehingga tidak ada pemudik yang menyela antrean bensin‎. Pembelian bahan bakar di SPBU juga sudah kita arahkan agar tidak membeli berdasarkan volume liter yang membuat petugas harus memberikan uang kembalian, namun berdasarkan nominal pembelian dengan uang pecahan pas sehingga mempersingkat antrean di SPBU. Lebih lanjut, Sugihardjo juga melakukan‎ pengecekan dan sosialisasi terkait aturan baru mengenai pembebasan biaya bagi pengguna jalan tol bila terjadi kemacetan total hingga lima kilometer di Gerbang Tol Palimanan.

Melihat kemacetan horor yang disebabkan oleh berbagai faktot dan berdampak pada fenomena Brexit, publik pun bertanya, bahkan hingga menjadi perhatian media asing. Kemacetan parah di pintu keluar tol Brebes yang mencapai lebih dari 30 kilometer, rupanya menjadi perhatian dunia. Beberapa media asing seperti halnya koran Daily Mail dan laman Asian Correspondent menganggap kemacetan ini yang paling parah di dunia karena menyebabkan korban meninggal dunia.

Menyikapi pemberitaan tersebut, Kepala Pusat Krisis Kemenkes RI Achmad Yurianto menjelaskan, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan para korban meninggal dunia.

Kelelahan dan kekurangan cairan dapat berdampak fatal, terutama untuk kelompok rentan seperti anak-anak, orang tua dan mereka yang memiliki penyakit kronis (hipertensi, diabetes atau jantung. Ditambah kondisi kabin kendaraan yang kecil, tertutup dan pemakaian AC yang terus menerus. Hal ini akan menurunkan kadar oksigen dan meningkatkan CO2. Langkah nyata yang telah dilakukan pemerintah untuk membantu para pemudik, Kemenkes telah menyiagakan 3.583 sarana kesehatan yang terdiri dari 870 posko kesehatan, 2000 puskesmas, 371 rumah sakit dan 207 kantor kesehatan pelabuhan.

Presiden Joko Widodo, sebagai orang nomor satu Indonesia pun memberikan komentar. Menurut Presiden Jokowi, kemacetan horor di Brexit terjadi lantaran belum terintegrasinya seluruh jalan tol yang berada di utara Pulau Jawa dimana Brexit merupakan salah satunya. Presiden Jokowi juga menambahkan, kemacetan di Brexit merupakan resiko dari terlambatnya pembangunan. Presiden Jokowi pun bertekad akan menyelesaikan seluruh pembangunan jalan tol yang terhubung sepanjang pantai Pulau Utara dalam waktu dua tahun ke depan. Dengan demikian, diharapkan kemacetan horor seperti yang terjadi di Brexit tidak terjadi lagi.

Apabila pernyataan Presiden Jokowi terkait kemacetan di Brexit kembali dicermati, keterlambatan pembangunan infrastruktur di Indonesia merupakan salah satu permasalahan yang cukup vital. Ketersediaan infrastruktur yang memadai akan menggenjot aspek ekonomi, transportasi, bahkan sosial budaya sehingga pembangunan di Indonesia akan berjalan lebih lancar. Sebaliknya, apabila infrastruktur yang ada tidak memadai, dapat dipastikan Indonesia akan mengalami banyak permasalahan yang cukup membuat kewalahan. Kemacetan horor di Brexit dapat dijadikan contoh betapa ketersediaan infrastruktur memegang peranan penting terhadap kemaslahatan masyarakat.

Berangkat dari kenyataan tersebut, tentu sangat wajar apabila prioritas pemerintahan Presiden Jokowi saat ini adalah pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, membangun infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia bukanlah pekejaan yang mudah. Dibutuhkan kerja ekstra serta biaya yang tidak sedikit untuk membangun infrastruktur di negara yang luasnya sekitar 1,9 juta kilometer persegi ini. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu merasa pesimis apalagi skeptis apabila pemerintah mengambil hutang ke luar negeri untuk membiayai pembangunan di dalam negeri.

Masyarakat seharusnya optimis, bahwa semua hutang tersebut akan bermanfaat juga kepada masyarakat dalam bentuk ketersediaan infrastruktur yang memadai. Dengan kata lain, pemerintah membutuhkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia, baik berupa dukungan moriil hingga materiil. Apabila masyarakat dapat sepenuh hati memberikan dukungan kepada pemerintah, niscaya fenomena kemacetan horor seperti di Brexit tidak akan terjadi lagi.

*) Penulis adalah Pengamat Transportasi