Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dukungan Penyelesaian Separatisme
Oleh : Opini
Rabu | 27-01-2016 | 11:48 WIB

Oleh: Fajri Permana*

GERAKAN separatisme kembali menyentak kesadaran kita sebagai sebuah bangsa. Ternyata gerakan separatisme dan ancaman disintegrasi bukanlah sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata. Ironisnya, insiden tersebut terjadi berulang dibeberapa wilayah NKRI. Meski akhirnya bisa diredam, namun hal tersebut menjadi sebuah pukulan telak bagi aparat berwenang yang untuk kesekian kalinya.

Efek psikologisnya tentu sangat mendalam, baik bagi aparat sendiri maupun berbagai komponen bangsa lainnya. Mereka seolah ingin mengatakan, bahwa mereka tetap eksis dan konsisten dengan perjuangan untuk memisahkan diri dari NKRI, meski harus berhadapan dengan berbagai elemen kekuatan dari bangsa ini.

Gerakan separatis masih terus membayangi NKRI, meski jumlahnya makin kecil namun tetap menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan NKRI. Aksi separatisme di manapun sama, yaitu berpakaian sipil, tetapi bersenjata sehingga mengancam bukan saja rakyat, melainkan juga aparat. Gerakan pemisahan diri, baik di Aceh maupun Papua, juga Maluku selalu mengusung isu yang sama, biasanya erat terkait dengan persoalan ekonomi dan kesejahteraan yang tidak merata. Kegagalan pemerintah untuk menciptakan keadilan didapuk sebagai sumber motivasi utama gerakan separatis.

Paling tidak terdapat tiga pendekatan untuk merespons gerakan separatisme, yakni pendekatan politik, pendekatan persuasif, dan pendekatan represif. Dalam pendekatan politik, perjuangan bersenjata gerakan separatis berubah menjadi perjuangan politik melalui partai politik dan kelompok separatis bermetamorfosis menjadi parpol. Inilah yang terkaji ketika GAM menjadi partai politik bernama Partai GAM.

Berbagai aksi separatis yang mengancam integrasi bangsa kerap dilakukan oleh organisasi yang selama ini getol menyuarakan pemisahan diri dari NKRI. Setelah perjuangan bersenjata selama bertahun-tahun, GAM bisa berdamai secara de facto (perjanjian Helsinki) pada 15 Agustus 2005. Kengototan mantan kombatan GAM memakai simbol bendera GAM dalam mendirikan parpol lokal juga mengindikasikan masih bercokolnya spirit untuk memisahkan diri.

Sementara itu, di Papua, adanya otonomi khusus membuat OPM mendapatkan “angin segar”. Selama bertahun-tahun mereka melakukan perjuangan dengan menggunakan berbagai cara. Selain pengibaran bendera, mereka kerap melakukan serangan bersenjata secara sporadis terhadap berbagai kepentingan pemerintah. Yang tidak kalah berbahaya adalah adanya upaya menginternasionalisasikan masalah Papua yang berpeluang pada masuknya berbagai kekuatan dan kepentingan asing di NKRI.

Untuk itu, sebagai sebuah bangsa besar yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dengan beragam suku bangsa dan adat istiadat, harus diakui NKRI memang memiliki potensi konflik dan perpecahan. Semua isu bisa diangkat sebagai pemicu disharmoni dalam masyarakat. Dari masalah perbedaan agama, suku, sampai tingkat diferensiasi kelas sosial yang memang semakin hari cenderung semakin tajam.

Hal ini juga didukung oleh kondisi geografis nusantara yang sangat strategis sekaligus rentan terhadap berbagai penetrasi asing dan kejahatan antar negara. Belum kalau kita melihat proses tersebut dari perspektif benturan peradaban yang sampai saat ini terus berjalan. Maka, harus ada langkah-langkah preventif agar hal-hal yang tidak diinginkan bisa dicegah sejak dini. Tugas kita semua terutama pemerintah dan aparat berwenang- adalah mengeliminir agar aktifitas apapun yang mengarah kepada separatisme dan disintegrasi tidak tumbuh subur dan menancapkan pengaruhnya di masyarakat.

Ada beberapa langkah yang mesti secepatnya diupayakan, antara lain, pertama, memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum, tingkat kesejahteraan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam proses pembangunan. Ketidakpuasan dan kekecewaan yang terakumulasi dapat memicu tindakan anarkis dan berujung pada tuntutan-tuntutan ekstrim. Kondisi ini sangat rentan dengan hadirnya para aktor intelektual yang memiliki kepentingan terselubung.

Kedua, tindakan tegas dari pemerintah dan aparat yang berwenang. Apa yang dilakukan oleh gerakan separatis selama ini sangat membahayakan integrasi bangsa. Hal tersebut bukanlah perkara kriminal biasa, tetapi ekstraordinary crime yang membutuhkan penanggulangan secara khusus. Tindakan tegas ini diperlukan untuk menjaga wibawa pemerintah dan juga mendatangkan efek jera bagi setiap pelaku gerakan separatis.

Ketiga, seluruh komponen bangsa mesti melakukan penyuluhan massal kepada masyarakat tentang bahaya gerakan separatis berikut manuver-manuver yang mereka lakukan. Hal ini penting memunculkan kesadaran umum akan pentingnya persatuan dan kesatuan serta menghindari keresahan sosial akibat aksi kaum separatis.

Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia, lewat BIN terhadap kelompok bersenjata Din Minimi di Aceh baru-baru ini, merupakan contoh pendekatan persuasif yang sangat baik dan perlu dilanjutkan dalam menangani konflik di NKRI. Dalam tindakan persuasif biasanya ada negosiasi. Kelompok bersenjata bersedia menyerah bila, misalnya, pemerintah memberi pengampunan kepada mereka. Pendekatan politik ataupun persuasif jelas merupakan kebijakan yang sangat baik karena menghindari pertumpahan darah.

Selain itu, kebijakan ini akan memperkecil korban, baik di pihak rakyat, aparat, maupun kelompok separatis. Sangat melelahkan jika terus-menerus negara ini diwarnai kontak bersenjata antara aparat keamanan dan gerakan separatis. Ujung-ujungnya, ibarat ungkapan dua gajah berkelahi pelanduk mati di tengah-tengahnya, rakyat juga yang menjadi korban. Namun, tidak semua gerakan separatis bisa direspons dengan pendekatan politik. Gerakan separatis di Papua, misalnya, sulit bisa direspons dengan pendekatan politik dengan mengubah Organisasi Papua Merdeka menjadi partai politik.

Patut diingat, politik perpecahan merupakan cara jitu suatu kelompok atau bangsa untuk menguasai kelompok atau bangsa lain. Bukankah penjajah dulu menggunakan politik divide et impera, memecah-belah NKRI dan melakukan penjajahan. Selain itu, mereka juga melakukan adu domba terhadap berbagai elemen dalam masyarakat.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya