Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menjemput Hari Kemenangan Idul Fitri

Memaafkan, Kekuatan yang Membebaskan
Oleh : Redaksi
Senin | 29-08-2011 | 11:26 WIB

Oleh: Pieter P. Pureklolong

BAGI sementara orang non-Muslim, bulan Ramadhan memberi mereka kenikmatan mengalami “wajah Islam yang ramah”. Bagi mereka Ramadhan bisa mengesankan namun sekaligus juga dapat mendebarkan. Ada kebaikan yang bertaburan, kesucian dan kesalehan diperjuangkan, semua hati dibersihkan. Di sisi yang lain mereka juga merasa khawatir akan adanya kerusakan, kerusuhan karena berpikir bisa saja pembersihan diri melebar kepada pembersihan terhadap orang lain yang minoritas. (Franz Magnis Suseno, Kompas,  25/8/2011, h.2).

Namun kekhawatiran itu tidak perlu ada karena pancaran kekuatan batin hasil berpuasa dari dalam diri kaum Muslim juga dapat dialami oleh orang non-Muslim yakni dengan melawan hawa nafsu kita menjadi bebas, dan dengan demikian dapat membuka diri terhadap Sang Khalik. Puasa memberi sinyal akan kerendahan hati manusia di hadapan Sang Khalik, bukan sebuah prestasi individual yang patut dibanggakan. Buah puasa akhirnya bermuara pada pemaafan, sikap menerima yang lain sebagai saudara, membuka relasi dengan sesama tanpa beban dan syarat apapun.

Kekuatan yang Membebaskan

Kesediaan untuk memaafkan merupakan indikasi nyata perjuangan membersihkan hati dari segala kejahatan, kebengkokan, kesengajaan perilaku terhadap sesama, yang dengan demikian merusak hubungan sosial dan relasi iman dengan Sang Khalik. Tentu itu tidak menjadi mudah, karena membutuhkan perjuangan dan pergulatan yang memakan waktu, pertaruhan gengsi, dan harga diri. Sang Nabi Besar Muhammad saw. memberi contoh tauladan tentang itu sebagaimana yang kita gali dari terang biografi sejarah hidupnya. Kepada para sahabat, Sang Nabi berkali-kali mengingatkan dan memberi contoh nyata untuk tidak mengingat-ingat kesalahan sesama yang telah diperbuat terhadap kita, baik sebagai individu maupun sebagai umat Muhammad, pun jika orang yang bersalah tersebut tidak kunjung meminta maaf kepada kita. Bahkan konon sikap memaafkan itu menjadi tolok ukur seseorang dapat disebut sebagai “sahabat Nabi”. Dalam banyak ayat disebutkan tentang para sahabat bahwa siapa saja yang setia kepada Nabi Muhammad saw. dan mengikuti ajaran dan tauladannya secara sungguh-sungguh, berarti dia telah bersumpah setia kepada Allah swt. secara langsung. (Syeikh Omar Bakri Muhammad, h.36).

Sikap mengasihi, berbuat baik, lemah lembut kepada orang lain (para sahabat) yang diajarkan dan ditunjukkan Rasulullah saw. tidaklah pantas untuk dilawan, karena kedudukan seseorang tidak akan menjadi lebih baik dengan melanggar ajaran ini. Bagi yang melanggar tempatnya tidak lain adalah neraka. Namun selalu ada jalan bagi mereka para sahabat yang bertikai antara satu dengan yang lain namun membuka pintu maaf di antara mereka maka  mereka akan dimaafkan, dan surgalah janjinya. (Ibid, h.55).

Tentu bagi kita sementara umat Muslim, memaafkan tidak serta-merta menjadi mudah di tengah percaturan hidup yang diwarnai perlombaan mencari keuntungan ekonomis, posisi dan status sosial serta penonjolan prestise, gengsi dan harga diri. Seseorang yang menyandarkan prinsip hidup pada apa yang dipunyai seperti materi ekonomi, status sosial, posisi, jabatan yang melekat pada dirinya akan menjadi terguncang ketika dituntut mengikuti ajaran untuk meminta dan memberi maaf kepada orang lain yang status sosial, posisi dan jabatan, atau taraf hidup ekonominya lebih rendah dari dirinya. Dia akan terus menilai orang lain dari apa yang dipunyai “to have”, bukan dari eksistensi apa adanya  “to be” orang tersebut seperti kata psikoanalis kondang Erric Fromm.

