Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

RUU PKS Mendesak Dibahas Bersama Pemerintah dan DPR
Oleh : Surya Irawan
Rabu | 22-06-2016 | 10:38 WIB
RUU-PKS.jpg Honda-Batam

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arista Sirait, menegaskan dalam forum legislasi RUU PKS di Gedung DPR RI Jakarta, terpenting  pidana pokoknya harus jelas, karena hukum yang ada masih lemah. Padahal, kekekerasan seksual bersifat darurat (Foto: Surya Irawan) 

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI FPDIP, Rieke Diah Pitaloka, mendesak DPR RI segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

RUU ini memperoleh dukungan seluruh ormas dan masyarakat dan sudah masuk Prolegnas Prioritas 2016, sehingga cepat diselesaikan.

“Secara substansi RUU ini, sudah mendapat dukungan semua ormas, termasuk Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak, Komnas HAM, serta ormas keagamaan. Prinsipnya, RUU PKS harus memberi efek jera,” tegas Rieke Diah Pitaloka dalam forum legislasi RUU PKS di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (21/6/2016).

Menurut Rieke, kekerasan seksual yang terus meningkat membutuhkan perangkat hukum bersifat khusus atau luar biasa. Karena UU Pidana dan UU KDRT tidak memadai. Sementara kekerasan seksual seperti gunung es yang tak bisa diselesaikan secara damai di kepolisian.

“Korban bukan saja perempuan dan anak-anak, tapi lelaki dan orang dewasa. Jadi, RUU ini untuk semua, bukan  perempuan saja,” ujar anggota Komisi VI DPR RI itu.

Mengingat masalah ini sangat kompleks, lanjut Rieke, RUU ini akan dibahas Pansus besar DPR RI atau lintas komisi. Inilah  yang harus segera diputuskan.

Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherawati, menyatakan,  83 persen  korban perempuan menempuh jalur hukum. Tapi, 50 persen berhenti di Kepolisian, 40 persen dengan mediasi dan hanya 10 persen berlanjut ke Pengadilan.

“Sebanyak 35 perempuan setiap hari menjadi korban, namun ketika bersidang di Pengadilan kesulitan, karena selalu dibebani dengan bukti. Kaum perempuan sulit mengumpulkan bukti. Yang ada hanya visum, sehingga banyak kasus tidak berlanjut di Pengadilan,” kata Sri.

Sri menambahkan, dibutuhkan keberanian untuk melakukan terobosan hukum, mengingat kasus ini membuka babak baru, terkait pelanggaran HAM, harkat dan martabat kemanusiaan dan menimbulkan dampak luar biasa. Karenanya, dibutuhkan penegak hukum yang khusus. Jaksa, Hakim, dan Polisi khusus, yang mendapatkan pendidikan HAM, gender dan PKS.

Khusus untuk korban cacat permanen lanjut dia, selama ini tidak ada yang bertanggung jawab. Untuk itu, jika pelaku tidak mampu, negara harus bertanggung jawab.

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arista Sirait, menegaskan, terpenting  pidana pokoknya  harus jelas, karena hukum yang ada masih lemah. Padahal, kekekerasan seksual bersifat darurat (extra ordinary crime). Hukumannya harus membuat jera, minimal 20 tahun, seumur hidup dan hukuman mati (Pasal 340).

“Jadi, RUU ini harus komprehensif, visioner untuk melindungi perempuan, anak-anak, dan dewasa, serta memberi sanksi bagi predator seksual,” katanya.

Editor: Udin