Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Rela Barter Istri dengan Biskuit
Oleh : Ahmad Rohmadi
Minggu | 24-01-2016 | 08:00 WIB
196557_10150194511757656_6605421_n.jpg Honda-Batam
Febri saat meliput wilayah konflik di Kongo. (Foto: Dok Pri)

Menjadi wartawan di daerah konflik? Tak semua berani dan mendapat kesempatan itu. Tapi, justru karena ada konflik di sejumlah negara itu, Febri dikirim. Bagaimana tantangan meliput di wilayah konflik itu? Berikut penurutan mantan wartawan TV One itu kepada wartawan BATAMTODAY.COM, Ahmad Rohmadi. 


Menjadi seorang jurnalis profesional tidaklah mudah, dibutuhkan keterampilan khusus, keberanian dan kerja keras. Baik suka maupun duka, pengalaman, pelajaran pasti banyak didapat selama aktif menjalani profesi ini.

Tak heran jika profesi ini sangat membanggakan bagi orang yang menjalankanya, meskipun tidak sedikit juga yang meninggalkan profesi ini. Disadari atau tidak, jiwa jurnalis akan melekat sepanjang hayat pada seseorang yang pernah menggeluti profesi pencari dan pengedar sebuah berita untuk disampaikan kepada masyarakat luas tersebut.

Nahar Febrianto contohnya, salah satu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Kota Batam ini mengakui, bahwa menjadi seorang wartawan tidaklah mudah. Butuh mental baja dan dedikasi yang tinggi untuk bisa menjalaninya.

Pria yang akrab dipanggil Febri itu, pernah menjadi wartawan televisi nasional, TV One, selama dua tahun mulai dari tahun 2008 sampai 2010 lalu. Yang akhirnya benar-benar mengakhiri dunia jurnalisnya pada tahun 2011 sejak diterima menjadi PNS di Batam.

"Sebenarnya banyak faktor kenapa memilih untuk tidak lagi menjadi wartawan. Alasan utama lebih kepada permintaan orang tua," kata Febri saat ditemui di ruang kerjanya, Sabtu (23/1/2016).

Febri menceritakan, pada waktu itu karirnya sebagai jurnalis televisi sebenarnya baru dimulai, ia baru menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2007. Ketika itu, TV One membuat program baru yang bertajuk "Zona Merah" yaitu peliputan berbagai konflik di luar negeri.

Karena semangat dan keberaniannya yang tinggi dan ditambah lagi keinginanya meliput di luar negeri, akhirnya ia ditugasi menjadi reporter Zona Merah untuk dikirim ke Afrika melakukan peliputan konflik yang terjadi di Republik Demokrasi Kongo.

"Di sinilah banyak ilmu, pengalaman yang saya dapat, meskipun keselamatan sering terancam. Dan karena alasan keselamatan ini orang tua tidak mengizinkan lagi karena memang saat berada di sana bisa seminggu lebih lost contact," tuturnya. 

Tapi justru pengalaman itulah yang tak bisa dilupakan. Karena inilah bagian dari tantangan paling menarik dari penugasan seorang wartawan televisi di luar negeri, di wilayah "zona merah". Apalagi, tidak semua wartawan bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa melakukan liputan di negara berkonflik ini.

Di bawah pengamanan pasukan Tentara Nasional Indonesa (TNI) yang dalam misi perdamaian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), kontingen Garuda, Febri juga mendapat pengalaman lain, yaitu disiplin ala militer. Dan meski sudah tidak lagi meliput di wilayah konflik, tapi nilai-nilai disiplin itu terus terbawa dalam kehidupannya. 

"Kalau mau selamat, mau tidak mau ya harus mengikuti perintah dari komandan dan mengikuti aturan yang diterapkan mereka. Tapi memang dari situ banyak memberikan manfaat bagi saya," jelasnya lagi.

Kemudian, ia juga menceritakan bagaiamana kehidupan di negara Kongo tersebut yang hampir setiap hari terdengar suara tembakan. Akibat konflik itu, rakyat negara itu pun mengalami kemiskinan parah. 

"Jadi pernah sekali, saya alami di sana bertemu dengan seorang lali-laki, hanya karena ingin makan biskuit dia mau tukar dengan istrinya. Dari situ kan memang kelihatan begitu menyedihkan masyarakat di sana," kata Febri sambil mengakhiri ceritanya.

Pria yang lahir di Jakarta 21 Februari 1983 itu, kini bertugas di Setdako Bagian Humas Pemko Batam.

Editor: Dardani