Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Nasionalisme Sering Diartikan Bertentangan dengan Nilai Religius Keagamaan
Oleh : Irawan
Senin | 21-03-2016 | 13:43 WIB
DjasarmenMPR.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Anggota DPD RI asal Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Djasarmen Purba menggelar Dengar Pendapat dengan Masyarakat tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika bertempat di Gedung Migasindo Acamdemy, Sekupang, Kota Batam.

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Membangun nasionalisme sering diartikan bertentangan dengan nilai religius keagamaan yang ada di masyarakat, serta bagaimana sebenarnya membangun karakter bangsa sesuai dengan Pancasila.

Pertanyaan itu mengemuka saat  Anggota DPD RI asal Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Djasarmen Purba menggelar Dengar Pendapat dengan Masyarakat tentang Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika pada 28 Pebruari 2016 lalu, bertempat di Gedung Migasindo Acamdemy, Sekupang, Kota Batam.

Dalam Dengar Pendapat dengan Masyarakat yang dihadiri 150 orang tersebut, Djasarmen mengatakan, nasionalisme adalah  nilai-nilai kemanusiaan (perikemanusiaan) yang bersifat hakiki dan bersifat asasi. Tujuannya, mengangkat harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan setiap bangsa untuk hidup bersama secara adil dan damai tanpa diskriminasi di dalam hubungan-hubungan sosial. 

"Sebenarnya rasa nasionalisme itu sudah dianggap telah muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan suatu Negara kebangsaan. Sedangkan, ciri nasionalisme Indonesia yaitu nasionalisme religius seperti yang dicetuskan Bung Karno (Soekarno) adalah nasionalisme yang tumbuh dari budaya Indonesia," kata Djasarmen.

Nasionalisme religious, menurut Djasarmen, merupakan perpaduan antara semangat kebangsaan dan keberagaman. Sebab, nasionalisme Indonesia bersumber kepada Pancasila, sedangkan semangat religius bersumber ajaran agama di tengah-tengah masyarakat. 

"Antara nilai-nilai Pancasila dan agama dapat saling dikompromikan dan tidak berbenturan. Kedua unsur tersebut saling mengisi yang melahirkan semangat nasionalisme yang beragama dan semangat beragama yang nasionalis," katanya.

Sedangkan cara membangun karakter bangsa dengan nilai Pancasila, kata Djasarmen, dalam konstruksi pikiran Pembukaan UUD 1945 itu Pancasila diwujudkan melalui pembuatan dan pelaksanaan kebijakan negara (konstitusi, undang-undang negara, peraturan pemerintah, dan seterusnya),  serta terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak para penyelenggara kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. 

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi di sini tentang bagaimana nilai-nilai Pancasila terwujud dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Yaitu negara Pancasila akan terwujud apabila kebijakan negara yang diterbitan sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, serta praktik-praktik dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasan negara menjalankan dengan benar semua kebijakan negara yang sudah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila tersebut.

Djasarmen menegaskna, disinilah perlunya Sosialisasi Empat Pilar dalam bentuk penataran/pelatihan partisipatif yang berorientasi problem solving (pemecahan masalah) sesuai kondisi dan kebutuhan masyarakat. Kondisi dan kebutuhan masyarakat di daerah konflik seperti Ambon, Poso, akan berbeda dengan masyarakat miskin perkotaan, anak jalanan, buruh, dan petani. 

"Bagi buruh umpamanya penting memahami mengenai UU ketenagakerjaan, hak dan kewajiban buruh, hubungan buruh dengan pengusaha, penyelesaian konflik antara buruh dengan pengusaha," katanya

Anggota Komite II DPD RI ini menambahkan, salah satu bagian penting dari kebebasan ialah kebebasan berkumpul (freedom of assembly) dan kerbebasan berserikat (freedom of association). Masalah kebebasan (kemerdekaan) telah ditegaskan dalam baris pertama Pembukaan UUD 1945, bahwa  sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa.

Selain itu, masalah kebebasan berkumpul dan berserikat telah dicantumkan secara tersirat dalam sila keempat dari Pancasila, yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

"Kata permusyawaratan dan perwakilan mengandung makna adanya orang-orang yang berkumpul untuk melaksanakan permusyawaratan. Sedangkan perwakilan secara tersirat mengandung makna adanya orang-orang yang berserikat sebagai perwakilan dari mayoritas bangsa Indonesia," katanya.

Sehinga kebebasan berkumpul dan berserikat ini telah dijamin oleh UUD 1945 yang tercantum dalam pasal 28 UUD 1945, yaitu  kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Editor : Surya