Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Paradigma Pengampunan Pajak
Oleh : Opini
Rabu | 20-07-2016 | 10:46 WIB

Oleh: Dede August*

BISINGNYA pembicaraan mengenai skandal internasional bernama Panama Papers tampaknya berhasil menumbuhkan inisiatif pemerintah untuk melegalkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) pada 28 Juni 2016 lalu. Pasalnya, Panama Papers mengungkapkan, ada sebanyak 2.961 pengusaha Indonesia yang “memarkirkan” sebagian kekayaannya di luar negeri, terutama negara-negara dengan istilah tax heaven atau terbebas dari pajak.

 

Melihat potensi pendapatan pajak yang cukup besar itu, repatriasi kekayaan para konglomerat Indonesia menjadi penting untuk meningkatkan pendapatan negara melalui yang diperkirakan bisa bertambah sebanyak Rp165 triliun. Jumlah tersebut tentu sangat besar dan bisa menambah penerimaan negara dari pajak yang baru menembus angka Rp598 triliun atau hanya 46% dari target APBNP 2015.

Tax Amnesty adalah kebijakan pemerintah untuk memberikan pengampunan bagi para wajib pajak untuk melunasi dengan beberapa ketentuan pembayaran pajak 1aradi yang bisa dibilang murah. Tarif tersebut dibagi menjadi tiga kategori, yakni bagi usaha kecil menengah, bagi wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri, serta deklarasi aset di luar negeri tanpa repatriasi.

Jika dari sudut pandang Dirjen Pajak, Pengampunan pajak adalah program pengampunan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak meliputi penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun 2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT, dengan cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan.

Kebijakan Pengampunan Pajak adalah terobosan kebijakan yang didorong oleh semakin kecilnya kemungkinan untuk menyembunyikan kekayaan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena semakin transparannya sektor keuangan global dan meningkatnya intensitas pertukaran informasi antarnegara. Kebijakan Pengampunan Pajak juga tidak akan diberikan secara berkala. Setidaknya, hingga beberapa puluh tahun ke depan, kebijakan Pengampunan Pajak tidak akan diberikan lagi.

Bagi wajib pajak yang mengungkapkan harta sampai Rp10 miliar akan dikenai aradi tebusan sebesar 0,5%, dan jika lebih dari Rp 10 miliar dikenai 2%. Lalu, untuk wajib pajak yang bersedia merepatriasi asetnya di luar negeri akan diberikan aradi tebusan sebesar 2% untuk Juli-September 2016, 3% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 5% untuk periode 1 Januari 2017 sampai 31 Maret 2017. Terakhir, wajib pajak yang mendeklarasikan asetnya di luar negeri tanpa repatriasi akan dikenai aradi 4% untuk periode Juli-September 2016, 6% untuk periode Oktober-Desember 2016, dan 10% untuk periode Januari-Maret 2017. Kecilnya tebusan tersebut pun dianggap sebagai “ aradi segar” atau “ arad” bagi wajib pajak yang sebelumnya lalai membayar pajak.

Jika kebijakan tax amnesty dianggap arad, maka para wajib pajak seharusnya akan menebus dosa mereka dengan melunasi tunggakan pajak. Namun, hal ini tidak 100 persen dianggap benar, karena menurut Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo, pemerintah Indonesia harus belajar dari 40 negara yang rata-rata gagal dalam melaksanakan tax amnesty. Bahkan International Monetary Fund (IMF) pada 2008 berargumen kalau kesuksesan tax amnesty merupakan hal yang tidak normal, sedangkan kegagalanlah yang normal. Selain itu, menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), pada 1960, Indonesia sebenarnya pernah menerapkan pengampunan pajak, sayangnya kebijakan tersebut gagal.

Jika terus dihantui aradi-bayang kegagalan negara lain, maka pernyataan IMF adalah bisa saja menjadi kenyataan bagi Indonesia. Namun, paradigma itu bisa saja dipatahkan jika Indonesia mampu melakukan persiapan yang lebih matang dan adanya dukungan dari seluruh masyarakat, terutama para wajib pajak yang masih ber-“dosa”. Persiapan yang matang tentu tidak cukup hanya dengan melegalkan aturannya saja, pemerintah juga harus belajar dari sejarah kegagalan bangsa ini maupun negara lainnya dalam menerapkan pengampunan pajak, dan lebih giat membujuk para wajib pajak untuk untuk melunasi tunggakannya.

Dengan demikian, peluang bagi Indonesia untuk menjadi negara keempat yang sukses menjalankan kebijakan Tax Amnesty, setelah India, Afrika Selatan, dan Italia akan semakin terbuka lebar. Rencana Pembangunan pun kedepannya akan lebih mudah direalisasikan karena modalnya sudah mencukupi.

Untuk calon pemburu kebijakan tax amnesty, Hal yang perlu diingat bahwa waktu yang berlaku untuk Pengampunan Pajak berlaku sejak disahkan hingga 31 Maret 2017, dan terbagi kedalam 3 (tiga) periode, yaitu: Periode I: Dari tanggal diundangkan s.d 30 September 2016, Periode II: Dari tanggal 1 Oktober 2016 s.d 31 Desember 2016, dan Periode III: Dari tanggal 1 Januari 2017 s.d 31 Maret 2017.

Ikut serta dalam Pengampunan Pajak juga membantu Pemerintah mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; merupakan bagian dari reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.

Mari para orang kaya Indonesia, kami sebagai masyarakat Indonesia sangat berharap anda bisa mengembalikan harta anda kembali ke Indonesia untuk pembangunan negara kita bersama, karena kemajuan Indonesia tidak lepas dari keinginan anda untuk memodali kemajuan tersebut.

*) Penulis adalah Pengamat Perpajakan