Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Inilah 5 Pasal Baru RUU 'Pembantai' KPK
Oleh : Redaksi
Rabu | 07-10-2015 | 14:37 WIB
150226041747_kpk_624x351_afp.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Dukungan masyarakat terhadap KPK. (Foto: AFP)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura mengusulkan sejumlah pasal dan ayat dalam UU KPK diubah.

Enam fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada anggota Badan Legislasi DPR, pada Selasa (06/10).

Dalam draf revisi tersebut, Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura mengusulkan sejumlah pasal dan ayat diubah.

Dari rangkaian usulan revisi itu, berikut lima di antaranya:

1. Pembubaran KPK, 12 tahun setelah draf RUU resmi diundangkan

Pasal 5
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

2. KPK tak berwenang melakukan penuntutan

Pasal 7 huruf d

"Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Undang-undang ini dan/atau penanganannya di kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif, atau legislatif.”

(Padahal, dalam Pasal 6 huruf c UU No. 30 tahun 2002, ”KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.”)

3. Pelimpahan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian

Pasal 13

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang:

a. melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;

b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah)

c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi

(Pada UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, jumlah nominal kerugian sebagai kriteria untuk melimpahkan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian tidak disebut. Bahkan, Pasal 8 (2) menyebut "Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.”)

Pada draf RUU KPK, KPK harus meminta izin dari ketua pengadilan negeri apabila ingin melakukan penyadapan.

4. Permintaan izin sebelum melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Pasal 14 Ayat (1) huruf a

KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup denga izin dari ketua pengadilan negeri.

(Dalam Pasal 12 (1) huruf a UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.”)

5. KPK tidak memiliki penuntut

Pasal 53 (1)

Penuntut adalah jaksa yang berada di bawah lembaga Kejaksaan Agung Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan melaksanakan penetapan hakim

(Dalam pasal 51 (1) UU No.30 Tahun 2002 disebutkan, “Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.”). (Sumber: BBC Indonesia)

Editor: Dardani