Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pemerintah 'Dipaksa' Asing Putuskan Blok Masela Gunakan Pola LNG Terapung
Oleh : Surya
Selasa | 06-10-2015 | 16:45 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Pemerintah RI 'dipaksa' untuk memutuskan pengembangan proyek lapangan gas abadi - Masela di Maluku dengan pola LNG Terapung yang akan diputuskan Menteri ESDM Sudirman Said pada 10 Oktober mendatang.

Usulan ini jelas tidak fair, seolah-olah tak ada pilihan yang lebih baik dan pemerintah diharuskan menerima  rencana pengembangan (Plan of Development) untuk Lapangan Abadi di Blok Masela yang diajukan oleh Inpex Holding Corporation dari Jepang dan Shell, padahal yang tepat  adalah pembangunan kilang melalui fasilitas di darat menggunakan pipanisasi (onshore)

Penilaian ini disampaikan bekas Menakertrans era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Alhilal Hamdi, dalam diskusi bertema "Kekayaan Blok Masela untuk Siapa?" di Jakarta, Selasa (6/10/2015).

Menurut Alhilal, proyek pencairan gas alam Masela terapung dengan kapasitas 7,5 juta ton per tahun akan menjadi yang pertama di dunia. Namun, proyek ini akan menghadapi dua tantangan teknologi, yaitu kestabilan operasi karena goyangan kapal dan keselamatan operasi disebabkan peralatan yang berdekatan satu sama lain.

"Jadi sulit membayangkan Indonesia hanya menjadi kelinci percobaan! Sedangkan berapapun besarnya investasi yang ditanam akan dibayar selama puluhan tahun oleh anak cucu kita melalui skema cost recovery," katanya.

Alhilal mencontohkan SHELL Floating LNG yang sedang dibangun di Australia dengan kapasitas separuh LNG Terapung Marsela saja berukuran panjang hampir 500 meter, lebar 75 meter dan berat terisi 600.000 ton, akan berwujud sebagai badan kapal terbesar di dunia yakni 4 kali tinggi Monas dan 5 kali lebih berat dari kapal induk Amerika "USS Nimmitz".

Oleh karena itu, didorong dari keprihatinan mendalam dan didasarkan pada pengetahuan, pengalaman serta keahlian di bidang energi dan pengembangan masyarakat, maka Tim FORTUGA (Forum Tujuh Tiga) ITB berpendapat bahwa pilihan terbaik pembangunan proyek pencarian gas alam abadi Masela harus di darat.

"Kami sudah melakukan berbagai penelitian, kajian dan perhitungan ulang dengan membandingkan beberapa proyek pengenbangan migas di darat dan lauit dalam," ujarnya.

Berbagai penelitian ini dilakukan Tim FORTUGA ITB seperti di Gulf of Mexico, North Sea, Afrika - Eropa (Medgaz Pipeline), Rusia -
Turki (pipa gas Laut Hitam), Australia dan Indonesia sendiri.

Sedang beberapa fakta dan kesimpulan perhitungan dan catatan penting yang mendukung kesimpulan Tim FORTUGA ITB ini adalah terdapat kajian konsultan -yang tak pernah dipublikasikan- bahwa pembangunan jalur pipa laut ke darat melalui palung Selaru-Tanimbar secara teknis dan kontruksi adalah aman dan layak.

Biaya investasi (CAPEX) proyek LNG Abadi -Masela di darat sebesar USD 16 miliar, sedang bila dibangun bangun terapung akan mencapai USD 22 miliar.

TKDN (total kandungan dalam negeri), pada LNG Terapung maksimal 10% atau USD 2,2 miliar. Sementara bila dipilih LNG darat, dari hasil pengalaman di Indonesia membangun, mencapa 35% atau USD 5,6 miliar.

"Manfaat TKDN ini akan langsung dirasakan oleh warga Maluku maupun pihak Indonesia lainnya," kata Alhilal lagi.

Disamping itu, lanjut dia, pembangunan LNG Terapung Abadi Masela hanya menghasilkan penjualan USD 4 miliar per tahun, sedangkan jika dibangun di darat, selain hasil USD 4 miliar itu, juga akan diperoleh tanbahan penjualan USD 5 miliar per tahun dari proses gas menjadi industri petrokimia.

"Biaya operasi (Opex) per tahun LNG darat sebesar USD 2 miliar, jauh lebih rendah dibanding LNG terapung yang USD 7 miliar," jelasnya.

Selain itu, menurut Alhilal, pilihan LNG darat akan menampung pengembangan lapangan-lapangan Migas baru yang bertebaran mulai dari Aru, Tanibar sampai Celah Timor. Hingga wilayah Maluku bisa menjadi sentra baru industri gas dan petrokimia Timur.

"Pembangunan LNG darat akan membuka peluang bangkitnya ekonomi, sosial, kewilayahan dan pembangunan ketahanan nasional di Indonesia Timur (Maluku-NTT), seperti maritim, kelistrikan, pertanian, lapangan kerja, pariwisata, ekonomi kreatif dan UKM dan tumbuhnya kota-kota seperti 'Balikpapan Baru'," katanya.

Heran pilih laut
Sementera itu, Proyek Lapangan Gas Abadi, Masela, Maluku, dengan pola terapung di laut membuat heran pakar LNG Yoga Suprapto.
 
"Saya merasa aneh saja kenapa pilihan justru di laut, bukan di darat. Sementara kita berpengalaman dalam membangun proyek LNG di darat," kata Yoga Suprapto.

Menurut dia, dari penelitian, kajian dan perhitungan ulang serta membandingkan dengan beberapa proyek pengembangan migas baik di darat dan di laut di beberapa negara, ‎yang dilakukan Tim Fortuga, biaya operasional lebih murah di darat ketimbang di laut.

Bahkan dari kajian konsultan yang belum pernah dipublikasikan pembangunan jalur pipa laut ke darat melalui palung Selaru-Tanimbar secara teknis dan konstruksi lebih aman dan layak.

Dan yang tak kalah penting, menurut Yoga, kalau dibangun di darat, manfaat TKDN dirasakan langsung oileh masyarakat Maluku dan maupun masyarakat lainnya di kawasan Timur Indonesia.

"Bahkan kalau dibangun di darat justru membuka peluang bangkitnya ekonomi. sosial, kewilayahan dan penguatan ketahanan nasional di kawasan Indonesia bagian Timur, seperti industri maritim, kelistrikan dan lain sebagainya," kata Yoga

Sedangkan Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika mengatakan, pemerintah harus mempertimbangkan multi efek yang muncul dari pengembangan proyek Lapangan Gas Abadi, Masela dengan pola terapung. Apalagi ada kesan, pemerintah Indonesia dipaksa untuk merestui proyek tersebut.

"Pemerintah seharusnya memikirkan multi efek dari proyek itu, terutama kepentingan bangsa dan negara, termasuk kepentingan rakyat Indonesia," kata Kardaya.

Mantan Kepala BP Migas yang kini menjadi politisi Gerindra ini lebih setuju kalau proyek itu dikembangkan di darat dan bukan di laut lepas, sebagaiman gagasan Tim Fortuga. Kalau dikembangkan di darat, maka kepentingan domestik lebih terjamin.

Editor: Surya