Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

WNI Disandera Lagi, Momentum TNI Bergerak!
Oleh : Redaksi
Kamis | 07-07-2016 | 11:28 WIB

Oleh: Moch. Irfandi

MASYARAKAT Indonesia dikejutkan kembali dengan adanya penyanderaan tujuh anak buah kapal (ABK) WNI oleh kelompok bersenjata di perairan Sulu, Filipina Selatan. Penyanderaan kali ini merupakan penyanderaan ketiga kalinya dalam empat bulan terakhir. Sebelumnya, 10 WNI ABK kapal tunda Brahma 12 disandera kelompok Abu Sayyaf dan dibebaskan pada awal Mei 2016. Kemudian, empat ABK kapal Tunda Henry juga disandera kelompok Abu Sayyaf dan kemudian dibebaskan pada pertengahan Mei 2016. Lantas apakah ini pertanda bagi angkatan bersenjata Indonesia untuk unjuk gigi dalam menjamin keamanan bagi masyarakat Indonesia.

 

Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto mengaku prihatin atas kembali terjadinya penyanderaan terhadap warga negara Indonesia oleh kelompok bersenjata asal Filipina. Ia meminta agar Pemerintah Filipina segera menyelesaikan permasalahan-permasalahan internalnya dengan Abu Sayyaf maupun kelompok bersenjata lain sehingga tidak merisaukan negara tetangga.

Ia menilai, pengamanan perairan yang dilakukan Filipina tidak sekuat Indonesia. Agus berharap Filipina fokus memperkuat sektor tersebut. Kalau di perairan Indonesia sudah betul-betul terjamin. Armada kita juga selalu berpatroli di sana. Bahkan kapal perang Indonesia juga berpatroli di sana.

Sebelumnya, Menteri Luar Negeri RI Retno L.P. Marsudi membenarkan terjadi penyanderaan terhadap 7 warga negara Indonesia (WNI) oleh kelompok bersenjata asal Filipina. Tujuh WNI tersebut merupakan anak buah kapal (ABK) TB Charles 001 dan kapal tongkang Robi 152. Retno mengatakan, informasi soal penyanderaan itu diterimanya pada 23 Juni 2016.
Sehubungan dengan tindak lanjut dari pihak Indonesia tentang penyanderaan tersebut, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas II Samarinda, Kalimantan Timur, menghentikan sementara pelayaran menuju perairan Filipina. Penghentian ini dilakukan setelah tujuh kru tugboat atau kapal tunda Charles yang disandera oleh kelompok bersenjata dari Filipina.

Kepala KSOP Samarinda Kolonel Laut Yus K Usmany menyatakan, penghentian jalur pelayaran pengangkutan batu bara ke perairan Filipina itu berdasarkan surat Menteri Perhubungan Republik Indodnesia Ignasius Jonan tertanggal 24 Juni 2016.
Terhitung sejak 24 Juni 2016, izin jalur pelayaran menuju perairan Filipina kami hentikan. Hal itu berdasarkan surat Menteri Perhubungan yang melarang aktivitas pelayaran di perairan Filipina sampai ada jaminan keamanan dari negara itu.

KSOP Samarinda saat ini tidak memberikan izin pelayaran dua pengangkutan batu bara yang melalui jalur laut Filipina. Izin tersebut diajukan oleh PT Rusianto Bersaudara, pemilik kapal tunda Charles yang krunya diduga disandera.
Sebelum ada surat dari Menhub itu, KSOP Samarinda telah mengeluarkan surat edaran tertanggal 22 April 2016 tentang peningkatan kewaspadaan terhadap kapal-kapal yang akan berlayar menuju perairan Filipina. Surat edaran itu dibuat berdasarkan telegram Direktur Kesatuan Penjagaan Pantai Nomor 80/IV/DN-16 April tanggal 21 April 2016.

Surat itu berisi permintaan kepada nakhoda, pemilik atau operator kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar menuju atau melintas dari dan ke Filipina, untuk menghindari daerah konflik atau perairan selatan Filipina dan perairan timur Malaysia. Jika tetap melakukan pelayaran, maka wajib membuat surat pernyataan untuk menghindari pelayaran di zona konflik dan perusahaan bertanggung jawab jika melanggar imbauan tersebut.

Sementara di sisi lain, dengan adanya penyanderaan kembali WNI yang diduga oleh Abu Sayyaf, Pengamat militer Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati meminta pemerintah lebih bersikap tegas merespons masalah penyanderaan terhadap warga negaranya. Negara harus segera mengambil langkah taktis menanggapi masalah tersebut. Hal itu demi memberi kepastian keamanan bagi warganya, khususnya yang beraktifitas di perairan Sulu, Filipina Selatan.

Nuning mengatakan, pemerintah harusnya sudah mengirimkan pejabat ke Filipina. Pemerintah Indonesia harus segera memastikan kesanggupan negara Filipina merespons masalah terorisme yang terjadi berulang kali. Indonesia seharusnya sudah kirim pejabat untuk melakukan "shuttle diplomacy" ke Manila untuk meminta kejelasan apakah Manila sanggup bantu atau Indonesia boleh aksi sendiri.

Jika sudah dipastikan bahwa pemerintah Filipina tidak sanggup, maka, pemerintah Indonesia harus bertindak cepat. Menurut Nuning, Indonesia sebelumnya memiliki catatan bagus menghadapi kasus-kasus penyanderaan komplotan terorisme internasional. Kita memiliki berbagai pengalaman hebat di masa lalu dalam hadapi masalah hostage (penyanderaan).

Indonesia punya pengalaman bebaskan hostage di luar negeri, (Operasi) Woyla dan MV Kudus. Operasi Woyla adalah operasi pembebasan pembajakan pesawatGaruda DC 9 pada 31 Maret 1981. Operasi tersebut dilakukan oleh Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang kini menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Operasi Woyla disebut-sebut sebagai operasi penyelamatan sandera terbaik. Kemudian, Operasi pembebasan sandera kapal MV Sinar Kudus adalah sebuah operasi pembebasan awak kapal MV Sinar Kudus yang disandera di Somalia pada 16 Maret 2011.

Pemerintah saat itu membentuk Satgas Merah Putih untuk membebaskan para sandera. Satgas yang dibentuk melibatkan dua kapal fregat, yakni KRI Abdul Halim Perdanakusuma-355 dan KRI Yos Sudarso-353, satu kapal LPD KRI Banjarmasin-592 dan satu helikopter, “sea riders” dan LCVP. Personel yang dikerahkan terdiri atas pasukan khusus dari Kopassus (Satuan 81/Penanggulangan Teror), Korps Marinir (Denjaka) dan Kopaska.

Sejarah boleh saja memceritakan bagaimana kegagahan angkatan bersenjata Indonesia dalam menyelesaikan beberapa kasus penyanderaan pada masa lalu. Namun ketika kasus tersebut kembali mencuat saat ini, tentunya hal utama yang diharapkan masyarakat Indionesia adalah terjaminnya keamanan bagi keluruh masyarakat Indonesia utamanya pada wilayah perbatasan. Apapun dan bagaimanapun caranya, Warga Negara Indonesia tetap harus dilindungi dari berbagai upaya kejahatan yang dapat merugikan mereka dan nama baik Indonesia. *

Penulis adalah Peneliti di LSISI Indonesia