Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Belajar dari Kasus Bencana Asap
Oleh : Opini
Kamis | 19-11-2015 | 10:44 WIB
kabut-asap-ocarina.jpg Honda-Batam
Kabut asap imbas kebakarabn hutan di Sumatera yang menyelimuti kawasan Ocarina, Batam,

Oleh: Ani Syabandari*

INDONESIA memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan kerap diikuti oleh bencana banjir yang melanda sebagian daerah di Indonesia, terutama di Ibukota Jakarta. Sedangkan di musim kemarau, Indonesia mengalami dua bencana sekaligus, yaitu kekeringan dan kabut asap.

Bencana kabut asap sebenarnya bukanlah dampak dari alam (bencana alam). Melainkan disebabkan oleh ulah manusia. Dimana bencana kabut asap ini, kerap terjadi di daerah perkebunan dan hutan lindung, seperti di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh diketahui bahwa Bencana kabut asap ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di Provinsi Riau dan Kalimantan. Bencana Kabut asap ini bahkan telah menyebar ke sebagian besar daerah di Sumatera dan Kalimantan. Bencana kabut asap yang setiap tahunnya terjadi ini tidak hanya telah merugikan roda ekonomi masyarakat. Namun, juga telah menelan banyak korban jiwa.

Terkait dengan hal tersebut, Kompas.com menginformasikan bahwa udara di Kota Jambi, Jambi, dan Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat, tidak sehat lagi seiring makin pekatnya kabut asap akibat kebakaran lahan. Dampak dari semakin meluasnya penyebaran kabut asap tersebut, akhirnya kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah di daerah tersebut terpaksa diliburkan.

Berdasarkan pengukuran kualitas udara, Badan Lingkungan Hidup Daerah Jambi mendeteksi indeks standar pencemar udara (ISPU) telah mencapai angka 126, alias berstatus tidak sehat. Sesuai pedoman teknis dan pelaporan serta informasi ISPU, dalam status di atas 101, kandungan particulate matter (PM) 10 yang tinggi telah dianggap sangat mengganggu jarak pandang dan mengakibatkan pengotoran debu di mana-mana. Kandungan nitrogennya dapat berdampak pada peningkatan reaktivitas pembuluh tenggorokan. Demikian pula di Kalimantan Barat, Riau dan Palembang. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumsel, Riau dan Jambi meluas hingga ke Sumut dan Aceh sampai mengganggu jadwal penerbangan akibat minimnya jarak pandang.

Penelitian tentang faktor penyebab kebakaran hutan di Indonesia sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para peneliti. Secara umum para peneliti tersebut menyimpukan bahwa aktivitas manusia merupakan faktor penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Aktivitas manusia yang berkaitan dengan pengelolaan lahan masih menjadikan api sebagai alat yang murah, mudah dan cepat menjadi inti dari penyebab kebakaran.

Sedangkan alasan pembakaran sangat beragam dan berbeda antar wilayah. Ada yang terkait dengan penguasaan lahan pada lahan yang tidak terkelola, konversi lahan ke perkebunan, konflik lahan masyarakat dan perusahaan, pembersihan lahan untuk jual beli lahan, kelalaian (merokok, memancing, bekerja dalam hutan), dan lain sebagainya.

Menyikapi semakin meluasnya titik kebakaran tersebut, pemerintah melalui Instansi terkait telah bekerja secara cepat menanggulangi hal itu. Menurut Kepala Pusat Data Informasi Sutopo Purwo Nugroho, setidaknya terdapat empat strategi yang dilakukan dalam operasi darurat asap, dimana tindakan tersebut dilakukan secara serempak di Provinsi Sumatera dan Kalimantan.

Sutopo menjelaskan, strategi pemadaman api dilakukan lewat udara dengan hujan buatan dan bom air. BNPB menerjunkan tiga pesawat Cassa 212 untuk hujan buatan di Riau, Sumsel dan Kalbar. Total 115 ton disebar di awan di atas Riau, 40 ton di Sumsel dan 22 ton di Kalbar. 13 unit helikopter digunakan sebagai pembom air yaitu tiga unit di Riau, satu di Kalimantan Selatan, dan dua  unit untuk Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengerahkan satu pesawat jenis Air Tracktor di Riau.

Untuk strategi kedua dilakukan pemadaman di darat oleh tim gabungan dari BPBD, Manggala Agni, TNI, Polri, MPA dan masyarakat setempat. Di mana, pada tiap provinsi dikerahkan lebih dari 1.500 personil untuk memadamkan api. Ketiga, operasi penegakan hukum oleh Polri dan PPNS. Polri telah menindak 39 kasus kebakaran hutan di Sumatera sepanjang tahun ini. PPNS Kementerian LHK telah menyegel lahan-lahan yang terbakar. Proses penegakan hukum lebih ditingkatkan dengan mengerahkan personil Polri dan PPNS untuk memburu pembakar hutan. Aparat TNI disebar untuk melakukan patroli dan menjaga daerah-daerah yang sering dibakar.

Keempat adalah pelayanan kesehatan dan sosialisasi. Semua Kapolda di enam provinsi yang terbakar telah mengeluarkan maklumat pelarangan membakar hutan dan lahan. Ribuan masker dibagikan kepada masyarakat. Data sementara di Sumsel ada 22.555 jiwa menderita ISPA dan di Riau 1.002 jiwa.

Apabila memperhatikan dari keempat strategi tersebut, dapat digambarkan bahwa sebenarnya pemerintah telah bekerja ekstra keras guna menanggulangi dampak kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan. Untuk itu, ketika pemerintah telah bekerja keras dalam menanggulangi asap, maka masyarakat tentu diharapkan dapat turut membantu dan mendukung. Karena diam dan mengkritik tidak akan mampu menghentikan kebakaran. Mari bertindak demi masa depan kita. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemerintah telah maksimal, namun hal tersebut tidak akan mencapai hasil maksimal jika tidak didukung oleh masyarakat, artinya kesadaran masyarakat dan upaya bersama guna mencegah bencana asap terulang sangatlah dibutuhkan, sikap tegas dalam menegakkan aturan sangatlah diperlukan.

*) Penulis adalah pegiat lingkungan.