Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah Diminta Jamin Kebebasan Berkumpul dan Berserikat
Oleh : Irawan
Selasa | 24-05-2016 | 14:57 WIB
RDjasarmen.jpg Honda-Batam

Dengar Pendapat dengan 100 Masyarakat tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika bertempat di LPK Migasindo Academy, Tiban Sekupang, Kota Batam pada 21 April 2016.

BATAMTODAY.COM, Batam-Pemerimtah diminta menjamin kebebasan masyarakat dalam kebebasan berkumpul (freedom of assembly) dan kebebasan berserikat (freedom of association), yang lambat laun mulai pudar, padahal hal itu diatur dalam UUD 1945.

Penegasan itu disampaikan Senator Djasarmen Purba saat melakukan Dengar Pendapat dengan 100 Masyarakat tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika bertempat di LPK Migasindo Academy, Tiban Sekupang, Kota Batam pada 21 April 2016.

"Salah satu bagian penting dari kebebaasan ialah kebebasan berkumpul (freedom of assembly) dan kerbebasan berserikat (freedom of association). Masalah kebebasan (kemerdekaan) telah ditegaskan dalam baris pertama Pembukaan UUD 1945," kata Djasarmen.

Anggota Komite II DPD RI ini mengatakan, dalam pembukaan tersebut ditegaskan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa. Selain itu, masalah kebebasan berkumpul dan berserikat telah dicantumkan secara tersirat dalam sila keempat dari Pancasila.

"Yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kata permusyawaratan dan perwakilan mengandung makna adanya orang-orang yang berkumpul untuk melaksanakan permusyawaratan. Sedangkan perwakilan secara tersirat mengandung makna adanya orang-orang yang berserikat sebagai perwakilan dari mayoritas bangsa Indonesia," katanya.

Menurut Djasarmen, kebebasan berkumpul dan berserikat ini telah dijamin oleh UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 28 UUD 1945 yaitu kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Namun, perwakilan masyarakat yang hadir dalam dengar pendapat tersebut, tetap mempertanyakan praktik yang terjadi di lapangan mengenai kebebasan berkumpul dan berserikat yang tidak sesuai harapan, meskipun telah dijamin konstitusi.

Adalah Mangara Siahaan dan Jontor Tambunan, yang mempertanyakan hal itu. Mangara Siahaan mempertanyakan, mengapa kaum tertentu yang menoritas sulit sekali mendapatkan ijin lahan dan pembangunan gereja. Bahkan lebih sulit dari ijin pembangunan hotel , diskotik dan pantai pijat sekalipun.

Sedangkan Jontor Tambunan mempertanyakan, mengapa mata pelajaran yang terkait dengan kebangsaan seperti Pancasila dan Kewiraan belakangan ini hanya dilakukan di pendidikan menengah atas saja.

Terkait pertanyaan Mangara Siahaan, Djasarmen mengatakan, pada prinsipnya negara melindungi segenap warga negara untuk memeluk dan menganut kepercayaannya masing masing tanpa mengenal konsep minoritas dan mayoritas, inferior atau superior.

"Perlindungan ini memang terkesang kurang maksimal pada saat penerbitan era SKB 2 mentri yang lalu. Namun, saat ini pemerintah melalui Kementrian Agama tengah mengajukan RUU perlindungan agama sebagai pengembangan dan peningkatan dari jaminan dan perlindungan setiap warga negara dalam beribadat dan memiliki rumah ibadah secara legal dan permanen," katanya.

Sementara menyangkut pertanyaan Jontor Tambunan, Anggota MPR RI dari unsur DPD RI ini mengatakan, aturan dasarnya menyebutkan bahwa mata kuliah dasar yang berkaitan dengan kebangsaan seperti Kewiraan dan Pancasila justru harus dilakukan secara interktif, partisipatif dan menggunakan metode studi kasus, baik oleh mahasiswa dengan dosen maupun antara mahasiswa itu sendiri.

"Karena yang lebih ditekankan adalah aspek apeksi dan psikomotorik mahasiswa dalam menyerap materi perkuliahan dasar. Dinas pendidikan dalam hal ini terutama menegah dan tinggi harus mengawasi aktual pembelajaran dilapangan agar tidak menjadi rancu dan bias dari segi konten materinya," tandas Djasarmen.

Editor: Surya