Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Pro Kontra Revisi UU KPK
Oleh : Opini
Sabtu | 27-02-2016 | 13:50 WIB

Oleh Andre Penas

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan pada tahun 2002 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, karena melihat pada saat itu institusi kejaksaan dan kepolisian terlalu kotor, sehingga tidak mampu untuk menangkap koruptor. Karena kedua institusi itu tidak bisa dibubarkan maka dibentuklah KPK. Namun sebenarnya, ide awal pembentukan KPK sudah muncul di era Presiden BJ Habibie yang mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN.

Agar lebih serius lagi dalam penanganan pemberantasan korupsi, Presiden Gus Dur membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun, di tengah semangat untuk memberantas korupsi, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Setelah Gus Dur lengser, pemerintahan Megawati kemudian menyelesaikan pembentukan lembaga KPK melalui UU Nomor 30 tahun 2002.

Namun belakangan, ternyata PDIP yang diketuai Megawati justru menjadi pendukung utama yang memunculkan kembali wacana revisi UU KPK, sehingga kemudian menjadi polemik publik di berbagai media antara kelompok masyarakat yang menolak revisi UU tersebut dengan DPR serta Pemerintah. Sebelumnya pada Oktober 2015 sudah muncul wacana revisi UU KPK bahkan pada saat itu berkembang wacana agar KPK dihentikan setelah berusia 12 tahun.

Gelombang penolakan segera muncul melalui Petisi jangan bunuh KPK yang didukung sekitar 23.000 tanda tangan. Melalui petisi tersebut, masyarakat menyurati Presiden Jokowi dan pimpinan DPR untuk menolak usulan Revisi Undang-Undang  KPK dan mencabut revisi tersebut dari Program Legislasi Nasional. Kelanjutan polemik saat ini memunculkan pula gerakan yang sama, menolak revisi UU KPK. Konon gerakan penolakan saat ini sudah didukung lebih dari 50.000 tanda tangan.

Sementara itu, berdasarkan hasil survey SMRC, sebanyak 61 % resonden menilai bahwa rencana revisi UU KPK merupakan upaya untuk melemahkan KPK, serta sebanyak 29 % respoinden menyatakan bahwa tujuan revisi UU KPK adalah untuk memperkuat KPK. Sedangkan 10 % responden menyatakan tidak tahu tujuan revisi UU KPK untuk menghapus kewenangan penyadapan KPK.

Di satu sisi, pengusul berpendapat bahwa revisi UU KPK justru dimaksudkan untuk memperkuat lembaga KPK, sementara itu publik serta Pimpinan KPK sendiri menilai revisi itu sebagai bentuk perlemahan legitimasi KPK. Karena itu mereka hanya mendukung draft revisi UU KPK yang bertujuan memperkuat akuntabilitas dan legitimasi KPK sebagai lembaga anti korupsi di Indonesia.

Revisi yang diajukan dewan menyangkut empat hal, pertama terkait penyadapan. Pasal 12A menyatakan penyadapan dapat dilakukan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas (ayat 1). Pimpinan KPK meminta ijin tertulis dari Dewan Pengawas untuk melakukan penyadapan (ayat 2). Penyadapan dapat dilakukan paling lama 3 bulan sejak izin tertulis diterima penyidik dan dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu yang sama (ayat 3).

Dalam draft revisi sebelumnya, disebutkan bahwa penyadapan harus memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri, namun diubah setelah dewan melakukan rapat dengar pendapat dengan sejumlah elemen masyarakat.

Dewan tetap berpendapat izin penyadapan dari DP tidak akan memperlambat kerja KK karena ijin akan diberikan paling lambat 24 jam setelah diusulkan. Kedua, terkait pembentukan Dewan Pengawas (DP) yang diatur dalam pasal 37, disebutkan DP bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik Pimpinan KPK, dan melakukan evaluasi kinerja Piminan KPK secara berkala selama 1 tahun.

Dewan berpendapat badan-badan lainnya seperti Bank Indonesia mempunyai dewan supervisi BI, dan Komisi Pemilihan Umum memiliki DKPP. Karena itu kehadiran DP KPK yang direncanakan terdiri dari lima hingga sembilan negarawan tidak mengganggu kerja KPK.

Namun publik khawatir DP tersebut akan diisi oleh orang-orang titipan kelompok yang berkepentingan dalam kasus korupsi yang ditangani KPK. Apalagi DP yang diusulkan  memiliki kewenangan cukup luas, selain mengawasi tugas Pimpinan KPK, juga mengevaluasi tugas Pimpinan KPK serta penyadapan dan penyitaan yang dilakukan harus seizin DP.

