Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Banyak Perusahaan Tak Laksanakan CSR, karena Sanksinya Tak Diatur Secara Jelas
Oleh : Irawan
Kamis | 26-05-2016 | 14:10 WIB
Hardi_Hood1.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ketua Komite III DPD RI Hardi Selamat Hood, Senator asal Provinsi Kepulauan Riau

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Di Indonesia pelaksanaan corporate sosial responsibility (CSR) telah diatur didalam Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, namun UU tersebut tidak memberikan sanksi jika sebuah perusahaan tidak melaksanakan CSR.

"Sehingga banyak perusahaan melaksanakan CSR-nya secara tidak berkelanjutan dan akuntabel apalagi transparansi, karena didalam undang-undang ini tidak memberikan kejelasan terhadap sanksi jika sebuah perusahaan tidak melaksanakan CSR. Sanksi yang diberikan tidak jelas," kata Hardi Selamat Hood, Ketua Komite III DPD RI dalam Laporan Kegiatan di Daerah Anggota DPD RI Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) beberapa waktu lalu.

Hardi menegaskan, ketentuan untuk melaksanakan CSR telah diatur dalam bab V pasal 7 ayat 1,2, 3 dan 4 UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam pasal tersebut ditegaskan, mengatur bagaimana tanggung jawab perusahaan dengan lingkungan sosial dan lingkungan hidup dengan kata lain perusahaan bertanggung jawab dalam permasalahan sosial dan lingkungan yang ditimbulkan dari pelaksanaan kegiatan perusahaan.

Namun, UU ini tidak bisa serta a merta memaksa perusahaan untuk melaksanakan CSR, karena didalam UU ini tidak memberikan kejelasan terhadap sanksi jika sebuah perusahaan tidak melaksanakan CSR.

"Didalam pasal tersebut hanya menjelaskan bahwa ayat (3) perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (4) ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun sanksi yang diberikan tidak jelas," katanya.

Ketidakjelasan ini, kata Hardi, juga ada di dalam UU No.25 Tahun 2007 tentan Penanaman Modal. Dalam pasal 15 ayat b ditegaskan, bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan pasal 16 ayat d mengatakan setiap penanaman modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan.

"Artinya perusahaan penanaman modal berkewajiban memprogramkan kegiatan CSR sehingga dapat meningkatkan jaminan kelangsungan aktivitas perusahaan karena ada nya hubungan yang serasi dan saling ketergantungan antara pengusaha dan masyarakat," katanya.

Sehingga berdasarkan ke dua UU, UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No.25 Tahun 2007 tentang Penaman Modal tidak mengatur secara rinci pelaksanaan CSR di Indonesia, sehingga banyak perusahaan melaksanakan CSR-nya secara tidak berkelanjutan dan akuntabel apalagi transparansi.

Untuk menunjukkan bahwa perusahaan sudah melakukan kegiatan-kegiatan CSR perusahaan, lanjut Hardi, biasanya mempublikasikan aktivitas tersebut pada publik dengan mempropagandakannya lewat media massa.

"Tetapi kecenderungan yang terjadi adalah bahwa terlihat seolah-olah sebegitu besar biaya yang digunakan untuk merealisasi program CSR. Sedangkan masyarakat lokal merasa bahwa realisasi program tidak menggunakan biaya sebesar seperti yang tertulis pada propaganda," katanya.

Menurut Hardi, secara filantropi perusahaan seharusnya meredistribusi keuntungannya setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana masyarakat berada. Apalagi sebagian besar masyarakat lokal berada dalam keadaan miskin. Hal tersebut sebetulnya merupakan kewajiban moral. Namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum terlihat nyata.

Sementara itu, pemerintah daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu menyelesaikan permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, masalah pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah lingkungan sebagaimana dihadapi pemerintah daerah.

"Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan swasta dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk mendukung program pembangunan regional yang diimplementasinya," katanya.

Pada sisi yang lain, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), terutama LSM lokal melakukan dua peranan. Peranan yang pertama adalah mengontrol akibat-akibat buruk yang ditimbulkan dari proses produksi yang dilakukan perusahaan dan realisasi program CSR. Sedangkan peranan yang kedua adalah menjadi partner perusahaan untuk menjalankan program-program CSR

"Rendahnya keterlibatan masyarakat tidak hanya terjadi pada kegiatan-kegiatan penanganan masalah lingkungan hidup saja tetapi juga terjadi pada realisasi program CSR secara keseluruhan. Program didesain oleh perusahaan dan kurang melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah," katanya.

Pada tahap realisasinya, program melibatkan kedua entitas tersebut dengan intensitas yang berbeda. Sedangkan pada tahapan evaluasi dan pelaporan terlihat bahwa tahapan itu tidak melibatkan mereka. Akibat yang terjadi adalah bahwa koordinasi dalam merealisasi program antara perusahaan dan pemerintah daerah berjalan tidak baik. Idealnya program CSR dipraktekan secara integral dengan program pembangunan regional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

"Kenyataan yang terjadi adalah program CSR overlap dengan program pembangunan regional atau berjalan secara terpisah tanpa ada kerangka kerja yang jelas. Secara ekonomis ini menimbulkan ketidakefisienan. Pada sisi yang lain, secara sosial-politis hal ini akan menimbulkan kebingungan-kebingungan dalam masyarakat dan mengakibatkan hubungan pemerintah daerah dengan perusahaan menjadi kurang baik," katanya.

Hal yang sama juga terjadi pada tingkatan masyarakat, dimana posisi tawar masyarakat relatif rendah. Sebagian besar program direalisasi tanpa dilakukan need assessment yang melibatkan masyarakat.

"Selain mengakibatkan ketidaksesuaian antara program dengan kebutuhan masyarakat, hal ini juga menimbulkan partisipasi masyarakat pada program CSR rendah. Padahal, partisipasi merupakan esensi mendasar dalam realisasi programprogram community development," katanya.

Editor: Surya