Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Komisi I DPR Minta Lembaga Penyiaran Komitmen untuk tak Promosikan LGBT
Oleh : Irawan
Selasa | 23-02-2016 | 15:20 WIB
Mahfudz_Siddiq.jpg Honda-Batam
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Lembaga Penyiaran, khususnya TV harus menunjukkan komitmen untuk tidak mempromosikan pelaku dan perilaku LGBT (lesbi, gay, biseks dan transgender), pada tayangan siarannya. 


Komitmen ini penting dan mendesak karena tayangan TV yang menampilkan LGBT cenderung meningkat dari waktu ke waktu.

Penegasan ini disampaikan Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq dalam rillis yang diterima Beritabuana.co, Selasa (23/2/2016) menyikapi masih maraknya pelaku dan perilaku LGBT dalam siaran televisi.

Kenapa komitmen lembaga penyiaran ini sangat diperlukan? Pertama menurut Mahfudz, jika merujuk pada peraturan perundang-undangan baik di bidang penyiaran maupun yang terkait, sangat jelas acuan norma yang tidak memberi ruang bagi pelaku dan perilaku LGBT. 

Sementara kepatuhan terhadap peraturan itu menjadi asas dan tujuan yang mengikat semua lembaga penyiaran.

"Atas dasar ini pula, pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berkewajiban melakukan penegakan aturan dan kepatuhan terhadap aturan," ujarya.

Kedua, lembaga penyiaran khususnya TV mampu menayangkan siarannya kepada masyarakat luas karena menggunakan frekuensi yang dikuasai negara dan harus digunakan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan masyarakat. 

Pertanyaannya adalah apakah program tayangan yang menampilkan pelaku dan perilaku LGBT sesuai dengan kepentingan masyarakat luas.

Jika metode polling pendapat dijadikan acuan, tambah politisi PKS ini, apakah ada TV yang bisa menunjukkan data bahwa mayoritas masyarakat Indonesia menerima LGBT dan mendapatkan manfaat positif dari tayangan tersebut. 

Jika program tayangan TV sudah jelas bertabrakan dengan kepentingan masyarakat luas, maka pemerintah dan KPI berwenang untuk mengambil tindakan sanksi.

"KPI bisa memberhentikan program tayangan, dan pemerintah bisa mencabut Izin Penyelenggaraan Penyiaran TV tersebut," katanya.

Ketiga, di era informasi ini fungsi dan peran media massa menjadi semakin penting dalam konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 

Media massa dengan tayangan yang terus menerus menerpa masyarakat, lanjutnya, sudah seharusnya memainkan fungsi dan peran yang positif, yaitu membangun jati diri bangsa Indonesia yg berideologi Pancasila dan hidup dengan acuan norma agama dan budaya luhur.

"Jika ada sebuah organisasi yang kegiatannya justru bertentangan dgenna nilai-nilai Pancasila, pastilah akan mendapatkan konsekuensi hukum dan politik. Nah bagaimana jika lembaga penyiaran secara sadar menayangkan program-program yang bertentangan secara terus-menerus?" ujar Mahfudz mempertanyakan.

Kesadaran akan ideologi negara semacam inilah, menurut Mahfudz yang membuat negara Singapura misalnya, memiliki peraturan perundang-undangan tentang LGBT dan kewajiban lembaga penyiaran mereka untuk tidak mempromosikan pelaku dan perilaku LGBT. Bahkan, masih banyak negara maju lain yang memiliki peraturan serupa dengan Singapura.

Diungkapkan Mahfudz kalau saat ini wacana publik begitu kuat tentang LGBT, umumnya cemas dan khawatir akan bahaya penyakit sosial ini.

"Ironinya tayangan semacam itu justru populer dan pada gilirannya menghasilkan pemasukan iklan yg lebih besar. Dda saja kelompok-kelompok kecil pendukung LGBT yang akan terus berjuang hingga tercapai penerimaan, pengakuan dan persamaan hak hukumnya," ujar dia lagi.

Karena itu Mahfudz mengimbau kepada lembaga penyiaran di Indonesia, untuk tidak terjebak pada polemik dan memilih sikap pro atau kontra. 

Namun, lembaga penyiaran harus menunjukkan komitmennya pada peraturan perundang-undangan yang ada dan terus bekerja untuk kepentingan masyarakat luas.

"Jika tidak ada komitmen itu, maka sepantasnyalah KPI dan Pemerintah untuk mempertimbangkan kembali perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) bagi mereka yang akan berakhir masa IPP-nya," pungkasnya.

Editor : Surya