Berdasarkan pengalaman, untuk memilih Pimpinan KPK saja diperlukan proses seleksi yang sangat  ketat,  semua seluk beluk pribadi dibeberkan, lantas bagaimana dengan seleksi DP nanti yang memiliki kewenangan lebih tinggi dari Pimpinan KPK.

Ketiga, terkait pengangkatan Penyelidik dan Penyidik KPK, dalam Pasal 43 dan Pasal 45 disebutkan bahwa Penyelidik dan Penyidik KPK harus berasal dari Polri dan Kejaksaan Agung yang diperbantukan menjadi pegawai KPK. KPK sendiri meminta agar lembaga tersebut tetap berwenang mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri tanpa harus berasal dari intitusi Polri atau Kejagung.

Keinginan KPK tersebut sah-sah saja, mengingat dalam beberapa putusan praperadilan yang menggugat KPK, majelis hakim tidak mempersoalkan mengenai penyelidik atau penyidik independen. Ke empat terkait wewenang KPK menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Sejumlah ahli hukum tata negara berpendapat bahwa kewenangan SP3 sudah tidak relevan lagi, lantaran Mahkamah Konstitusi telah mengizinkan penetapan tersangka oleh KPK bisa mengajukan gugatan praperadilan. Kalau tidak puas terhadap penanganan perkara yang dilakukan KPK bisa diajukan ke praperadilan. Aneh saja jika draft revisi UU KPK yang diajukan DPR dan mendapat protes luas dari masyarakat ternyata sinkron dengan visi dan misi pemerintah, pemerintah melalui Menkopolhukam menyatakan rencana revisi UU KPK tidak perlu dipolemikan.

Namun menjadi pertanyaan adalah apakah revisi UU KPK merupakan kebutuhan mendesak dan prioritas dari rakyat. Pasalnya mayoritas masyarakat dengan tegas dan jelas menolak revisi tersebut sebagaimana hasil survey serta gerakan penolakan yang tegabung dalam Petisi Change.org. Pemerintah dan DPR dianggap tidak berpihak pada kebutuhan mendesak yang diinginkan masyarakat yakni pemberantaan korupsi

Karena itu sebaiknya rencana pembahasan revisi UU KPK dituda pelaksanaannya, mengingat adanya desakan penolakan dari masyarakat. Selain itu agar  Pimpinan KPK yang baru dilantik bisa lebih fokus dalam menjalankan tugas pokoknya. Biarkan mereka beradaptasi lebih dahulu dengan sistem kerja yang ada di KPK mengingat semuanya adalah orang baru di KPK.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi ketika mengomentari soal wacana revisi UU KPK meminta agar revisi itu harus mempertimbangkan masukakan dari masyarakat. Karena rakyat menolak, maka seharusnya pemerintah tidak datang ke DPR untuk membahas revisi tersebut. Jika Pimpinan Dewan tidak mau mencabut revisi UU KPK dari rencana legislasi DPR, diminta dengan segala hormat agar Presiden Jokowi menolak usulan Revisi UU KPK.

Apalagi, Jubir Presiden sudah menyatakan Presiden konsisten bahwa revisi UU KPK harus dimaksudkan untuk memperkuat KPK, kalau revisi dimaksudkan untuk memperlemah maka pemerintah akan menarik diri dari pembahasan itu. Menurutnya  revisi yang memperlemah KPK misalnya pembatasan atau pemangkasan kewenangan yang selama ini dimiliki KPK, penyadapan oleh KPK harus minta izin kepada pengadilan kemudian dirubah menjadi DP juga merupakan revisi UU yang memperlemah KPK.

Kini masyarakat menunggu, apakah revisi UU KPK dihentikan seperti yang tejadi sebelumnya, atau diteruskan. Kita bersyukur setelah Fraksi Demokrat dan Fraksi Gerindra menolak revisi UU KPK, ternyata Fraksi Keadilan Sejahtera juga menolak revisi tersebut.

Bola panas kini berada di tangan Presiden, penulis yakin Presiden akan menghentikan pembahasan revisi tersebut mengingat sejak awal Jokowi sudah menyatakan jika ada revisi maka harus dimaksudkan untuk memperkuat KPK dan bukan untuk memperlemah lembaga antiruswah tersebut. Jokowi diharapkan tidak menerima masukkan yang salah dari pembantunya, seperti Menkopolhukam yang meminta publik tidak berpolemik terkait revisi yang jelas-jelas memperlemah KPK.

Penulis adalah pengamat pengelolaan keuangan publik