Guncangan semacam itu menjadi pergulatan tersendiri. Sehingga kadang kala waktu tiga puluh hari di bulan Ramadhan terasa belum cukup untuknya dapat berjuang membersihkan diri. Penyesalanpun masih tersisa ketika Idul Fitri tiba dia merasa belum dapat merayakan kemenangan itu secara bebas. Sebaliknya bagi mereka yang telah menanggalkan atribut-atribut duniawi seperti status sosial, jabatan, posisi, dan ekonomi dengan tekun dapat berjuang untuk membuka pintu meminta dan memberi maaf bagi sesama tidak hanya di ujung jari dan di bibir artifisial melainkan dengan segenap jiwa, sehingga dengan hati berbunga-bunga ia berlari menjemput hari kemenangan. Ia bebas, merdeka, dan mensyukuri kemenangan dengan air mata haru. Allah swt. di pihaknya sebagai kekuatan yang membebaskan dia dari semua belenggu dosa baik terhadap sesama maupun terhadap Sang Khalik sendiri. Secara teologis (refleksi atas iman), dosa bukan saja membawa implikasi bagi rusaknya hubungan manusia dengan Allah, melainkan juga dengan sesama manusia (dimensi sosial iman). Pertobatan menjadi syarat utama pulihnya relasi tersebut menuju pembebasan dan kemerdekaan. Manusia membutuhkan rahmat Allah untuk dapat berlaku lemah lembut terhadap sesama, karena Allah membutuhkan orang-orang yang betakwah kepada-Nya. (Bdk. Ali Imran: 159). Kekuatan yang membebaskan terletak pada Allah sendiri, namun perjuangan manusia untuk memaafkan memberi indikasi penghargaan Allah untuk membebaskannya dari jerat dan sekat tertutupnya relasinya dengan sesama.

Sisi Humanis Hari Raya

Ketika menjemput hari kemenangan Idul Fitri kita menyaksikan sebuah perjuangan yang “sengit” yang di Indonesia kita sebut “mudik”. Lebih tepatnya kita menyebut dengan istilah “mudik lebaran” atau “mudik hari raya”. Konon di Indonesia tradisi Idul Fitri dalam penilaian sementara orang terlalu dilebih-lebihkan jika dibandingkan dengan kebiasaan di Tanah Hijaz-Arab Saudi atau di negara-negara Timur Tengah dengan tradisi Islam kental. Katanya Idul Fitri dirayakan dengan “biasa-biasa” saja dibandingkan Idul Adha. Di sana Idul Adha merupakan perayaan terbesar yang disebut sebagai ‘aidil akbar (hari raya terbesar) karena selalu terkait dengan ibadah haji yang sejak pra-Islam memainkan peran penting.  Ditandai dengan penyembelian hewan kurban bukan saja sebagai ritual keagamaan tetapi juga simbol status ekonomi karena hanya keluarga yang mampu saja secara ekonomi dapat beribadah haji dan menyembeli hewan kurban. (Mohamad Guntur Romli, Kompas, 27/8/2011. h.2).

Berbeda dengan di Indonesia di mana perayaan terbesar justru Idul Fitri padahal tidak dikaitkan dengan simbol ekonomi apapun. Idul Fitri merupakan perayaan yang egaliter dan masif karena dirayakan oleh siapa saja yang telah penuh menjalankan puasa. Tidak terkait dengan kemampuan ekonomi. Tradisi masyarakat lebih konkret terlihat dan dialami ketika suguhan makanan, kebiasaan berkumpul keluarga, saling berkunjung dari rumah ke rumah. Sikap kegotong-royongan terlihat menonjol ketika masyarakat dari segala lapisan saling memberi dan menerima. Juga peristiwa arus mudik dilihat sebagai sebuah peristiwa kebudayaan yang kental nilai kemanusiaannya. Perjuangan untuk mendapatkan tiket-tempat transportasi yang menjadi simbol berkobarnya hati untuk bertemu dan berkumpul dengan keluarga dan handai tolan menunjukkan “warna kemanusiaan” itu.

Dalam mudik lebaran terlihat sifat orang Indonesia yang lebih kolektif, kekeluargaan, atau meminjam istilah sosiolog Max Weber, lebih “gemeinschaft” menempatkan nilai kebersamaan lebih dari nilai individualitas seperti yang dipunyai masyarakat barat yang “gesellschaft”. (Mudji Sutrisno, h.171). Nuansa kemanusiaan ini dalam proses peradaban selalu mau memberi “warna kemanusiaan” dalam bentuk-bentuk kerjasama yang menjadi acuan kesejahteraan manusia baik individu maupun bersama.  Inilah sumber-sumber inspirasi dasar religius yang paling memotivasi manusia lantaran agama atau religiositas memberi basis terdalam perilaku kita sebagai penghayat-penghayat hari-hari ini ketika pesta Idul Fitri kita alami sebagai oase kembalinya kita ke “fitrah” sejati. Kita kembali berdamai dengan sesama dan damai dengan Allah Yang Maharahim, Allah Pengampun sehingga bisa menjadi sumber baru hidup rukun bersama kita.

Jika demikian “nuansa kemanusiaan” semakin kita hidupi secara beradab dalam pesta-pesta hidup sosial keagamaan kita seperti Idul Fitri ini, Memaafkan sesama akhirnya menjadi kekuatan yang membebaskan kita bukan saja untuk semakin dekat dengan Sang Khalik melainkan juga berdamai di antara sesama saudara sebangsa.. Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Bathin.

Penulis adalah Pekerja Sosial, Penggiat Buku, Pendiri Rumah Baca “Kuntum Batam Little Angel” di Batam.