Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Logika Pancasila vs Logika Komunisme
Oleh : Opini
Senin | 13-06-2016 | 12:22 WIB

Oleh: Wahyudi Adi*

PADA awal Mei 2016 yang lalu, masyarakat cukup resah berkaitan dengan menghangatnya pemberitaan perihal bangkitnya kembali komunisme, terlebih setelah sebelumnya tiba-tiba terjadi trend penggunaan simbol bergambar palu-arit yang merupakan lambang PKI telah banyak ditemukan, baik di dinding-dinding sebuah kampus, berbentuk bendera, tas, sepatu ataupun dalam bentuk pin.

Dan belakangan, ditemukan berita dari akun sebuah media sosial perihal adanya rencana pembagian 102 ribu potong kaos berlogo PKI secara gratis untuk memperingati hari ulang tahun PKI pada tanggal 9 Mei 2016, dan diikuti dengan berita penggeledahan dan penangkapan semua toko atau kios yang diduga menjual kaos berlogo PKI oleh aparat Kepolisian.

Dan yang tidak kalah mengagetkan adalah, setelah Sidarto Danusubroto, tokoh PDIP yang mantan ajudan Presiden pertama RI dan juga mantan Kapolda Jabar bersama Gubernur Lemhanas, Agus Widjoyo yang merupakan putera salah satu pahlawan revolusi Jenderal Sutoyo berhasil mempromotori terselenggaranya sebuah simposium rekonsiliasi pada tanggal 18 s/d 19 April 2016, di Hotel Arya Duta, Jakarta, dengan topik “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan kesejarahan”.

Simposium tersebut dihadiri oleh Menteri Koordinator Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Dalam Negeri Thahjo Kumolo, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti dan sejumlah pejabat negara lainnya dengan diikuti oleh sekitar 200 peserta yang terdiri dari akademisi serta korban pelanggaran HAM berat, wakil Partai Politik dan Organisasi Masyarakat, serta lembaga masyarakat yang berkecimpung di bidang HAM.

Maka tak ayal lagi pembicaraan perihal pro dan kontra komunisme yang justeru menjadikan endorsement ketakjuban terhadap logika dialektika Karl Marx di kalangan intelektual muda dengan disertai hedonisme penggunaan kembali simbol-simbol dan atribut Komunisme semakin marak bahkan sebagian tak lagi canggung mengenakan gambar-gambar tokoh pergerakan komunisme seperti Fidel Castro atau Che Guevara.

Namun, sangat disayangkan thema sentral yang dikontroversialkan masih berkutat di ranah politik dengan konklusi kontroversial bahwa komunisme itu sudah mati dan komunisme tidak pernah mati. Jarang sekali yang menggagasnya di ranah ideologi, dengan menawarkan logika Pancasila yang sesungguhnya jauh lebih brilliant ketimbang produk logika dialektika Historis Materialistisnya Marx.

Logika merupakan buah pikiran yang berkembang akibat stimulasi materi terhadap panca indera yang terus menerus menumbuhkan perlawanan terhadap ketidakterbatasan (infinity) realitas yang dianggap menghantui karena seringkali bersifat irasional, berubah dan bergerak. Maka, logika pun melahirkan berbagai ilmu pengetahuan, yang dalam prosesnya logika akan selalu bergandengan dengan matematika, dimana awal tarik ulur antara keduanya terdapat dalam tradisi logika Aristotelian dengan mengedepankan tiga asas aksioma logis "logika formal" (identitas-kontradiksi-kontingensi), yang kemudian berkembang sebagai bentuk "kontigensi" (future contingents) yang sekarang kita kenal sebagai many-valued logic, dan pada perkembangan berikutnya menawarkan apa yang sekarang kita sebut three-dimensional logic yang menawarkan keberadaan faktor X sebagai dimensi ketiga.

Beberapa ahli telah sepakat bahwa dalam realitas tidak ada benda yang independen dan secara totalitas mampu menjelaskan dirinya sendiri tanpa membutuhkan adanya benda lain. Engels jauh sebelumnya telah menjelaskan, bahwa perubahan bentuk atau gerak selalu merupakan suatu proses yang terjadi di antara sedikitnya dua benda, yang satu kehilangan sejumlah gerak tertentu dari suatu kualitas (misalnya, panas), sedangkan yang satu lagi memperoleh kuantitas gerak dari kualitas lain yang bersesuaian (gerak mekanikal, listrik, dekomposisi kimiawi).

Dalam konsep dialektika Karl Marx, dimensi logika ketiga terumuskan dalam konsep dialektika sebagai bentuk synthesa, dimana keberadaannya dihasilkan akibat dari tumbuhnya semangat kebersamaan sebagai sebuah keniscayaan untuk menciptakan formulasi sosial baru dengan kesepakatan baru yang terakumulasi secara politis yang disebut Komunisme. Namun sesungguhnya sebagai seorang Hegelian, Marx berlaku tidak jujur dengan berusaha menghindari aspek mistis Hegel untuk menjelaskan “semangat” yang dimaksud, namun lebih mengapresiasi kemampuan mencipta dari sekelompok manusia sebagai akibat hukum kausalitas alamiah semata. Bahkan di kemudian hari, Marx dengan lantang menolak semua perilaku mistis dengan menyatakan bahwa “Agama hanya merupakan candu”.

Padahal di lain kesempatan, secara jujur ahli fisika jenius yang terkenal Albert Einstein menjadi hampir frustasi akibat tidak mampu memecahkan pengaruh faktor X pada detil terkecil (dimensi pertama) yang eksistensinya akibat pergerakan (dimensi kedua), maka faktor X adalah yang menggerakkannya (dimensi ketiga).

Maka dengan tanpa canggung lagi Albert Eisntein membuat pernyataan ilmiah bahwa “sejauh hukum matematika mengacu pada realitas mereka akan menjadi tidak yakin, dan apabila mereka memiliki keyakinan berarti mereka tidak lagi mengacu pada realitas”. Bahkan, di kemudian hari Einstein menyadari bahwa faktor X yang dimaksud adalah faktor Ketuhanan yang hanya bisa dipahami melalui ajaran agama, sehingga dia mulai memahami dengan membuat pernyataan yang sangat populer bahwa “ilmu pengetahuan tanpa agama akan lumpuh, sedangkan agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta”.

Dari sisi ini saja, Logika Dialektika Komunisme sudah terpatahkan, meskipun kemudian sebagian penganutnya menjelaskan bahwa faktor Ketuhanan bisa dipahami dengan cara yang berbeda-beda tergantung bagaimana seseorang mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan orientasi yang diyakininya. Dan Komunisme menyatakan diri telah mempertuhankan semangat kebersamaan dengan mengabaikan unsur mistis yang tidak mampu mereka jelaskan.

Sedangkan di dalam Pancasila nilai-nilai dimensi sebagai sebuah kekuatan yang mistis (gaib) yang justeru senantiasa untuk ikut campur terhadap eksistensi pertama telah di tempatkan sebagai landasan pertama logika kemanusiaan yang mengikutinya yang kemudian dikuti dengan sebuah format kebangsaan dalam bentuk persatuan dengan sebuah sistem demokrasi untuk menuju pada sebuah keadilan sosial.

Maka, memahami njlimetnya detil-detilnya ideologi Komunisme sudah selayaknya menggunakan mikroskop Pancasila karena di dalamnya telah terdapat bingkai-bingkai analitis yang akan mempermudah pemahaman kita baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang didasarkan pada perspektif akar budaya sebuah bangsa.

Di dalamnya telah terkandung nilai-nilai humanistik dan nilai-nilai sosialistik yang terumuskan dalam sistem Nasionalistik dan Demokrasi tanpa harus meninggalkan sisi Ketuhanan yang secara jujur bahkan seringkali memposisikan ketidak berdayaan manusiawi. Dengan demikian sebagaimana yang diyakini seorang Einstein optimisme akan progresifitas untuk mencapai tujuan tidak lagi terhenti akibat irasionalitas.

Jadi, sesungguhnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila berlaku universal bahkan bisa dikenakan sesuai akar budaya bangsa masing-masing. Tidak kalah dan bahkan berani diadu dengan logika-logika dialektika yang dianut paham-paham lain baik paham Liberalisme ataupun paham Sosialisme yang berujung pada perseteruan antara keduanya sebagai Kapitalisme dan Komunisme yang saat ini banyak digandrungi kalangan intelektual muda.

*) Penulis adalah Pengamat Sosial dan Politik, Bermukim di Jakarta.