Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Strategi Asing di Balik Manuver OPM
Oleh : Opini
Kamis | 08-10-2015 | 11:11 WIB
silhouettes-sun-10.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Ilustrasi. (Foto: net)

Oleh: Sumitro Husada

ORGANISASI Papua Merdeka merupakan gerakan separatis yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik Indonesia. Mereka melakukan dengan cara-cara sangat ekstrim dalam memecah Provinsi Papua dan Papua Barat keluar dari Pemerintahan Indonesia. Cara-cara ekstrim seperti pemberontakan yang dilakukan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Pembentukan sayap militer ini jelas menjadi ancaman bagi keamanan negara.

Keberadaan mereka menimbulkan konflik dengan militer Indonesia hingga terjadinya kontak senjata dan timbulnya korban jiwa. Bahkan, mereka melakukan dialog diplomatik terhadap negara-negara serumpun (melanesia) untuk dapat pengakuan sebagai sebuah negara.

Gerakan yang dipimpin oleh Benny Wenda ini telah memiliki kantor di beberapa negara, yakni Australia, Inggris, Belanda serta negara kepulauan pasifik. Melalui aktivis-aktivisnya, mereka menyuarakan agar Indonesia membebaskan Papua. Penggalangan petisi-petisi internasional pun juga dilakukan.

Beruntungnya, pemerintah negara Australia, Inggris dan Belanda mengakui kedaulatan NKRI sebagai negara. Namun demikian, upaya pembebasan Papua lebih sering disuarakan oleh aktivis OPM kepada negara-negara Pasifik. Mereka menganggap sebagai negara serumpun akan dapat memberikan dukungan atas pembebasan Papua.

Hal itu terbukti dengan konsistensi dukungan negara Vanuatu atas pembebasan Papua. Perpolitikan Vanuatu mendorong berdirinya konsep Melanesia Sosialism yang bertujuan untuk menyatukan ras-ras Melanesia. Penyatuan ras-ras melanesia telah dilakukan dengan munculnya Melanesia Spherehead Group (MSG).

Gerakan separatis yang dilakukan oleh OPM merupakan suatu ironi dimana anak bangsa sendiri dimanfaatkan oleh pihak-pihak asing sehingga mereka memperjuangkan agar Papua terlepas dari Indonesia. Mereka tidak menyadari bahwa bantuan yang diberikan oleh pihak-pihak asing bukanlah hal yang gratis.

Justru mereka ingin melakukan penjajahan kepada masyarakat Papua secara tidak langsung. Bahkan bentuk separatis OPM ini adalah bentuk taktik devide et impera. Persaudaraan bangsa Indonesia dipecah belah agar dapat dikuasai oleh pihak asing. Hal sama yang pernah dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia pada masa penjajahan.

Sudah selayaknya anak bangsa yang ikut berperan di dalam OPM sadar bahwa mereka hanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak asing. Mereka harus kembali mengingat bagaimana kemerdekaan diraih bersama-sama. Mengingat kembali bahwa Papua memang bagian utuh dari Indonesia. Bahkan rakyat Papua sendiri telah memilih sendiri untuk menjadi bagian dari Indonesia melalui Pepera tahun 1969.

Perlu dicamkan juga, bahwa sejak diraihnya kemerdekaan dari Belanda, sejak saat itu juga semua rakyat Papua apapun ras dan sukunya adalah bagian dari bangsa Indonesia. Indonesia tidak akan menjadi besar jika tidak adanya persatuan diantara banyak perbedaan.

Sesungguhnya, adanya upaya pembebasan Papua yang dimotori oleh pihak asing adalah bentuk ketakutan mereka jika Indonesia benar-benar bersatu. Mereka takut akan kekuatan terpendam yang dimiliki Indonesia. Keanekaragaman di Indonesia akan menjadi suatu kekuatan besar di dunia.

Pihak-pihak asing akan terus berupaya untuk menyuarakan pembebasan Papua. Mereka akan memanfaatkan isu-isu HAM agar Papua bebas dari Indonesia. Kejadian ini dapat kita amati melalui konflik agama yang terjadi di Tolikara, Papua.

