Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Sikap PKS Pimpinan Sohibul Iman Disayangkan

Kader Koruptor dan Porno Tak Dipecat, Kader Melawan Dipecat
Oleh : Irawan
Senin | 25-04-2016 | 13:50 WIB
Fahri_Hamzah.jpg Honda-Batam

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Perlawanan yang dilakukan Fahri Hamzah kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah hal yang wajar. Karena PKS dinilai tidak memiliki konsistensi dalam bersikap terkait sikap kader-kadernya yang dianggap merugikan partai.

"PKS tidak berbeda dengan partai lain yang tidak memiliki acuan aturan untuk memberikan reward dan punishment. Yah wajar kalau Fahri melawan," kata peneliti senior LIPI, Siti Zuhro kepada wartawan di Jakarta, Senin (25/4/2016).

Menurut Siti PKS tidak konsisten. Kalau memang dianggap Fahri melanggar itu tidak bisa mewakili partai, maka harus ada konsistensi dalam memberikan penalty terhadap kader-kader yang melalukan pelanggaran serupa.

"Kalau koruptor seperti bekas Presiden PKS, Lutfi Hasan Ishak atau bekas Gubernur Sumut, Gatot Pudjonugroho, atau Arifinto yang menonton film porno tidak dijatuhi hukuman pemecatan, maka seharusnya pemecatan Fahri tidak dilakukan," ujarnya.

Hal ini menurut Siti tidak bisa dijawab dan direspon oleh PKS sampai saat ini. Padahal seharusnya hal seperti ini cepat direspon dan dijawab agar PKS tidak terkena fitnah oleh argumentasi yang diajukan oleh Fahri bahwa ada keputusan yang diskriminatif terhadap dirinya.

"Kalau orang membaca, sebenarnya Fahri kan menuntut kenapa orang-orang itu tidak dipecat seperti dirinya?Padahal dirinya yang kritis dianggap jauh lebih mempermalukan partai ketimbang para koruptor tersebut," jelasnya.

Sikap elit PKS yang seperti ini, menurut Siti tentunya tidak proper atau pas, sehingga membuat PKS tidak lagi menjadi partai kader. PKS kalau seperti ini tidak berbeda dengan partai-partai lainnya yang menjadikan ketua umumnya sebagai dewa pengambil keputusan yang mutlak.

"Ketua umum itu dalam partai kader yang modern harusnya hanyalah manager saja. Tapi yang terjadi ketua umum itu bisa jadi apa saja, bisa jadi capres, jadi cawapres, memecat kader yang berseberangan.Kalau seperti ini maka PKS akan mengalami kemunduran. Ketua umum yang enjoy disanjung-sanjung tentunya tidak reformis," jelasnya.

Kalau ketua umum yang reformis dia justru akan mendorong kader-kadernya yang potensial untuk maju. Dia akan mengelola perbedaan dengan kelihaian dan menjadikan partai sebagai rumah tempat bagi para kadernya untuk berkreasi bukan dengan otoriter membangun dinasti.

"Dalam partai yang demokratis, tidak akan suara kader yang berbeda dipendam apalagi sampai memecat kadernya.Kalau seperti ini tidak ada bedanya dengan partai dinasti," imbuhnya.

Apa yang terjadi di PKS sekarang ini menurut Siti lagi sama seperti yang terjadi di partai lain pada umumnya dimana kontestasi dan friksi diantara kader tidak terwadahi secara baik sehingga tidak ada solusi.Kontestasi ini menurutnya tidak berjalan objektif dan transparan. Seharusnya menurut Siti lagi penilaian yang terkait kader dibuat secara kelembagaan dan menjadi panduan bagi para elit untuk mengambil keputusan.

"Atas dasar apa kader diberikan reward atau punishment. Ini harus jelas dihadirkan oleh parpol, supaya tidak menimbulkan kesewenangan karena ada rujukan yang jelas. Harus jelas misalnya kader dipecat karena melakukan tindak pidana korupsi, dapat peringat karena satu hal dan lain-lainnya. Dengan demikian ada rujukannya kapan kader sekedar dinonaktifkan sampai dipecat. Kalau tidak seperti ini yang rugi partai itu sendiri," terangnya.

Oleh karena itu kehebohan antara PKS dan Fahri Hamzah saat ini seharusnya membuka para kader maupun elit PKS untuk menata ulang partainya.Peraturan dan keputusan pun direview kenapa ada yang melanggar hukum seperti korupsi tidak dipecat,kenapa karena dianggap tidak patuh pada ketua umum harus dipecat.

"Negara saja sekarang darurat korupsi, kok koruptor tidak dijatuhkan sanksi pemecatan? Apa PKS menggagap hukuman penjara yang dijatuhkan pengadilan terhadap kadernya yang korup sudah cukup atau perlu ditambah dengan pemecatan dari partai. Kalau Fahri dianggap tidak representatif sehingga harus dijatuhkan sanksi, maka harus dijawab apakah koruptor tidak dijatuhkan sanski juga merupakan representasi partai? Ini harus disandingkan dengan adil," ujar Profesor Riset ini lagi.

Editor: Surya