Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Apakah Presiden Jokowi Didikte China
Oleh : Opini
Kamis | 21-04-2016 | 12:45 WIB
presiden-joko-widodo-republika.jpg Honda-Batam
Presiden Joko Widodo. (Sumber foto: Republika)

Oleh: Andreawaty*

BEBERAPA waktu lalu, Pemerintah Indonesia memprotes keras China terkait insiden yang terjadi di perairan sekitar Pulau Natuna. Ketika itu kapal patroli Hiu milik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP) menangkap kapal pencuri ikan Kway Fey milik China. Kapal kemudian diarak menuju daratan Indonesia dan menahan delapan awak kapal tersebut. Tidak lama berselang, kapal Coast Guard China datang dan menabrak badan kapal Kway Fey sehingga kapal tersebut gagal diseret ke daratan Indonesia.

Menteri KP mengatakan pihaknya sudah menenggelamkan 41 kapal pencuri ikan sehingga China tidak mau kapalnya ditenggelamkan lagi. Sementara itu Menlu langsung memanggil Dubes China dan menyatakan protes keras. Namun Kedubes China malah meminta agar delapan anak buah kapal (ABK)  yang ditahan segera dibebaskan, karena mereka menangkap ikan di perairan tradisional China. Hal itu berarti China mengklaim bahwa perairan tersebut adalah milik mereka, padahal wilayah tersebut jelas berada di sekitar Natuna. 

Memang sejauh ini China masih tetap mengklaim bahwa wilayah Laut China Selatan (LCS) termasuk perairan Natuna yang strategis dan kaya akan sumber daya alam sebagai milik mereka. Pemerintah Indonesia melalui Menteri KP dengan tegas menolak permintaan China agar membebaskan delapan ABK yang ditahan. Menteri KP menegaskan saat ini, delapan ABK itu  sedang dalam pemeriksaan untuk diproses secara hukum, Menteri KP bahkan meminta Cina agar mengembalikan kapal Kway Fey  sebagai barang bukti. 

Dengan ngototnya China bahwa wilayah perairan itu sebagai laut tradisional mereka, publik menganjurkan agar pemerintah kita segera menyeret China ke Mahkamah Hukum Laut Internasional. Apalagi kasus pelangaran seperti itu sudah berulang kali terjadi dan sangat merugikan Indonesia. Sikap tegas Menteri KP dan Menlu akan mengadukan China ke Mahkamah Hukum Laut Internasional itu  ternyata mendapat dukungan dari Parlemen.  

Komisi I DPR mendukung langkah pemerintah karena kasus seperti  ini merupakan pelanggaran serius. Pemerintah diminta jangan mau menyelesaikan sengketa wilayah perairan dengan China melalui jalur pembicaraan bilateral antara kedua negara. Publik yang geram dengan sikap China mendukung langkah pemerintah agar penyelesaian masalah itu tidak melalui bilateral, dan mengharapkan agar sikap tegas kedua menteri wanita itu menjadi surut lantaran ada perintah atau desakan dari pihak tertentu yang beranggapan demi menjaga hubungan baik antar Indonesia dan China di bidang ekonomi dan investasi, maka kedaulatan bangsa dikorbankan.

Namun di saat kita menunggu respon China atas nota diplomatik Indonesia, serta rencana pemerintah mengadukan China ke Mahkamah Laut Internasional, secara tidak terduga Presiden Jokowi menerima kunjungan kerja Kepala Politbiro Hubungan Luar Negeri Partai Komunis China, Song Tao di Istana Merdeka. Pembicaraan Presiden dengan Song Tao dalam rangka memperkuat hubungan antara China dengan Indonesia. 

Dalam pembicaraan tersebut, Presiden Jokowi  dan Kepala Politbiro China itu sepakat bahwa insiden di atas dianggap selesai mengingat kejadiannya hanya karena kesalahpahaman. Meski publik berharap pemerintah tidak menyelesaikan permasalahan dengan China melalui pembicaraan bilateral, langkah yang ditempuh Presiden Joko Widodo harus diterima semua pihak dengan menonjolkan sikap kepala dingin. Presiden pasti menyetujui permintaan China bukan lantaran didikte atau diancam, tetapi demi hubungan baik antara kedua negara serta didasarkan atas kepentingan bangsa di atas kepentingan yang lain. 

Sekarang kita menunggu sikap Menlu dan Menteri KP atas kebijakan yang ditempuh Presiden. Menlu yang turut hadir mendampingi Presiden dalam pembicaraan tingkat tinggi di Istana Merdeka, tentunya paham dengan keputusan yang diambil. Karena itu rencana Indonesia mengadukan China ke  Mahkamah Laut Internasional mesti dibatalkan, apapun perasaan kita. Kita harus menjunjung tinggi setiap langkah pemerintah karena kita patuh dan taat kepada Presdiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. 

Sama sekali tidak dijelaskan apakah hasil pembicaraan Presiden Jokowi dengan Song Tao juga termasuk pembebasan delapan ABK pencuri ikan, Kway Fey. Jika kesepakatan itu termasuk di dalamnya, publik menunggu sikap Menteri KP apakah akan tetap ngotot mengadili delapan ABK Cina melalui jalur hukum, atau mematuhi keinginan Presiden.

Publik masih menunggu sikap Menteri KP, mengingat sebelumnya beliau pernah menolak permintaan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar merevisi kebijakannya di bidang perikanan. Walaupun sudah sepantasnya jika kedua pemerintahan sudah menganggap permasalahan ini selesai, Menteri yang berada di bawah Presiden mematuhinya tanpa reserve.  

Kapal Patrloli KP di ZEE
Konon kabarnya terkait insiden penangkapan kapal nelayan China oleh Kapal Patroi KP, kedudukan Indonesia agak lemah. Sesuai hukum laut internasional, dikatakan bahwa Indonesia hanya memiliki hak berdaulat untuk mengeksploitasi ikan dan sumber daya alam lainnya pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Sedangkan kapal asing bebas berlayar di ZEE termasuk kapal Patroli China. Lagi pula secara internasional kapal yang dikenal memiliki hak penegakan hukum di ZEE adalah Kapal Perang dan Kapal Negara. 

Untuk Indonesia  sendiri, kapal yang didaftarkan di Intenational Maritime Organization (IMO) sebagai kapal negara adalah kapal Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP). Hal itu berarti Kapal KP tidak dikenal kapal Patroli China sebagai kapal penegak hukum. Jadi penangkapan kapal nelayan China oleh Kapal Patroli KP bisa dianggap sebagai kapal perompak atau kapal pembajak atau teroris di laut. Dulu pernah terjadi kapal patroli China pergi setelah datang Kapal Perang Indonesia (KRI), karena mereka tahu bahwa KRI dapat menegakkan hukum di ZEE. 

Hal ini harus menjadi pelajaran bahwa selaian KRI dana Kapal KPLP agar berhati-hati dalam menangkap pelanggar hukum di ZEE meski hal itu masih sering diperdebatkan oleh para pakar. Di lain pihak  kita juga harus mengingatkan China bahwa kebijakan mereka menetapkan perairan sekitar Natuna sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional mereka harus dihapuskan. China juga harus melarang kapal nelayan mereka agar tidak melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. 

*) Penulis adalah Pengamat Sosial dan Pertahanan