Konflik agama yang terjadi pada Idhul Fitri tahun 2015 kemarin sarat akan intervensi pihak asing. Warga negara asing (WNA) yang tergabung dalam GIDI patut menjadi bahan pertimbangan kita dalam memahami kasus Tolikara. Besar kemungkinan mereka sengaja membiarkan konflik GIDI terjadi hingga polisi harus melepaskan tembakan dalam rangka pengamanan sholat Id.

Melalui kasus ini, mereka dapat menaikkan isu bahwa Pemerintah Indonesia telah melanggar HAM. Hal tersebut dilakukan dengan menyebarakan isu-isu melalui media online ataupun website buatan mereka. Mereka mencantumkan fakta yang diputarbalikkan. Mereka mengecam pemerintah telah melanggar HAM di Papua, mereka mengecam pemerintah melakukan genosida terhadap masyarakat Papua.

Fakta-fakta yang disebarkan mereka sungguh bertolak belakang dengan keadaan Papua saat ini. Papua saat ini semakin berkembang, maju dan modern. Perhatian pemerintah kepada masyarakat Papua semakin meningkat. Buktinya, ada beasiswa-beasiswa yang diberikan kepada masyarakat kelahiran Papua yang merupakan warga Indonesia juga. Mereka juga mendapatkan hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya berkuliah di perguruan tinggi.

Bahkan genosida yang dikatakan oleh kelompok OPM sangatlah tidak masuk akal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Provinsi Papua dan Papua Barat sebanyak 3.593.803 orang pada Sensus Penduduk 2010 dengan laju pertumbuhan masyarakat Papua sebesar 5,39 persen. Pertumbuhan penduduk di Papua terus bertambah.

Memang tak bisa kita pungkiri bahwa pertumbuhan penduduk ini juga disebabkan adanya transmigran dari pulau lain. Akan tetapi, adanya transmigran ini bertujuan untuk membantu pertumbuhan ekonomi Papua agar lebih cepat, agar adanya transfer teknologi ke wilayah Papua yang dahulunya memang bisa dibilang sempat tertinggal.

Hingga saat ini, banyak organisasi luar negeri (NGO) serta negara lain yang menuding bahwa terjadi pelanggaran HAM di Papua. Apakah kita akan terus diam atas tudingan tidak benar oleh orang-orang asing tersebut. Apakah kita hanya terus diam ketika persaudaraan bangsa Indonesia terus di ganggu oleh orang asing yang cuma tahu secuil tentang Papua? Tidak! Papua adalah Indonesia.

Mungkin mereka menggunakan kesamaan ras sebagai saudara. Akan tetapi kesamaan ras bukan berarti harus pergi dan melepaskan diri dari Indonesia, sebab mereka hanya memanfaatkan keadaan tersebut untuk kepentingan mereka. Mereka memanfaatkan masyarakat Papua sendiri untuk memecah belah Indonesia.

Bercermin pada ras, Indonesia dan Malaysia saja yang sama ras masih saja sering terjadi ketegangan politik dan kepentingan Internasional. Bagaimana mungkin kita yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dari jajahan Eropa tidak dianggap sebagai saudara.

Kelompok separatis seperti OPM yang dipimpin oleh Benny Wenda adalah orang yang tamak, hanya mementingkan kepentingan pribadi. Mereka adalah orang-orang egois seperti perompak yang merusak dan membahayakan keselamatan orang lain untuk tujuan pribadi.

Seharusnya jika memang mereka ingin mensejahterahkan Papua, mari bersama-sama bangun Papua bukan menciptakan kerusuhan yang justru merugikan perkembangan dan pertumbuhan perekonomian di wilayah Papua itu sendiri.

Gerakan OPM ini harus menjadi perhatian bagi seluruh masyarakat. Kita harus bisa menyadarkan anak bangsa yang terpengaruh oleh pihak-pihak asing tersebut agar dapat kembali berbakti pada negeri, ikut serta dalam pembangunan bangsa.

Penulis adalah Pengamat Politik Internasional