Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

RUU Penyiaran Diperlukan untuk Seimbangkan Kepentingan Masyarakat
Oleh : Irawan
Rabu | 08-06-2016 | 18:25 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Ketua FPKB DPR RI Hj. Ida Fauziyah berharap RUU Penyiaran yang sedang dibahas di DPR RI, nantinya bisa menyeimbangkan kepentingan masyarakat dan industri siaran itu sendiri. 

Hal itu penting setelah menyadari dampak negatif siaran belakangan ini yang justru meningkatkan kejahatan seksual terhadap anak-anak, sadis, biadab dan tidak berperikemanusiaan.

"Penyiaran publik ini milik kita semua, dan sebagai rumah bangsa, maka harus dikawal, dan dievaluasi bersama untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Jadi, harus menjawab kebutuhan masyarakat sendiri. Bukan bebas tanpa batas yang justru merugikan negara," tegas kata Ida Fauziah di Jakarta, Rabu (8/8/2016).

Dalam diskusi tentang Industri Penyiaran itu, Ida Fauziah menjadi narasumber bersama Komisioner KPI Idy Muzayyad, Kasubdit Penyiaran Televisi Kominfo RI Syahrudin, dan Ade Armando dari Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP).

Idy Muzayyad berharap agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberi kewenangan yang jelas dan tegas. Sebab, selama ini 70 persen untuk pengawasan isi siaran, dan 30 persennya perizinan.

"Jadi, kewenangan itu sangat menggantung. Sanksi untuk isi siaran pun hanya rekomendasi penghentian sementara. Sebab, kalau penghentian tetap akan dianggap melawan kebebasan pers," kata Idy.

Untuk perizinan siaran, lanjut Idy, sebaiknya ditangani langsung oleh pemerintah, sehingga KPI tidak perlu terlibat. Apalagi dalam hal siaran dan perizinan itu selalu ada kepentingan bisnis, politik, dan pemerintah yang sangat kuat.

Untuk itun dia pesimis RUU Penyiaran ini akan rampung dengan cepat dan baik. Lalu di mana posisi KPI?

"Di siaran atau perizinan? Seharusnya cukup di siaran, karena KPI sering dianggap kecolongan dan tidak boleh galak-galak. Bahwa KPI memang bukan lembaga sensor," jelas Idy.

Menurut Idy, sanksi selama ini tak akan membuat jera, kapok penyiaran karena sanksinya hanya teguran. Karena itu dalam RUU ini mutlak diperlukan sanksi disertai dengan denda, meski nantinya denda itu menjadi pendapatan negara.

Maka, tantangan ke depan bukan siaran TV dan radio, melainkan digitalisasi yang makin massif, sehingga pengaturannya harus diperluas dan didukung aturan yang memadai.

Sedangkan Syahrudin mengungkapkan, RUU Penyiaran ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2012, dan baru kembali dibahas pada 2015 karena UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran ini tidak lagi bisa mengakomodir perkembangan teknologi digitalisasi mutakhir.

Dengan demikian, maka pemerintah mendukung penguatan KPI dengan terlibat perizinan dan pengawasan konten. "Kita dukung penguatan KPI," kata Syafruddin.

Editor: Surya