Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Peraturan Menteri KKP No 2 Tahun 2015 Hilangkan Mata Pencaharian Nelayan
Oleh : Irawan
Rabu | 27-04-2016 | 15:10 WIB
Djasarmen Purba2.jpg Honda-Batam

Senator Djasarmen Purba, Anggota Komite I DPD RI asal Provinsi Kepulauan Riau

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Pukat Heula dan Pukat Tarik pada spesififkasi kapal 30GT tanpa didahului evaluasi preparasi dan adaptasi, serta transisi kebijakan sesuai kondisi di lapangan telah berakibat hilangnya mata pencaharian komunitas nelayan secara nasional.

"Hal ini mengingat peremajaan alat dan armada tangkap yang sesuai dengan Peraturan Menteri KKP membutuhkan proses jangka panjang dan nilai investasi yang cukup besar. Bahwa aspek konservasi dan perlindungan hasil perikanan laut secara jangka panjang memang sangat penting dan benar yang tujuan akhirnya adalah untuk kepentingan nelayan," kata Djasarmen Purba, Anggota Komite II DPD RI dari Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), di Jakarta, Rabu (27/4/2016).

Namun, menurut Djasarmen, kebijakan tersebut perlu disesuaikan dengan kondisi ril di lapangan yang pada akhirnya tidak menimbulkan ekses dan kerugian besar bagi nekayan itu sendiri.

Di samping itu, pelarangan penggunaan Pukat Heula dan Pukat Tarik pada spesififkasi kapal 30GT sesuai dengan Peraturan Menteri KKP yang tidak dibarengi oleh aspek kesiapan dan kemampuan nelayan telah berakibat pada ancaman kriminalisasi terhadap nelayan.

"Dari aspirasi yang terjaring di masyarakat khususnya nelayan di Provinsi Kepulauan Riau, Kementerian Kelautan dan Perikanan harus mengambil langkah-langkah progresif tanpa mencederai amanah Undang-Undang Perikanan. Hal ini mengingat ada kesenjangan dan ketidaksiapan masyarakat nelayan yang membutuhkan kebijakan dan pengaturan kembali dari pemerintah untuk menghindari efek kegagalan dan timbulnya besaran resiko dari implementasi kebijakan ini," katanya.

Senator asal Provinsi Kepri ini mendesak pemerintah memastikan atau memberlakukan masa transisi selama 6-9 bulan (proses pengalihan alat tangkap).

"Hal ini agar tidak menimbulkan kejadian adanya kriminalisasi terhadap masyarakat nelayan. Walaupun hal ini telah sempat terjadi dan membuat nelayan kita menjadi tersangka," katanya.

Sementara dari sisi Anggaran, lanjut Djasarmen, perlu adanya akselerasi dalam penggunaan APBN untuk memfasilitasi pengalihan alat tangkap bagi nelayan kecil. Langkah yang bisa dipilih adalah berkoordinasi dengan kepala daerah ditingkat provinsi/kabupaten/kota untuk menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kelautan dan Perikanan.

"Proses regenarasi alat tangkap ini sangat menentukan mengingat dominasi tonase alat tangkap nasional di tangan nelayan kita masih banyak yang melampaui 30 GT, dibanding 5 GT yang dipersyarakatkan," katanya.

Selain itu, Djasarmen berharap agar KKP berkoordinasi dengan perbankan nasional agar menyiapkan skema kredit kelautan dan perikanan yang bisa diakses oleh pelaku perikanan untuk penggantian alat tangkap.

"Pemberian suku bunga yang lebih kecil, kisaran 6-7 persen bagi kelompok/koperasi nelayan yang ingin melakukan peremajaan atau penyesuaian alat tangkap," katanya.

Editor: Surya