Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Berita Media Massa dan Semangat Bertempur Kelompok Teror
Oleh : Opini
Rabu | 02-12-2015 | 11:57 WIB
forbes.jpg Honda-Batam
(Sumber foto: forbesmedia.com)

Oleh: Toni Ervianto*

PEMBERITAAN yang dilakukan oleh media massa menyangkut tentang berita terorisme merupakan sebuah pemberitaan yang sarat akan muatan-muatan yang berbau politik, kekerasan, kekuasaan, dan materi berupa uang. Hal ini tentunya mengundang perhatian dari publik, dimana secara tidak langsung suatu kegiatan terorisme pasti menyangkut tentang keselamatan,keamanan, dan kesejahteraan orang banyak (khalayak).

Menanggapi hal ini media tentunya bisa membaca situasi tentang apa yang khalayak ingin ketahui. Keterkaitan antara media dengan terorisme sarat akan aspek bisnis, dimana melalui pemberitaanya tentang masalah terorisme di media akan mendapat perhatian utama dari khalayak karena menyangkut keselamatan, keamanan dan kesejahteraan khalayak. Namun, ada kemungkinan juga komunitas jurnalis kurang menyadari bahwa pemberitaannya telah “menjaga” semangat bertempur dan eksistensi kelompok teror.

Dalam pengamatan penulis terhadap trend pemberitaan media massa dalam dan luar negeri akhir-akhir ini, ada beberapa pemberitaan media massa yang secara langsung mempengaruhi terjaganya semangat bertempur kelompok teror.

Meskipun memiliki nilai berita yang tinggi dan mengejutkan, salah satu pemberitaan media massa asing yaitu Majalah Forbes pada 6 November 2015 yang menulis pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi masuk dalam daftar orang-orang paling berpengaruh di dunia versi majalah Forbes (6/11/2015). Dia berada di urutan ke-57. Al-Baghdadi memproklamirkan diri sebagai khalifah dari Negara Islam Irak dan Syam.

Dia juga banyak merekrut orang untuk masuk ke dalamnya dalam waktu yang singkat. Pejuang ISIS al-Baghdadi ini telah menyita bagian timur Suriah dan barat Irak. Dia juga melakukan penjualan minyak di pasar gelap dengan total pendapatan USD 1.000.000 per hari. Abu Bakr al-Baghdadi dulu dikenal dengan nama Dr Ibrahim.

Kemudian dalam upaya untuk mengklaim dirinya sebagai keturunan Muhammad, baru-baru ini sebagai Abu Bakr Al-Baghdadi Al-Husseini Al-Qurashi. Sekarang mengklaim dirinya sebagai Amir al-Mu'minin Khalifah Ibrahim. Menurut biografi yang diposting di forum jihad pada Juli 2013, ia meraih gelar master dan PhD dalam studi Islam dari Universitas Islam Baghdad di pinggiran Adhamiya. Laporan menunjukkan bahwa dia adalah seorang ulama di Masjid Hanbal Ahmad ibn Imam di Samarra pada sekitar waktu invasi pimpinan AS ke Irak tahun 2003. Pemberitaan ini secara langsung jelas "menguntungkan" pencitraan kelompok teror tersebut dan berita tersebut disadur oleh beberapa media di Indonesia.

Mengapa Media Tertarik ?
Salah satu teori komunikasi massa yaitu "Model Agenda Setting" diperkenalkan M.E Mc. Combs dan D.L Shaw dalam "Public Opinion Quarterly" terbitan tahun 1972 berjudul "The Agenda-Setting Funcition of Mass Media". Kedua pakar tersebut mengatakan bahwa "jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting". Disimpulkan bahwa meningkatnya nilai penting suatu topik pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut pada khalayak.

David H. Heaver dalam karyanya berjudul "Media Agenda Setting and Media Manipulation" pada tahun 1981 mengatakan, pers sebagai media komunikasi massa tidak merefleksikan kenyataan, melainkan menyaring dan membentuknya seperti sebuah kaleidioskop yang menyaring dan membentuk cahaya (the press does not reflect reality, but rather filters and shapes it, much as a caleidoscope filters and shapes it).

Menurut Alexis S Tan, media massa mempengaruhi kognisi politik dalam dua cara media secara efektif mengkonfirmasikan peristiwa politik kepada khalayak dan media mempengaruhi persepsi khalayak mengenai pentingnya masalah politik.

Sementara itu Manhein dalam pemikirannya tentang konseptualitas agenda yang potensial untuk memahami proses agenda setting menyatakan bahwa agenda setting meliputi tiga agenda yaitu, agenda media, agenda khalayak, dan agenda kebijaksanaan.

Masing-masing agenda itu mencakup dimensi-dimensi sebagai berikut : pertama, untuk agenda media, dimensi-dimensi yaitu visibility (jumlah dan tingkat menonjol bagi khalayak), audience salience (tingkat menonjol bagi khalayak) (relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak) dan valence (menyenangkan atau tidaknya cara pemberitaan bagi suatu peristiwa). Kedua, untuk agenda khalayak, dimensi-dimensi familirity (keakraban atau derajat kesadaran khalayak akan topik tertentu), personal salience (penonjolan pribadi atau relevansi kepentingan dengan ciri pribadi) dan favorability (kesenangan atau pertimbangan senang atau tidak senang akan topik berita). Ketiga, untuk agenda kebijaksanaan, dimensi-dimensi support (dukungan atau kegiatan bagi posisi suatu berita tertentu), likelihood of action (kemungkinan kegiatan atau kemungkinan pemerintah melaksanakan apa yang diibaratkan) dan freedom of action (kebebasan bertindak atau nilai kegiatan yang mungkin dilakukan pemerintah).

Di sisi lain, setidaknya ada beberapa alasan mengapa media “ikut memanfaatkan” peristiwa terorisme antara lain pertama, kejahatan selalu merupakan good news bila perhatian utamanya hanya menjual koran atau program televisi. Kedua, terorisme merupakan sebuah sajian berita yang memiliki nilai berita yang sangat tinggi. Ketiga, media membawa banyak cerita dengan kandungan kekerasan,politik, dan kekuasaan karena merasa publik memintanya agar tahu persis tentang aspek-aspek kehidupan yang mengecam mereka. Keempat, kehidupan khalayak yang “membosankan” karena disiksa rutinitas tidur, berangkat, dan bekerja, membutuhkan berita-berita kekerasan dan seks sebagai thrill (gairah, getaran). Kelima, ada kelompok orang yang menyatakan simpati pada tujuan para teroris dan koruptor, dan media mengeksposnya karena menganggapnya unik atau demi covering both sides.

Literasi media terhadap komunitas jurnalis baik internasional dan nasional terkait pemberitaan mengenai terorisme adalah merupakan sebuah keniscayaan. Setelah itu dilaksanakan terus menerus dan global, selanjutnya terserah media massa baik internasional, nasional dan lokal dalam menyikapi masalah terorisme ke depan. "Good news is a news which is contributed to maintain state security, because its necessary to reach public welfare". Mungkin, idiom itu yang harus dikedepankan media massa di era global sekarang ini. Selamat mencoba.

*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI).