Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Waspada! Krisis Moral Ancam Generasi Muda
Oleh : Opini
Kamis | 02-06-2016 | 18:22 WIB

Oleh: Qanita Salsabilla S.Sos*

DI ERA era globalisasi ini, semua informasi baik dalam bentuk tulisan maupun visual, mudah didapatkan, yang bersifat positif maupun negatif. Informasi yang bersifat positif menguntungkan bagi yang dapat memanfaatkannya, namun informasi negatif apabila kita tidak siap dan tidak bisa menyikapinya, maka dapat terjerumus kepada hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri, keluarga dan negara.

Mereka melakukan hal-hal yang dianggap sebagai gaya hidup modern atau gaya hidup budaya luar, misalnya penyalahgunaan narkoba, mengkonsumsi minum-minuman beralkohol atau minuman oplosan (keras) yang dapat menyebabkan kematian, melakukan seks bebas, sehingga hamil di luar nikah yang berpotensi melakukan pernikahan dini ataupun melakukan aborsi, perilaku Lesbian, Gay, Biseks dan Transgender (LGBT) sampai kepada kekerasan seksual yang disertai dengan pembunuhan.

Akhir-akhir ini fenomena kekerasan seksual disertai dengan pembunuhan yang dilakukan oleh remaja maupun anak di bawah umur membuat prihatin publik di negeri ini. Publik ramai-ramai mengecam tindakan tersebut antara lain dalam bentuk aksi dan membuat pernyataan-pernyataan bahwa Indonesia saat ini sudah masuk dalam darurat kekerasan seksual dan harus diselamatkan.

Atas maraknya kekerasan seksual ini sampai-sampai Presiden Jokowi beberapa waktu lalu menyatakan kejahatan seksual terhadap anak adalah kejahatan luar biasa dan penanganannya harus luar biasa, aparat penegak hukum harus menghukum pelaku kekerasan seksual dengan hukuman yang sangat berat, yang setinggi tingginya agar memberikan efek jera. Pernyataan ini masih relevan karena sistem penghukuman kekerasan seksual saat ini, secara materiil maupun formil, belum memberikan keadilan bagi korban.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise, mengatakan pornografi di kalangan pelajar menimbulkan keresahan tidak hanya bagi orangtua tetapi juga masyarakat. Dari berbagai medium, telepon seluler dianggap sebagai piranti yang paling masif menjadi alat penyebaran pornografi.

Ke depan, akan bekerja sama dengan beberapa kementerian untuk melarang pelajar membawa ponsel dan gadget ke sekolah. Pelajar seharusnya mendapat pengawasan saat berselancar internet melalui gadget, bila tidak, mereka bisa mengakses informasi yang tidak baik seperti situs video porno. Dampak ponsel pada pelajar tidak selamanya baik. Kita semua berharap anak-anak ini menjadi generasi yang berkualitas. Merekalah yang akan jadi Presiden, Menteri, Gubernur, dan orang penting lainnya, kita harus persiapkan mereka dari sekarang.

Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai pendekatan hukum tidak cukup untuk meredam lahirnya pelaku dan kasus kekerasan seksual terutama terhadap anak, walaupun penting untuk memberikan efek jera. Diperlukan penguatan wawasan budaya bagi masyarakat sehingga tidak membuka peluang bagi munculnya pelaku kekerasan seksual. Selanjutnya pemberian pendidikan keluarga, ceramah-ceramah keagamaan yang terus digencarkan, hingga pembentengan diri dengan nilai-nilai moral bisa menjadi upaya lainnya demi meredam terjadinya kekerasan seksual.

Wakil Ketua Komnas Perempuan Budi Wahyuni mengatakan Negara harus hadir melindungi perempuan dan anak dari kekerasan dan kejahatan seksual. Negara harus hadir melindungi perempuan dan anak-anak dengan mendorong pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Draf RUU ini, sudah ada sejak tahun 2014. Naskah akademiknya pun sudah dibahas dan disusun oleh Komnas Perempuan dan koalisi organisasi perempuan.

Anggota Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka/Ketua Divisi Kebijakan Publik Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia mengharapkan peran negara lebih maksimal di dalam memberikan perlindungan dan rasa aman bagi perempuan dan anak. Kasus kekerasan seksual disertai pembunuhan yang menimpa Yuyun di Bengkulu membuktikan pentingnya kehadiran negara dalam memberikan perlindungan. Negara harus mengambil peran perlindungan, dan bertanggungjawab dengan adanya undang-undang yang melindungi perempuan, di tengah berkembangnya tindak kekerasan yang bukan merupakan budaya kita.

Selama ini masyarakat melaporkan kasus saja takut, makanya banyak kasus tidak terungkap. Ketika sudah ada yang meninggal baru ramai, padahal kasus perkosaan yang tidak terungkap, mungkin tidak bisa terhitung.

Koordinator Advokasi dan Komunikasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Frenia Nababan, mengatakan sekadar pemberatan hukuman, tidaklah cukup. Seberat apapun undang-undang, kalau pelaporannya saja sulit, akan menambah permasalahan. Korban kekerasan seksual kesulitan melaporkan kasus yang terjadi kepada mereka dan masih banyak korban yang tidak tahu ke mana harus melapor dan mendapatkan pendampingan hukum. Menyarankan pemerintah membuat sistem one-stop solution bagi korban kekerasan seksual. Minimal di Kecamatan, ketika dia datang, dia tidak harus ke mana-mana lagi. Polisinya ada di situ, psikolognya ada di situ, lalu ada pendamping hukumnya di situ.

Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara mengatakan perlindungan anak terhadap situs yang terkait kekerasan dan pornografi, tidak cukup hanya dengan pemblokiran situs. Kominfo juga akan melakukan sosialisasi penggunaan internet. Kominfo telah memblokir sekitar 760.000 situs dan menganjurkan 153.000 situs yang dapat diakses masyarakat yang memang sebaiknya diakses oleh dunia pendidikan, baik formal maupun informal seperti pesantren. Mengajak masyarakat bersama-sama bergerak melakukan pencegahan untuk melindungi anak dari dunia kekerasan dan pornografi.

Selain itu, Kemenkominfo, juga memberikan surat kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk mendata situs yang menampilkan kekerasan anak dan pornografi. Setelah mendapat daftar dari dua lembaga itu, maka Kominfo dapat langsung memblokir situs tersebut tanpa harus melalui birokrasi yang berkepanjangan.

Pelaporan dari kementerian maupun KPAI akan berbeda dengan jalur yang ditempuh apabila ada laporan situs berbahaya dari masyarakat. Apabila ada pengaduan masyarakat, maka tim panel Kominfo akan melukakan evaluasi terkait pengaduan yang diberikan.

Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bappemas) Kota Surabaya, Ana Fajriyatin, mengatakan, Pemkot Surabaya tetap memperhatikan pemenuhan hak anak. Pemkot Kota Surabaya lebih memfokuskan diri pada pemenuhan hak anak menuju Kota Layak Anak (KLA) yang memiliki 31 indikator yang terbagi dalam lima klaster. Di antaranya, hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, pemanfaatan waktu luang, kegiatan seni budaya, dan perlindungan khusus.

Contohnya terkait dengan akta kelahiran jadi semua anak surabaya harus punya akta, hak pendidikan tidak ada anak-anak yang tidak sekolah, kalau ada anak putus sekolah kita harus melakukan apa. Kemudian hak kesehatan mulai usia nol sampai 18 tahun kita perhatikan kesehatan dia, hak perlindungan khusus diberikan jika terjadi sesuatu kepada anak yang tidak kita inginkan.

Perilaku-perilaku negatif efek dari ketidak siapan anak-anak Indonesia pada era globalisasi ini harus dibendung dari sekarang, kalau tidak perilaku tersebut akan semakin besar dan tidak bisa terselamatkan lagi yang membuat negara hanya menghasilkan SDM-SDM yang tidak bisa bersaing khususnya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Bagaimana nantinya keberlangsungan negara kalau banyak remaja kita yang nota bene merupakan generasi penerus bangsa berperilakuan sangat tidak bermoral dalam menjalankan kehidupannya.

Peran semua elemen diperlukan dalam meminimalisir dan menghambat terjadinya perilaku-perilaku tidak bermoral yang dilakukan anak-anak kita dari kehidupan narkoba, minum-minuman keras, seks bebas, kekerasan seksual yang menyebabkan terjadinya kematian, yang biasanya menimpa anak-anak di bawah umur dan kaum perempuan, dan lainnya. Media harus membantu untuk tidak menyiarkan dan mempublikasikan film-film yang tidak sesuai dengan budaya Timur, misalnya perilaku LGBT, kehidupan anak anak remaja yang terbiasa minum-minuman keras, seks bebas, film berbau pornografi karena mudah sekali diakses oleh anak-anak.

Kehadiran tokoh agama yang ada di Indonesia untuk melakukan pencerahan agama kepada masyarakat agar mempunyai akhlak yang baik agar mereka tidak terjerumus dalam perilaku-perilaku yang tidak bermoral. Peran keluarga diperlukan agar anaknya dapat tumbuh normal dan sesuai harapannya.

Keluarga perlu mengajari anak laki-laki dan anak perempuan untuk saling menghormati, membuat anak-anak memahami mana bagian tubuhnya yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh. Ketika seksualitas masih dianggap tabu untuk dibicarakan, maka anak-anak remaja tidak akan mendapatkan informasi seksualitas yang benar dari sumber-sumber yang bertanggung jawab.

Belum tersedianya sistem penghukuman yang tidak sekadar menghukum, tetapi memberikan efek jera kepada pelaku dan sekaligus mengembalikan pelaku sebagai manusia tetap bermartabat. Memberikan efek jera harus dimaknai dengan mengembalikan pemahaman pelaku tentang bagaimana menghargai manusia lainnya, termasuk perempuan dan anak, tidak lagi memandang rendah, apalagi sampai mengondisikan dan memosisikan mereka sebagai sasaran kekerasan.

Selain itu kita harus mewaspadai, bahwa sistem dan kebebasan informasi mungkin dapat mendorong kecenderungan munculnya kekerasan seksual, seks bebas dan perilaku-perilaku yang tidak bermoral lainnya. Perlindungan akan pemenuhan hak anak, oleh negara harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat agar nantinya masyarakat atau keluarga dapat berpartisipasi memberikan suasana aman dan nyaman untuk anak-anak, sehingga nantinya anak sebagai generasi penerus bangsa dapat menjadi generasi yang bermoral dalam kehidupan sehari-harinya.

*) Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial