Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Teknologi Reklamasi Belanda Masih Cocok untuk Jakarta
Oleh : Irawan
Jum'at | 24-06-2016 | 08:24 WIB
firdaus_ali.jpg Honda-Batam

Pakar lingkungan hidup dari Universitas Indonesia (UI), Firdaus Ali yang juga Staf Khusus Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Air dan Sumber Daya Air. (Foto: Ist)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pakar lingkungan hidup dari Universitas Indonesia (UI), Firdaus Ali mengatakan, teknologi reklamasi yang diterapkan untuk Teluk Jakarta masih sangat layak dan cocok.

 

Karena itu, kritikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda bahwa rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan reklamasi pulau dan membentuk Giant Sea Wall sebagai ide yang ketinggalan zaman, dinilai sangat tidak berdasar.

Firdaus Ali mengatakan, pada tahun 1953, terjadi banjir hebat dan gelombang tinggi di Belanda, menewaskan sekitar seribu orang.

Pemerinah Belanda kemudian membangun tanggul raksasa dan masalah banjir selesai sejak saat itu. "Jika ada anak-anak muda Indonesia yang sedang belajar di Belanda, mereka merasa sudah tahu banyak, padahal sebenarnya mereka tahunya sedikit. Saya juga dulu seperti itu, maklum mahasiswa yang sedang sekolah di luar negeri," katanya dalam rilisnya di Jakarta, Jumat (24/6/2016).

Firdaus mengatakan, kalau mereka menilai teknologi yang dipakai Belanda itu sudah kuno, ya itu karena masalah di sana sudah selesai 60 tahun lalu.

Tetapi anak-anak muda Indonesia yang sedang belajar di Belanda itu lupa bahwa teknologi yang mereka bilang kuno itu masih sangat layak dan baru untuk Jakarta.

"Teknologi yang ada saat ini adalah tanggul laut, tidak ada yang lain. Itu memang konsep kuno yang saat ini tetap dipakai dan belum ada teknologi baru menggantikan ini," kata Staf Khusus Kementerian Pekerjaan Umum dan perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Air dan Sumber Daya Air ini.

Salah terminologi

Firdaus juga mengatakan bahwa secara terminologi reklamasi dengan Giant Sea Wall dengan National Capital Integrated Costal Development (NCICD) adalah dua hal yang berbeda.

Reklamasi Teluk Jakarta, kata dia, untuk menguruk laut untuk menjadikan ruang daratan baru guna menambah daya tampung dan daya dukung daratan.

Di kota-kota besar di dunia seperti Singapura, New York, dan sebagainya pantai-pantai dibuat reklamasi.

"Karena kebetulan Teluk Jakarta sudah tercemar maka proses reklamasi bisa membuat pantai menjadi bersih," katanya.

Sementara National Capital Integrated Costal Development (NCICD) yang dipakai Belanda karena permukaan tanah Jakarta terus menurun dan air laut naik 5-6 mili per tahun karena dampak pemanasan global.

"Jika tak diantisipasi, tinggi permukaan sungai akan berada di bawah air laut. Dan jika tak ada upaya masif, pada pada 2050 bibir pantai akan berada di Harmoni atau Semanggi, Jakarta," katanya.

Karena itu, solusi dari menurunkan muka air laut adalah di Teluk Jakarta dibangun bendungan air yang disebut Giant Sea Wall.

Sebagaimana diberitakan, PPI Belanda menilai Giant Sea Wall sebagai bentuk pertahanan pesisir adalah ide kedaluwarsa dan sudah ditinggalkan oleh negara-negara maju seperti Belanda.

Demikian salah satu kesimpulan dalam diskusi "Reklamasi Teluk Jakarta" yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda bekerja sama dengan PPI Kota Den Haag dan Forum Diskusi Teluk Jakarta di Kampus International Institute of Social Studies, Den Haag, Sabtu (18/6/2016).

Mahasiswa program doktoral dari University of Twente Hero Marhaento memaparkan sebuah ironi proyek Reklamasi Teluk Jakarta dan Giant Sea Wall yang dibantu oleh perusahaan dan konsultan asal Belanda.

Pasalnya di Belanda sendiri, jelas kandidat doktoral di bidang Water Engineering ini, pendekatan hard infrastructure seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul besar semacam itu sudah lama ditinggalkan.

Editor: Surya