Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dicari! Negarawan NKRI Sejati
Oleh : Opini
Rabu | 06-01-2016 | 11:20 WIB

Oleh: Fajri Permana*

GERAKAN reformasi, betapa juga masih ada kekurangan di sana-sini, telah membawa berkah luar biasa bagi bertumbuhnya partisipasi publik. Politik kesukarelaan untuk mengawasi perilaku elite agar tidak terus-menerus mengkhianati amanat rakyat berkembang di mana-mana dengan beragam cara. Kehadiran darah segar tersebut lalu dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan tanpa menunggu komando dan janji imbalan. Sontak saja, negeri ini ditumbuhi partisipasi politik rakyat yang bukan saja masif dan energetik, melainkan juga kreatif.

Itulah yang terjadi ketika elemen-elemen publik secara sukarela menginisiasi ajakan dan gerakan untuk mengawasi Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR lewat beragam cara, terutama melalui jalur media sosial. Keraguan akan profesionalisme MKD DPR dalam menyelesaikan kasus 'papa minta saham' menemukan pembenaran. Keraguan itu telah menjelma menjadi ketidakpercayaan, bahkan kemarahan. Tidak cuma rakyat, Presiden juga ikut marah. Tidak mengherankan bila akhirnya kita mendapati para elite justru bukan saja menjual kehormatan diri, melainkan juga menjual negara dengan culas. Tanpa sedikit pun merasa bersalah, mereka membabi buta mempertahankan kekuasaan kendati telah nyata mengangkangi etika.

Berkali-kali anak bangsa ini dikhianati para elitenya yang mestinya bertindak lurus sebagai pengemban amanat. Namun, untungnya, sebagian rakyat di negeri ini tidak sepenuhnya putus harapan. Mereka masih menyisakan sangkaan baik bahwa ada mutiara di tengah lautan kotoran. Itu terlihat dari masih adanya kerelaan publik berpartisipasi dalam tiap ajang politik. Sayangnya, harapan yang masih tersisa itu tak kunjung berbalas. Hampir seluruh penyakit akut buruknya moral politik di NKRI justru bersumber dari para elite. Lebih malang lagi, moral buruk itu bukannya dibenahi, melainkan malah dipupuk dan dipelihara.

Terkait hal itu, masyarakat menuntut MKD bekerja serius dan transparan mengadili Setya Novanto (Ketua DPR) yang diduga mencatut nama Presiden dan Wapres untuk meminta saham dalam negosiasi perpanjangan izin pertambangan PT Freeport Indonesia (FI). Publik berhak untuk memberikan instruksi karena merekalah sejatinya pemilik sah suara di NKRI ini. Sistem demokrasilah yang membuat mereka memandatkan suara itu kepada para wakil mereka di Senayan. Kita sepakat bahwa masyarakat memiliki maksud membersihkan Indonesia dari  anasir jahat yang hendak mengkhianati dan menjual bangsa. Kini tinggal bagaimana para elite partai politik di DPR, menanggapi instruksi rakyat itu. "Apakah mereka akan lulus sebagai pengawal konstitusi dan keselamatan bangsa atau justru sebaliknya, tercoreng sebagai pengkhianat yang mengorbankan masa depan bangsa."

Saat ini adalah momentum sejarah penting bagi anggota dewan dan institusi DPR untuk memutus mata rantai perilaku buruk dan busuk yang amat jauh dari harapan rakyat. Inilah saatnya untuk melempengkan jalan politik harapan yang selama ini amat terjal. Mereka harus menyadari pentingnya merawat harapan dan optimisme rakyat dengan cara menerobos batas-batas politik lama yang menggunakan aturan untuk sekadar melanggengkan kekuasaan. Karena itulah, jangan khianati lagi amanat rakyat. Jangan terus membutakan mata dan menulikan telinga atas harapan besar rakyat, yang tecermin dalam beragam aksi, gerakan dan tuntutan, baik yang diekspresikan secara langsung maupun yang dinyatakan melalui media sosial. Sebuah semangat yang tidak boleh dipatahkan, tetapi harus diakui amat sulit diwujudkan, sebab fakta menunjukkan kian banyak orang mencari kehormatan dalam jabatan tanpa memenuhi nilai-nilai prinsipiel dan tanggung jawab dari kedudukannya.

Sanksi sosial dari publik harus ditangkap sebagai pertanda baik bahwa bangsa Indonesia masih menempatkan etika pada posisi terhormat, masih menginginkan pejabat publik mengedepankan etika. Proses etik dan hukum yang berlangsung paralel terhadap Setya Novanto semestinya menjadi peringatan keras bagi pejabat publik untuk tidak bermain-main dengan etika dan hukum. Ini juga memperlihatkan bahwa para pelanggar etika dan hukum tidak selamanya bisa lolos dari sanksi etik, sanksi hukum, serta sanksi sosial. Masyarakat mesti mengawal betul semua itu agar upaya penuntasan kasus ini berjalan lempang sesuai dengan harapan, yakni mengubur dalam-dalam orang-orang yang rela merusak bangsa hanya demi rente dan kepuasan pribadi. Kita tidak bisa memungkiri bahwa NKRI tengah menghadapi aib besar, yakni ketika NKRI ini surplus politisi, tetapi defisit negarawan.

Negarawan sejati tidak cuma mengatasnamakan atau mencatut nama rakyat demi kepentingan pribadi, tetapi sungguh-sungguh berjuang menyejahterakan rakyat dan ikhlas mundur bila gagal memperjuangkannya. Negarawan sejati tidak mungkin mencatut nama presiden dan wakil presiden, tetapi sungguh-sungguh memuliakan mereka sebagai bagian simbol negara. Sementara itu, calon pemimpin yang lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, maka mereka kehilangan prinsip-prinsip utama kehidupan. Berbagai cara dilakukan orang untuk meraih kedudukan. Namun, tatkala kedudukan itu telah diraih, mereka tidak sungguh-sungguh menyadari bahwa dirinya pejabat yang harus melindungi kehormatannya. "Stop kegaduhan, NKRI membutuhkan kedamaian dan keamanan untuk membangun kesejahteraan rakyat."

*) Penulis adalah Pemerhati Demokrasi Indonesia