Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Melindungi Perempuan dan Anak dari Kekerasan
Oleh : Opini
Rabu | 13-07-2016 | 12:38 WIB

Oleh: Moch. Irfandi*

KEKERASAN terhadap perempuan dan anak seakan menjadi benalu yang terus membayangi kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak, kasus tersebut terdata selalu meningkat tiap tahunnya. Anak usia di bawah umur dan wanita selalu menjadi target sasaran dalam tindakan keji tersebut yang notabennya dilakukan oleh oknum kaum lelaki yang melibatkan banyak orang.

 

Melihat fenomena tersebut selalu terjadi di Indonesia, tak heran jika banyak kalangan mendesak pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan aturan mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak untuk mencegah terulangnya praktek kekerasan terhadap perempuan dan anak. Lantas pencegahan harus dimulai dari mana?

Merujuk catatan tahunan Komnas Perempuan, angka kekerasan terhadap anak dan perempuan pada 2015 naik 9 persen dibandingkan setahun sebelumnya. Sementara itu, menyikapi tren peningkatan kasus kekerasan terhadap anak, Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa menyatakan sikap bahwa melihat tren kekerasan terhadap perempuan dan anak yang memang cenderung meningkat, diperlukan gerakan kerakyatan untuk mengantisipasinya. Gerakan itu, memungkinkan seluruh lapisan masyarakat ikut terlibat sehingga peluang terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan bisa dicegah.

Kemudian sebelumnya, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise telah melakukan berbagai gerakan kampanye nasional stop kekerasan perempuan dan anak. Menteri Yohana berharap penegakan hukum bagi pelaku juga dimaksimalkan. Yohana mengatakan dukungan untuk selamatkan anak dari predator anak. Tegakkan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap anak.

Salah satu bentuk gerakan kampanye nasional stop kekerasan perempuan dan anak adalah digelarnya sosialisasi bertema “Akhiri Kekerasan Perempuan dan Anak, Cegah Perdagangan Orang”. Acara ini digelar karena perempuan dan anak masih rentan mengalami kekerasan dan perdagangan manusia. Misalnya kekerasan pada perempuan yang baru saja terjadi pada staf ahli anggota dewan Masinton Pasaribu, Dita Aditia. Sementara kasus kekerasan pada anak misalnya kasus penculikan siswa SD di Depok yang tewas ditemukan di kamar mandi pelaku.

Sekitar 150 murid sekolah dasar hingga sekolah menengah ke atas menjadi peserta. Dalam mensosialisasikan kampanyenya, peserta bersama Menteri Yohana mengelilingi Stadion Utama Gelora Bung Karno sambil membawa poster yang sesuai dengan kampanyenya. Beberapa tulisan yang ada di poster itu misalnya "Anak Indonesia Menolak Ada Kekerasan" dan "Stand For Children Rights". Yohana kemudian membacakan deklarasi perlindungan anak dan perempuan dari kekerasan.

Sementara itu di sisi lain, Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Jawa Tengah mendesak pemerintah dan DPR menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.

Kepala Divisi Monitoring, Informasi, dan Dokumentasi LRC-KJHAM Jawa Tengah, Witi Muntari menyatakan RUU itu dibuat untuk menghentikan kasus kekerasan terhadap perempuan yang selama November 2014 hingga November 2015, terjadi 477 kasus dengan 1.227 orang perempuan menjadi korban kekerasan. RUU ini, kata Witi, juga mengatur peran dan tugas lembaga negara, korporasi, serta lembaga masyarakat untuk menghapus kekerasan seksual yang aturannya belum ada di dalam KUHP, KUHAP, dan peraturan perundang-undangan lain.

Ketua Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) Jawa Tengah Soka Handinah Katjasungkana menyatakan pada semester I/2015 terjadi kekerasan terhadap 565 orang, sebagian besar perempuan. Angka ini meningkat dibanding periode yang sama 2014 sebanyak 561 orang. Kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahun meningkat. Pada 2012 ada 393 kasus, pada 2013 menjadi 766 kasus, dan 2014 terjadi 679 kasus. Yang paling banyak adalah kekerasan fisik. Pada 2012 ada 322 kasus, pada 2013 sebanyak 242 kasus, dan pada 2014 terjadi 429 kasus. Sedangkan kekerasan terhadap anak pada 2014 ada 799 kasus. Rinciannya, sebanyak 152 korban adalah laki-laki dan 627 anak perempuan.

Aksi tersebut tentunya membuahkan hasil, Menurut tambahan pernyataan Menteri Sosial, Draf finalisasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah selesai dibuat dan segera diberikan oleh Komnas perempuan. Meskipun baru tahap finalisasi, kata Khofifah, Kementerian terkait sudah proaktif. Draf tersebut nantinya akan diberikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah. Setelah itu, bila sudah disetujui DPR dan pemerintah, baru dibentuk tim untuk membuat undang-undang.

Selain itu, Khofifah juga menegaskan kembali bahwa peran dan gerakan masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas kekerasan terhadap anak dan perempuan. Jika undang-undang dan regulasinya sudah dibentuk tetapi rakyat tidak membantu, peluang terjadinya (kekerasan) akan tetap ada.

Melihat fenomena yang marak terjadi di Indonesia saat ini, seperti aksi kekerasan terhadap perempuan dan anak yang memicu tuntutan penegakkan hukum, aksi mendorong pembuatan peraturan hukum yang sah terhadap kasus kekerasan perempuan dan anak, dan upaya yang dilakukan pemerintah dalam merespon tren kekerasan perempuan dan anak, semua upaya tersebut tidak akan ada gunanya jika pencegahan tidak dimulai dari masyarakat itu sendiri. Peran keluarga sangat penting untuk memerhatikan anak-anak pada masa tumbuh kembangnya.

Orang tua dan seluruh masyarakat Indonesia hukumnya wajib berusaha untuk menghindarkan anak-anak dari bahaya predator, melalui komunikasi yang penuh kasih sayang terhadap anak-anak. Selain itu, orang tua juga diharapkan mengawasi anak-anak dalam hal menggunakan gadget dan kegiatan lain yang akhirnya menimbulkan modus yang tidak terpuji dan dapat mengarah pada kemunculan kasus kekerasa terhadap anak.

*) Penulis adalah Peneliti LSISI Indonesia