Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Merasa Sekolahnya Dibiayai Negara

Sekolah Gratis Munculkan Fenomena Anak Berani Melawan Orang Tua
Oleh : Surya
Kamis | 19-11-2015 | 09:19 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Ketua Komite III DPD RI Hardi Selamat Hood menilai sekolah gratis telah memunculkan fenomena perlawanan anak kepada orang tua, karena dibiayai negara.


Orang tua dianggap tidak berhak ikut campur  terhadap kelangsungan belajar dan pendidikan anak dii sekolah, meskipun tidak naik kelas.

Keluh kesah itu disampaikan Hardi Selamat Hood saat menjadi narasumber Dialog Kenegaraan bertema 'Upaya Mencerdaskan Bangsa Ditengah Melambatnya Ekonomi' di Jakarta, Rabu (18/11/2015).

"Orang tua tidak usah ikut campur dan tidak berhak memarahi anak, meskipun sekolahnya tidak naik, karena sekolahnya dibiayai negara. Inilah untung ruginya sekolah gratis, anak jadi kurang serius belajar," kata Hardi.

Menurut Hardi, sekolah gratis menjadikan anak melawan orang tua, karena merasa dibiayai oleh negara. 

"Jadi, memang harus banyak yang dibenahi untuk pendidikan dan kurikulumnya  agar arahnya jelas dan menghasilkan anak didik yang berkualitas," katanya.

Pelambatan ekonomi saat ini, lanjutnya, tidak bisa dijadikan alasan bagi pemerintah untuk tidak mengoptimalkan kinernya dalam bidang pendidikan.

"Meskipun sekolahnya gratis, kita kekurangan guru. Sekarang ini banyak guru yang tidak bermutu, makanya pendidikan yang dihasilkan tidak berkualitas, meskipun berganti-ganti kurikulum," kata Senator asal Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) ini.

DPD RI pada 26 Nopember ini, kata Hadi, akan menggelar pendidikan yang membahas masalah pendidikan dan guru.

Hardi menambahkan, terkait masalah kurikulum, DPD RI berpandangan pemerintah cukup mengatur tidak hal saja, tidak perlu seluruh mata pelajaran.

Yakni pertama pelajaran Sejarah, kedua Bahasa Indonesia dan ketiga Matematika.

Sejarah diperlukan untuk membangkitkan semangat dan rasa nasionalisme. Begitupula dengan Bahasa Indonesia juga untuk membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Sementara matematika untuk menyembangkan otak kiri dan kanan.

"Kalau mata pelajaran lainnya, bisa dieksplorasi oleh masing-masing sekolah. Tapi, bukan berarti harus menggunakan K13 (kurikulum yang ke-13), karena tidak disosialisasikan, sehingga banyak guru yang tidak paham," katanya.

Sedangkan Ketua Umum PGRI Sulistyo mengatakan, sistem pendidikan di Indonesia saat ini masih belum memiliki arah yang jelas.

Sebab, terjadi pergantian kepemimpinan nasional dan pergantian menteri, kurikulum pendidikan juga selalu berubah.

"Ini termasuk juga kebijakan terhadap guru honorer, yang akan diangkat menjadi guru tetap atau pegawai negeri sipil, tapi nasibnya kini justru mengambang," kata Sulistyo.

Sementara itu, pengamat pendidikan Suaib Didu mengatakan, dana pendidikan yang dianggarkan dalam APBN sudah mencapai 20 persen, namun tetap saja tidak bisa meningkatkan kualitas pendidikan.

"Faktanya dana sebesar itu tidak semuanya terealisir ke bawah, sehingga sulit berusaha mencerdaskan generasi bangsa ini," kata Suaib Didu.

Editor : Surya