Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Revisi UU Terorisme dan Pelanggaran HAM
Oleh : Opini
Selasa | 05-07-2016 | 12:15 WIB

Oleh: Zaki Zakaria, SH*

PEMERINTAH dan DPR bersepakat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu tujuan revisi UU tersebut adalah untuk memudahkan aparat penegak hukum melakukan upaya preventif pencegahan terorisme. Namun demikian, Draf Rancangan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut dinilai oleh kalangan masyarakat sipil pegiat HAM telah menyampingkan hak-hak korban kasus terorisme yang seharusnya diatur dalam UU dan kekhawatiran revisi ini akan semakin terjadinya pelanggaran HAM.


Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, menyatakan, tidak ada satu pasal pun dalam RUU anti-teror yang bicara tentang hak korban. RUU hanya bicara soal bagaimana menangkap pelaku dalam hal penindakan. Operasi pemberantasan terorisme selama ini telah menyampingkan kerugian yang dialami, baik korban yang tidak terkait langsung dengan terorisme maupun korban salah tangkap. Kerugian yang dialami korban tidak hanya soal materil, tetapi juga imateril, seperti trauma psikis dan stigma teroris terhadap korban salah tangkap. Penanganan korban tindak pidana terorisme selama ini tidak mendapat perhatian khusus. Semua pasal dalam RUU Anti-teror hanya menitikberatkan pada penindakan, tapi tidak pada hak korban.

Sementara itu, Komnas HAM mengusulkan penghapusan satu pasal dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Komisioner Komnas HAM, Roichatul Aswidah menyebutkan, pasal yang perlu dihapuskan adalah Pasal 43 a. Pasal itu menyebutkan, dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap setiap orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.

Karena semua orang yang kemudian ditangkap, dicabut kemerdekaannya, harus melalui prosedur hukum, harus tahu kenapa dia ditangkap dan semua hak-haknya yang mengikuti tetap harus dilindungi. Komnas HAM mencatat, selama ini, banyak terjadi pelanggaran HAM dalam penindakan tindak pidana terorisme, di antaranya praktik penyiksaan, kesalahan penangkapan, penahanan hingga penyiksaan yang menimbulkan kematian. Karena itu Komnas HAM juga memandang perlu ada badan pengawas yang berwenang mengawasi kinerja aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Namun, poin tersebut masih didalami karena saat ini sudah terlalu banyak badan yang terbentuk dan harus memaksimalkan badan-badan yang sudah ada.

Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disodorkan pemerintah kepada DPR RI ini semata-mata untuk perbaikan pemberantasan terorisme di kemudian hari. Tidak benar revisi ini nantinya akan semakin terjadi pelanggaran HAM terhadap yang disangkakan terkait pelaku teror. Revisi ini juga berguna agar prosedur penindakan terduga teroris sesuai dengan aturan yang berlaku dan juga meminimalisir terjadinya pelanggaran HAM dan hak-hak yang disangkakan sebagai terduga teroris.

Untuk kasus terduga teroris, Siyono, merupakan kasus segelintir kesalahan prosedur yang dilakukan oleh aparat Densus 88, jadi tidak semua kinerja Densus 88 adalah melakukan pelanggaran HAM terhadap terduga teroris, Banyak terduga teroris yang telah ditangkap diperlakukan sesuai dengan prosedur dan mengacu kepada hak azasi manusia. Revisi UU Terorisme ini pada intinya akan mengacu kepada HAM dan untuk memperbaiki kinerja dari aparat keamanan terkait agar penanggulangan atau pemberantasan terorisme di Indonesia semakin baik.

Agar revisi UU Anti Teroris berlaku efektif, Pansus Revisi UU Antiterorisme juga telah mengundang sejumlah tokoh agama untuk mendengarkan pendapat mereka dalam menyusun dan merumuskan Revisi UU Antiterorisme. Tokoh agama yang diundang antara lain dari Majelis Ulama Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda Anshor, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Majelis Tinggi Agama Konghucu, Persatuan Gereja-Gereja Indonesia, Parasada Hindu Dharma Indonesia dan Perwakilan Umat Budha Indonesia. Masukan dari para tokoh agama ini sangat diperlukan karena selama ini ada yang menganggap agama sebagai penyebab hadirnya teroris di Indonesia.

Pembentukan Badan atau Tim Pengawas untuk mengawasi kerja Densus 88 dan penegak hukum lainnya dalam menindak pelaku tindak pidana terorisme yang disarankan penggiat HAM dan elemen masyarakat merupakan saran yang baik agar kinerja aparat keamanan terkait penindakan kasus terorisme dapat bekerja sesuai dengan koridor aturan yang ada. Badan pengawas dapat diisi oleh orang orang yang berkompeten antara lain dari unsur kepolisian, perwakilan-perwakilan 10 fraksi di DPR dan juga dapat melibatkan pihak luar misalnya organisasi masyarakat terkait untuk melengkapi fungsi pengawasan tersebut yang nantinya setiap proses kerja Densus harus dilaporkan ke Badan Pengawas yang bertanggung jawab kepada Komisi terkait di DPR.

*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Terorisme