Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Indonesia Kecewa terhadap 'Ulah' Warganya Sendiri
Oleh : Opini
Sabtu | 28-11-2015 | 10:43 WIB

Oleh: Achmad Irfandi*

TAHUKAH Anda, dari 11 November 2015 hingga saat ini, terjadi persidangan rakyat internasional atau International People's Tribunal yang membahas tentang tragedi 1965. Tentunya tragedi tersebut masih melekat dalam setiap benak masyarakat Indonesia. 

Meski upaya tersebut sebatas bentuk dari kebebasan mengungkapkan pendapat, apakah mereka tidak memikirkan pertanyaan warga negara Indonesia lainnya, tentang mengapa anda melakukan hal itu yang dapat mencoreng nama baik negara anda sendiri dan tidak malukah anda dengan tanah ibu pertiwi kalian sendiri?

Pengadilan Rakyat Internasional yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda menghadirkan setidaknya 16 saksi, termasuk sastrawan Martin Aleida. Koordinator Umum Penyelenggara International People's Tribunal, Nursyahbani Katjasungkana, hingga saat ini masih memperjuangkan agar Indonesia meminta maaf kepada keluarga korban pembunuhan massal tahun 1965 yang dinilai sebagai langkah awal pengakuan terhadap kejahatan kemanusiaan yang selalu mengambingkhitamkan Pemerintah Indonesia.

Jika mengingat kejadian tragedi 1965, lokasi tragedi tersebut berada di Indonesia dan tentunya segala hal yang berkaitan dengan kelanjutan penanganan kasus tersebut harus menggunakan peraturan yang berlaku di Indonesia. Saat ini, telah terjadi pengadilan rakyat internasional yang mengangkat kasus 1965 di Den Haag, upaya tersebut diindikasikan sebagai sarana memperoleh dukungan internasional dalam upaya mencari kebenaran yang diinginkan oleh beberapa pihak yang masih menuntut tragedi 1965 hingga saat ini. 

Meski acara tersebut dinilai sebagai upaya realisasi dari kebebasan berpendapat, namun hal yang perlu digarisbawahi adalah mengapa masih ada beberapa pihak yang ingin mencoreng nama Indonesia di mata Internasional, padahal mereka hidup dan besar di Indonesia, apakah kontribusi mereka terhadap tanah Ibu Pertiwi kita? Pertanyaan itu semestinya disampaikan dan dijawab oleh beberapa pihak yang masih menuntut penegakan tragedi 1965.

Apabila melihat beberapa pemikiran para oknum pejuang penegakan tragedi 1965 yang menuntut adanya permohonan maaf pemerintah Indonesia kepada korban tragedi 1965, dapay dikatakan hal ini tidak akan terwujud. Pasalnya, jika melihat ke masa lalu, tragedi 1965 muncul pasca adanya penyergapan beberapa Jenderal yang dilakukan oleh pihak komunis, jadi wajar saja apabila terjadi perjuangan untuk menumpas paham tersebut karena dinilai tidak sesuai dengan Nilai Pancasila. 

Selama ini, pihak yang melakukan pembelaan selalu berasal dari beberapa korban tragedi 1965 yang diindikasikan masih berbau paham palu arit, namun pihak pemerintah sendiri, tidak pernah membesar-besarkan hal tersebut. Pemerintah Indonesia cenderung defensive atas beberapa upaya yang ingin menjatuhkan nama baik dan martabat pemerintah Indonesia, dengan harapan, suatu saat nanti, mereka akan sadar bahwa upaya yang mereka lakukan sama halnya sebagai upaya mengorek luka lama yang mereka buat sendiri. 

Namun, hal yang patut disadari, sampai kapan pun dan bagaimana pun cara oknum ideologi asing memperjuangkan pemikiran mereka untuk berkembang di Indonesia, Indonesia akan tetap menjunjung tinggi nilai luhur bangsa yang tertuang dalam Pancasila dan siap memerangi setiap upaya yang ingin menjatuhkan Pancasila sebagai ideologi Bangsa Indonesia. 

*) Penulis adalah pengamat sosial politik