Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menjaga Ramadan 1437 Hijriah yang Toleran
Oleh : Opini
Kamis | 30-06-2016 | 12:38 WIB

Oleh: Sultan Pasya S.Sos*

RAMADAN 2016, atau 1437 H, jatuh pada hari Senin 6 Juni 2016 lalu. Alhamdulillah, tahun ini, dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sepakat 1 Ramadan jatuh pada hari Senin 6 Juni 2016. Penetapan awal puasa ini diputuskan dalam sidang Isbat di kantor Kementerian Agama, pada Minggu petang, 5 Juni, yang dipimpin langsung oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Ada dua metode dalam memutuskan awal Ramadan setiap tahunnya.

Metode hisab hakiki wujudul hilal (perhitungan matematis berdasar posisi geometris benda langit) digunakan oleh ormas dan warga Muhammadiyah. Sedangkan metode rukyatul hilal (pengamatan visibilitas hilal secara langsung dengan kasat mata) digunakan oleh Pemerintah, NU dan Warga NU.

Sebenarnya 2 metode ini bisa saja mempersatukan umat islam jika perbedaan perbedaan derajatnya bisa disamakan oleh Muhammadiyah dan NU karena Muhammadiyah menetapkan berapapun derajatnya, ketika hilal sudah di atas 0 derajat, maka layak dijadikan bulan baru. Sedangkan untuk NU bulan baru setelah 2 derajat.

Menteri Agama Lukman Hakim mengungkapkan keputusan pemerintah tentang hari pertama Ramadan ini menggunakan dua metode yang digunakan NU dan Muhammadiyah yaitu metode hisab dan rukyat. Kedua metode ini digunakan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, MUI, Maruf Amin mengatakan dirinya bersyukur bahwa tidak ada perbedaan antara NU dan Muhammadiyah dalam menentukan hari pertama Ramadhan. Mudah-mudahan lebarannya bareng juga, karenanya kita tidak disibukkan hiruk-pikuk perbedaan.

Awal Ramadan tahun ini kita tidak dikejutkan dengan adanya sweping-sweping yang dilakukan oleh ormas-ormas yang menertibkan situasi yang dianggap mengganggu jalannya ibadah puasa. Misalnya melakukan sweping tempat hiburan, sweping tempat penjualan makanan dan tempat-tempat lainnya yang dianggap menganggu jalannya aktivitas puasa Ramadan. Situasi ini adalah situasi yang sangat baik karena wewenang melakukan sweping bukan wewenang organisasi masyarakat, melainkan wewenang aparat dari pemerintah daerah yang dibantu aparat keamanan jika diperlukan.

Sejumlah kelompok intoleran yang biasanya selama ini melakukan aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama terutama di bulan Ramadan pastinya meresahkan masyarakat. Di satu sisi, berdasarkan versi mereka, kelompok intoleran ingin mencegah kemungkaran, namun, sayangnya mereka justru melakukan aksi kekerasan. Padahal, intoleransi merupakan komponen yang sangat berbahaya dalam merongrong persatuan di tengah kemajemukan Indonesia.

Islam merupakan agama yang menjamin rasa aman, bukan agama kekerasan. Intoleransi yang menjangkiti ormas Islam dapat merusak citra Islam yang damai dan harmonis. Apabila intoleransi sudah semakin kronis, maka persatuan dan kesatuan pun rapuh, dan ini merupakan bahaya besar bagi negara.

Islam adalah agama kedamaian. Sehingga mempertautkan agama ini dengan perilaku kekerasan, terorisme, bom bunuh diri atau tindakan lainnya yang merugikan masyarakat adalah suatu hal yang salah dan keliru sama sekali. Islam membawa pesan damai bagi seluruh umat manusia. Dengan mengikuti ajaran Islam maka seluruh umat manusia bisa menikmati kedamaian.

Begitupun umat muslim juga tidak boleh melakukan kekerasan terhadap kelompok masyarakat yang berbeda paham seperti Ahmadiyah yang merasa bagian dari umat muslim dan ingin membangun rumah ibadahnya sebaiknya menyerahkan kepada aparat penegak hukum terkait yang menindaknya apabila melanggar ketentuan rumah ibadah, jangan melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap mereka apabila mereka salah dalam melakukan ibadah sesuai dengan ajaran Islam pada umumnya maka dibimbing untuk kembali kepada ajaran Islam sebenarnya.

Ramadan tahun ini semua umat beragama harus bisa saling membangun toleransi. Banyak di antara masyarakat Indonesia yang menjalani puasa karena negara kita adalah mayoritas muslim, tetapi kita juga harus menghargai saudara saudara kita yang sebagian karena keyakinannya, atau karena satu dan lain hal, tidak menjalani puasa. Jadi kita harus toleransi dengan yang tidak menjalankan puasa. Dengan bertoleransi dan saling menghormati, kesucian bulan Ramadan bisa dijaga.

Untuk pengusaha tempat hiburan, pengelola media massa, serta pengguna sosial media diharapkan dalam bulan Ramadhan ini produknya bisa dibuat sedemikian rupa yang kondusif dapat menyesuaikan selama Ramadan. Jangan menyiarkan acara-acara yang berbau pornografi, kekerasan dan yang tidak sesuai dengan makna dari puasa Ramadhan. Media terutama televisi juga harus berhati-hati dalam menyiarkan syiar Islam.

Adanya tayangan program sahur Ramadhan, di TVRI, pada Sabtu, 11 Juni 2016, pukul 03.18 WIB, menampilkan dua pengisi acara berjilbab dengan busana bertanda Salib yang merupakan simbol agama umat Kristiani, membuat MUI melakukan protes dan mendesak TVRI segera meminta maaf kepada umat Islam atas penayangan program sahur yang menampilkan dua pengisi acara dengan busana bertanda salib, karena hal itu adalah kesalahan.

Langkah ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk tetap menjaga kerukunan antar umat beragama. MUI hanya menyampaikan pengaduan kepada lembaga-lembaga terkait seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) atas tayangan-tayangan semacam ini di televisi.

Adanya program siaran sahur TVRI yang menayangkan simbol Salib atau simbol-simbol agama lain selain Islam, kedepan diharapkan tidak kembali terjadi, karena dikhawatirkan akan menimbulkan keresahan masyarakat muslim. TVRI dan stasiun televisi lainnya untuk berhati-hati dalam menyiarkan atau mempublikasikan program acara agama tertentu dengan simbol agama yang berbeda keyakinan.

Dengan keterlibatan semua elemen masyarakat dalam toleransi dan menjaga suasana damai bulan Ramadan dengan tidak merusak makna dari bulan Ramadhan ini semoga bisa memperkuat Persatuan dan Kesatuan Umat Islam pada khususnya dan umumnya umat beragama di Indonesia.

Jika nantinya penetapan Hari Raya Idul Fitri 2016 / 1437 H ini tidak bersamaan maka janganlah digunakan sebagai pemecah persatuan umat Islam di Indonesia. Hargailah semua perbedaan yang ada dan saling menghormati antar sesama umat Islam dan saling tidak menyalahkan.

*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial