Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mencari-cari Alasan Kembalinya PKI
Oleh : Opini
Kamis | 16-06-2016 | 13:58 WIB
Komunis_Gaya_Baru.jpg Honda-Batam

Ilustrasi

Oleh: Andre Penas*

DI TENGAH ramainya pemberitaan terkait isu kebangkitan idiologi komunisme dan PKI, publik dikejutkan dengan pernyataan mantan Kepala Staf Komando Startegis TNI Angkatan Darat, Mayjen. Pur. Kivlan Zein. Menurutnya PKI telah dideklarasikan kembali oleh Wahyu Setiaji yang merupakan anak dari Lukman Njoto mantan Wakil Ketua CC PKI tahun 1965 pada pertengahan Mei 2016 di jalan Kramat Raya Jakarta Pusat.

Wahyu terpilih sebagai Ketua Umum PKI dalam Kongres X PKI tahun 2010 di Grabag Magelang. Dikatakan pula bahwa PKI yang baru dideklarasikan itu telah membentuk struktur organisasi pengurus partai mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Wahyu Setiaji juga sedang mempersiapkan dukungan dari 15 juta orang pendukung untuk memimpin kebangkitan PKI di Indonesia. Namun hal itu masih menunggu momentum yang tepat, yaitu pada saat pemeritah RI meminta maaf kepada korban peristiwa tahun 1965-1966.

Pernyataan Kivlan Zein itu mendapat tanggapan beragam, pemerintah melalui Menko Polhukam dan Menteri Hukum dan HAM langsung meminta Kivlan agar membuktikan kebenaran pernyataannya, mengingat PKI sudah tidak ada dan telah dinyatakan pemerintah Indonesia sebagai organisasi terlarang. Sejauh ini pemerintah juga belum pernah menerima laporan dari Badan Intelijen Negara (BIN) terkait kebenaran isu tersebut.

Sebaliknya Ketua Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Syihab secara tidak langsung membenarkan pernyataan Kivlan, dikatakan omong kosong kalau ada yang mengatakan PKI tidak bangkit. Menurutnya indikasi kebangkitan PKI terlihat dari maraknya pemakaian atribut PKI oleh anak muda yang tidak mengerti sejarah mengingat pelajaran terkait penghianatan PKI sudah tidak diajarkan di sekolah-sekoah sejak reformasi. Selain itu sejak reformasi pula sudah tidak ada lagi stasiun televisi termasuk TVRI yang memutarkan film penghianatan G.30.S/PKI, padahal tayangan tersebut menjadi infomasi bagi masyarakat tentang kebiadaban PKI.

Mengacu pada sinyalemen FPI, kita patut mempertanyakan siapa atau kekuatan besar apa yang berada dibalik penghentian kedua hal tersebut diatas serta fenomena lain yang bisa mengindikasikan PKI bangkit kembali di Indonesia. Paska reformasi bermuncunlan kelompok gerakan mahasiswa kiri seperti Forkot, Jarkot, Forbes, Fordem, SMID dan yang sejenisnya, dan sangat lantang menyuarakan tuntutan Pencabutan TAP MPRS No XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Paska reformasi 1998 pula, sejarah pengkhianatan PKI mulai hilang dari kurikulum pendidikan di Indonesia, sehingga banyak generasi muda tidak lagi mendapatkan informasi Pengkhianatan PKI dalam kurikulum pendidikan.

Jika di masa pemrintahan Orde Baru, setiap tanggal 30 September, TVRI sebagai televisi nasional selalu memutar ulang Film Pengkhianatan G30S / PKI yang diproduksi pada tahun 1984, sehingga informasi tentang PKI tersebar secara meluas sampai daerah-daerah terpencil, ternyata dihilangkan. Selain itu setiap menjelang pelaksanaan Pemilu, calon anggota dewan dari tingkat pusat sampai daerah tingkat II wajib mengikuti Litsus yaitu penelitian Khusus yang sangat ketat dan cermat serta teliti dan mendalam terhadap setiap calon pejabat untuk memastikan bahwa ia tidak ada kaitan apa pun dengan gerakan PKI.

Karena itu kader-kader muda dari sisa Gerakan Bawah Tanah PKI tidak pernah mempunyai kesempatan untuk menyusup ke dalam pemerintahan. Namun paska reformasi Litsus dihapuskan dengan alasan penegakan Hak Asassi Manusia (HAM), sehingga kini kader-kader muda berpaham kiri yang mempunyai kaitan erat dengan PKI, dengan mudah bisa melenggang jadi pejabat tanpa hambatan. Paska Penghapusan Litsus inilah putra/putri eks PKI bebas memasuki kursi dewan maupun lembaga kenegaraan.

Penegakan Hukum
Tindakan hukum terhadap aksi peyebaran propganda idiologi komunisme di Indonesia selain sudah diatur dalam Ketetapan MPRS nomor : XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Ketahahan Negara. Namun nampaknya Komnas HAM berpendapat lain, mereka bahkan menghimbau kepada masyarakat agar tidak menyebarkan ajaran kebencian kepada kelompok yang memiliki keyakinan politik kiri, termasuk Komunisme.

Menurut Komnas HAM, setiap warga negara berhak untuk menentukan keyakinan politiknya. Hal ini mengacu pada pasal 23 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Pasal (1), Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya, pasal (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

Jangan-jangan tanpa kita sadari rencana menghidupkan kembali idiologi komunis sudah disiapkan secara matang dan terencana sebelumnya. Apa mungkin pernyataan Mayor Jernderal Pur. Kivlan Zein yang menyatakan bahwa pemerintah, media dan PDIP sebagai fasilitator munculnya isu kebangkitan PKI di Indonesia adalah benar adanya. Hanya saja mungkin para pejabat pemerintah, pemimpin media masa, serta mungkin sekali Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Megawati Soekarno Putri sejak awal tidak menyadari hal ini.

Kini meski larangan terhadap PKI ada landasan hukumnya, ada pula landasan hukum lain yang digunakan Komnas HAM bahwa PKI juga oleh hidup dan berkembang di Indonesia. Penulis menyarankan kepada Kivlan Zein dan rekan-rekan purnawirawan TNI serta tokoh agama yang menolak bangkitnya kembali PKI, agar mengajukan uji materiil terhadap pasal 23 UU 39 tahun 1999 tersebut ke Mahkamah Konstitusi agar memiliki legitimasi hukum untuk menolak idiologi komunisme di Indonesia.

*) Penulis adalah Pengamat Sosial Politik