Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Abrasi Ancam Tenggelamkan Desa di Demak
Oleh : Redaksi
Senin | 14-12-2015 | 09:44 WIB
demak__by_bbcindonesia.jpg Honda-Batam
Rumah warga yang tertutup oleh tanaman mangrove. (Foto: BBC)

BATAMTODAY.COM, Demak - Abrasi yang terjadi selama 20 tahun terakhir telah menenggelamkan dua dusun di Desa Bedono, Demak, Jawa Tengah, yang membuat lebih dari 250 kepala keluarga (KK) dipindahkan, sementara ancaman abrasi masih terjadi.


Saya menyusuri Dusun Rejosari atau Senik bersama dengan Nurohman dan Mohamad Rifai, yang dulu merupakan warga dusun ini. “Ini yang dilewati sungai, itu dulu jalan, beton jalan dulu mobil bisa lewat sini sebelum abrasi, setelah abrasi jalan itu tenggelam,” jelas Nurohman.

Nurohman mengatakan banjir rob sudah mulai dirasakan sejak 1995 lalu dan semakin parah sehingga menenggelamkan rumah-rumah warga pada tahun 2006. “Pernah ketika salat Jumat rob naik, saat pulang sarung basah semua, pernah saya tidur di lantai, lantai saya tenggelam jadi saya basah, kasur tenggelam. Ketika itu saya tidur di lantai,” ungkap Nurohmann.

Nurohman mengatakan banjir rob sudah mulai dirasakan sejak 1995 lalu. Pada 2006 sebagian besar rumah milik 206 KK di Dusun Rejosari Senik mulai terendam air. Setelah warga menuntut relokasi, mereka dipindahkan ke Desa Gemulak dan Sidogema di Kecamatan Sayung, termasuk Nurohman dan Rifai.

“Itu tergenang rob terus pindah, kalau tidak pindah kami akan kena air rob terus. Saya kerja di laut, tak bisa kerja di darat,” jelas Rifai.

Tetapi, masih ada lima kepala keluarga yang bertahan, salah satunya Pastijah yang hidup bersama suami, mertua, dan tiga anaknya. "Ya tidak apa-apa. Masih suka di sini. Pekerjaan bapaknya kan ... kalau mau di daratan tak bisa. Kebon sawah tak punya. Kalau nelayan kan luas lautannya,” jelas Pastijah.

Rumah Pastijah berada di tengah hutan mangrove, dan untuk menuju ke sana harus menggunakan perahu, termasuk jika anak-anaknya sekolah. Meski begitu dia masih menikmati aliran listrik dan tayangan televisi di waktu malam.

Abrasi yang terjadi di Desa Bedono selama 20 tahun terakhir diperkirakan yang terbesar di kawasan pantai utara dan selatan Jawa dan bahkan di Indonesia.

Luas kawasan yang terkena erosi mencapai 2.116,54 hektar yang menyebabkan garis pantai mundur sepanjang 5,1 kilometer dari garis pantai di tahun 1994 lalu.

Kenaikan permukaan air laut di kawasan Kota Semarang yang berbatasan dengan Demak yang rata-rata sekitar 7,8 milimeter menjadi salah satu penyebab tetapi bukan merupakan yang utama, seperti dijelaskan oleh pakar kelautan dari Universitas Diponegoro Muhammad Helmi.

“Hasil analisis kami berdasarkan data itu, kenaikan muka laut di kota semarang 7,74 milimeter, atau katakanlah 7,8 milimeter per tahun di Semarang dan saya kira kalau sea level rise itu akan sama dengan Demak karena sangat dekat, ini relatif kecil dibandingkan dengan land subsidence yang mencapai 5,5 sampai 13 sentimeter per tahun," jelas Helmi.

Selain itu, bangunan yang menjorok ke pantai, reklamasi juga menjadi salah satu penyebab erosi. Di Demak, menurut Helmi, penyebabnya adalah pembangunan kolam pelabuhan yang digunakan untuk parkir kapal yang menjorok hingga 1,8 km ke pantai.

Dosen Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Undip, Denny Nugroho, mengatakan penanaman mangrove dapat berhasil dilakukan dibarengi dengan sabuk pantai untuk melakukan rehabilitasi wilayah yang terkena abrasi.

"Jadi itu digunakan untuk menjaga agar mangrove tetap dapat tumbuh dan rehabilitasi daerah yang terkena abrasi dapat dilakukan dengan memerangkap sedimen," kata Denny.

Tetapi, upaya tersebut membutuhkan dana yang besar.
Selain Dusun Rejosari Senik, Dusun Tambaksari di Desa Bedono juga tenggelam, dari 66 Kelapa Keluarga, tinggal tujuh Kepala Keluarga yang masih tetap bertahan.

Kami bisa melewati jalan kecil menuju Dusun Tambaksari yang kini dijadikan lokasi wisata Mangrove.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan penanaman mangrove merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya erosi yang terjadi di sejumlah desa di Kecamatan Sayung. (Sumber: BBC Indonesia)

Editor: Dardani